Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Nezar Patria, Teman Saya yang Asu

Budiman Sudjatmiko oleh Budiman Sudjatmiko
31 Oktober 2016
A A
NEZAR PATRIA
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Ada kalimat dalam bahasa Inggris yang sangat saya suka, bunyinya kurang lebih, “Lawanmu menentukan seberapa kualitas dirimu.” Orang yang akan saya ceritakan ini adalah seorang teman yang karena kualitasnya, saya justru menyesal menjadi teman alih-alih lawannya.

Kawan dan lawan memanggilnya Nezar. Ketika kami masih bergerak di gorong-gorong karena diuber-uber intelijen dan tentara Orde Baru, dia memilih dipanggil “Mujahid”, nama samaran yang sekarang cenderung dipakai orang yang ingin berjihad menegakkan khilafah islamiyah ketimbang orang yang ingin melakukan revolusi demi Sosialisme Indonesia—hal yang dulu membuat saya dengan Nezar berteman.

Saya menemukannya pada 1991 di kampus UGM. Ia anak Aceh yang baru masuk Fakultas Filsafat. Saya sendiri waktu itu terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi. Ia ke Yogya selain karena sudah malas kuliah teknik di Medan (atau Banda Aceh, saya tak ingat jelas), juga karena ingin bergaul dengan “sesama anak muda Indonesia di Jawa yang suka omong besar tentang ide-ide besar”.

Di awal perkenalan kami, saya melihat Nezar betul-betul ingin menjadi aktivis. Namun, daerah asal Nezar membuat saya sempat mencurigainya. Yang terutama bahwa ia mungkin saja anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kecurigaan yang membuat saya mau tidak mau harus mengorek beberapa hal darinya.

“Apa sih maunya GAM itu?”

“Mau buat negara Islam Aceh atau apa?”

“Mereka lebih mirip MNLF yang sekuler atau MILF yang islamis?”

MNLF (Moro National Liberation Front) dan MILF (Moro Islamic Liberation Front) adalah gerakan separatis bersenjata di Filipina.

Pertanyaan-pertanyaan itu saya ajukan untuk menyelidiki, apakah Nezar pindah ke Yogya dan ikut gerakan mahasiswa sebagai utusan GAM guna mencari sekutu-sekutu demokratis di kalangan gerakan demokrasi Indonesia. Pikiran itu muncul karena saya pernah membaca kisah aktivis gerakan anti-rezim militer di Burma yang dikontak dan kemudian menjalin hubungan dengan gerakan pemisahan diri suku Karen, Kachin, Shan, dan lainnya.

Nezar lalu bercerita banyak tentang GAM. Yang membuat saya lega, ternyata ia putra Aceh yang lebih memilih NKRI, selama dan sejauh NKRI lepas dari Soeharto dan rezimnya. Singkat kata, kami pun berteman. Tampaknya dia cukup menikmati perbincangan dengan kami, kelompok gerakan mahasiswa anti-Soeharto di UGM yang baru seumur jagung.

Di saat yang sama, pada awal 1990-an saya lebih sering meninggalkan kampus. Berkeliling ke desa-desa untuk mendorong gerakan reforma agraria dengan petani-petani. Bagi saya, masa-masa diskusi sudah selesai. Pokoknya revolusi sekarang juga! Sementara Nezar tetap bercokol di kampus, asyik berdemo, berdiskusi, dan menulis. Dia penulis yang tidak buruk juga rupanya.

Dua situasi berbeda yang kami jalani itu membuat kami tidak bertemu di medan laga yang sama; hal yang saya anggap sebagai kerugian. Dengan segala kualitas berorganisasi, berdemonstrasi, berdiskusi, dan menulis yang ia miliki, kami justru tidak pernah berhadapan sebagai lawan.

Saya ingat-ingat lebih dalam, nyaris tak ada peristiwa atau percakapan saya dengan si Mujahid ini (ia memakai nama tersebut baru di tahun 1996) yang menempatkan kami dalam posisi berlawanan. Bahkan dalam tema-tema ringan sekalipun. Saya justru lebih sering berdebat dengan Andi Arif, contohnya; anak masjid di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM yang kami comot untuk jadi aktivis anti-Orba “demi demokrasi dan Sosialisme Indonesia”. Waktu itu kami memang banyak merekrut lulusan pesantren, aktivis masjid, dan calon pastor yang gagal, untuk menjadi aktivis bersama kami. Rasanya, lebih keren melawan tirani Orba ketimbang mencari musuh di antara sesama kere walaupun berbeda iman.

Perdebatan dengan Andi misalnya mengenai strategi aksi hingga strategi gerakan. Dalam hal ini, Andi mengingatkan saya pada salah seorang tokoh gerilyawan El Salvador, Joaquín Villalobos, yang lebih suka membuat aksi-aksi konfrontasi langsung. Sementara saya merasa bahwa konfrontasi dengan Orba harus didahului dengan pengorganisasian massa yang lebih telaten.

Iklan

Itu contoh “kemewahan” dalam bentuk perdebatan yang nyaris tak pernah terjadi antara saya dan Nezar. Entah karena dia yang suka ngalah (dalam hal ini dia jadi lebih “Jawa” daripada saya) atau karena diam-diam dia anggap apa pun yang saya katakan benar (hahaha… saya bayangkan dia membaca ini dengan misuh-misuh “Asuuu!” sambil terkekeh seperti kebiasaannya).

Hal tersebut terus berlanjut hingga kami mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan saat kami sama-sama berada dalam sebuah safe house karena dikejar-kejar tentara, polisi, kejaksaan, dan intelijen Orba selepas peristiwa 27 Juli 1996. Di sana kami berdiskusi, rapat, setuju, dan berseru “Asuuu!” (kemudian kami pun terpingkal-pingkal bersama setelahnya) seperti biasanya.

Saat saya dan beberapa teman akhirnya ditangkap, Nezar bersama Andi Arif dan Reza yang lolos dari penangkapan kemudian mengambil alih kepemimpinan PRD, yang waktu itu dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Selama beberapa tahun kami putus kontak. Kami di penjara, mereka entah sembunyi di selokan mana. Yang jelas, pasti penat dan busuk baunya kehidupan bawah tanah itu. Sampai suatu saat kami mendengar dari penjenguk-penjenguk kami di penjara, kemudian dari media, bahwa Nezar bersama beberapa kawan lain hilang tak berjejak. Belakangan kami di penjara mengetahui mereka diculik.

Beberapa tahun sebelumnya, kemungkinan penculikan sebenarnya penah saya diskusikan dengan Nezar (tanpa debat, tentu saja) dan dengan Andi Arif (dengan debat, tentu saja). Diskusi itu terjadi enam tahun sebelum Nezar dan kawan-kawan diculik, kala Andi hendak memuat tema mengenai korban-korban penculikan rezim militer Argentina di majalah mahasiswa Fisipol UGM, Sintesa.

Orba akhirnya tumbang. Yang agak disesali, tumbangnya Soeharto terjadi saat saya sedang dipenjara dan Nezar sedang kehilangan orientasi ruang dan waktu dalam kamar gelap tempatnya disekap.

Kami kemudian bebas… dan bertemu. Dan berdiskusi. Lagi-lagi tanpa perdebatan.

Sesudah turunnya Soeharto, nama yang menjadi musuh bersama, alasan pertemanan sekaligus bahan obrolan kami, pertemuan saya dan Nezar diisi dengan obrolan yang lebih relaks mengenai sekolah, pacar, dan rencana berkeluarga. Bayangkan, setelah tujuh tahun berteman, baru kali inilah kami merasa sah untuk ngomongin soal-soal begituan.

Saya kemudian mundur dari PRD dan kuliah ke Inggris. Bahkan, saat mundur itu pun tak ada kritik yang terdengar dari Nezar. Pertemanan macam apa.

Setelah pulang dari studi di London dan Cambridge, saya memutuskan bergabung dengan PDI Perjuangan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR (juga tidak terdengar komentar Nezar). Ia sendiri kuliah lagi di London School of Economics and Political Science, mengambil jurusan sejarah internasional. Selama kuliah, Nezar terus menekuni profesi barunya sebagai jurnalis. Jika Anda ingin tahu kualitas Nezar, silakan membaca tulisannya yang berjudul “Sejarah Mati di Kampung Kami”.

Demikianlah. Jangankan menjadi lawan, sebagai teman yang sesekali berbeda pendapat saja kami gagal. Beda dengan Andi Arif yang dua belas tahun terakhir lebih sering ada di kubu politik yang berlawanan dengan saya. Asuuu.

Terakhir diperbarui pada 11 Agustus 2021 oleh

Tags: 1998AktivisBudiman Sudjatmikofeaturedgerakan mahasiswaNezar PatriaPRDUGM
Budiman Sudjatmiko

Budiman Sudjatmiko

Artikel Terkait

UGM.MOJOK.CO
Ragam

Ketika Rumah Tak Lagi Ramah dan Orang Tua Hilang “Ditelan Layar HP”, Lahir Generasi Cemas

20 Desember 2025
ugm.mojok.co
Pendidikan

UGM Dorong Kewirausahaan dan Riset Kehalalan Produk, Jadikan Kemandirian sebagai Pilar

20 Desember 2025
UGM.MOJOK.CO
Pendidikan

UGM Berikan Keringanan UKT bagi Mahasiswa Terdampak Banjir Sumatra, Juga Pemulihan Psikologis bagi Korban

18 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

11 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Praja bertanding panahan di Kudus. MOJOK.CO

Nyaris Menyerah karena Tremor dan Jantung Lemah, Temukan Semangat Hidup dan Jadi Inspirasi berkat Panahan

20 Desember 2025
Kuliah di universitas terbaik di Vietnam dan lulus sebagai sarjana cumlaude (IPK 4), tapi tetap susah kerja dan merasa jadi investasi gagal orang tua MOJOK.CO

Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua

15 Desember 2025
Pamong cerita di Borobudur ikuti pelatihan hospitality. MOJOK.CO

Kemampuan Wajib yang Dimiliki Pamong Cerita agar Pengalaman Wisatawan Jadi Bermakna

16 Desember 2025
Safari Christmas Joy jadi program spesial Solo Safari di masa liburan Natal dan Tahun Baru (libur Nataru) MOJOK.CO

Liburan Nataru di Solo Safari: Ada “Safari Christmas Joy” yang Bakal Manjakan Pengunjung dengan Beragam Sensasi

20 Desember 2025
Drama sepasang pekerja kabupaten (menikah sesama karyawan Indomaret): jarang ketemu karena beda shift, tak sempat bikin momongan MOJOK.CO

Menikah dengan Sesama Karyawan Indomaret: Tak Seperti Berumah Tangga Gara-gara Beda Shift Kerja, Ketemunya di Jalan Bukan di Ranjang

17 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.