MOJOK.CO – Saya kecewa, tapi saya bisa memahami kenapa kegaduhan ini pernah terjadi. Sepak bola dan Arsenal, dan 12 klub pendiri European Super League tak akan lagi sama….
European Super League selesai sudah. Protes dari para pemain, ditambah desakan suporter membuat goyah para peserta Liga Super Eropa. Diawali 6 klub Liga Inggris, disusul AC Milan dari Serie A. Hingga akhirnya, kompetisi imajinatif itu selesai sebelum sepak mula terjadi.
Banyak alasan bertebaran yang bisa kamu pilih untuk kontra lahirnya liga eksklusif ini. Sebagai fans Arsenal, saya akan mendukung alasan apa pun yang kamu pilih. Meskipun faktanya, Arsenal adalah salah satu founding members dari European Super League. Sungguh menyedihkan.
Namun, di tulisan kali ini, saya tidak akan menjelaskan alasan saya menolak lahirnya European Super League. Kamu bisa membacanya di tulisan sepak bola saya sebelumnya. Kali ini, saya ingin menyinggung satu sisi di mana sikap Arsenal untuk lepas dari FA dan UEFA memang masuk akal.
Saya mencoba memahami sikap Arsenal dari sisi manajemen dan fans yang pro kepada lahirnya European Super League. Tentu saja ini bukan soal uang semata, di mana banyak klub Eropa tengah menderita karena dampak pandemi.
Ada banyak alasan yang ternyata masuk akal ketika meneropong sikap manajemen Arsenal. Izinkan saya menyinggung beberapa.
Pertama, soal penerapan aturan Financial Fair Play (FFP) dari UEFA yang tebang pilih. Kamu juga bisa menggunakan istilah “tidak konsisten” atau “pilih kasih” di sini. Semua istilah negatif bisa dipakai karena pada kenyataanya, UEFA, bahkan FIFA adalah koperasi korup yang cuma bikin gemuk antek-anteknya.
Ketika Arsenal membangun stadion Emirates, manajemen melakukan pengetatan neraca keuangan. Yang The Gunners belanjakan, baik untuk gaji maupun membeli pemain, adalah uang yang ada di dalam kas. Bukan suntikan dana dari pemilik yang berpotensi melanggar FFP.
Saya tidak akan masuk ke detail angka. Namun, Intinya, Arsenal berusaha menjadi “anak yang baik” dengan tidak melanggar aturan. Pada titik ini, meski menjadi susah payah di liga dan tertinggal dari rival, saya bangga dengan klub yang saya dukung.
Namun, ketika ada beberapa klub mengakali aturan FFP, kita tahu bahwa UEFA tak pernah netral. Apalagi kepada arus uang haram yang membuat sebuah klub bisa lolos dari hukuman. Kamu pasti tahu klub mana yang saya maksud. Sebuah klub yang ikut membidani lahirnya European Super League.
Artinya, UEFA tak konsisten dengan aturan yang ada. Mereka menulis aturan tersebut, sekaligus mencoretnya menggunakan arang ketika aliran uang haram membanjiri rekening para petinggi. Tahi anjing!
Kedua, soal rasisme. Pernahkah petinggi UEFA dan FIFA melakukan langkah serius ketika masalah rasisme terulang lagi. Mengapa mereka tidak menunjukkan energi sebesar ketika melawan lahirnya European Super League?
Tentu saja mereka “malas-malasan” mengatasi masalah rasisme karena kasus ini tidak mengganggu pundi uang. Berbeda dengan potensi kelahiran European Super League yang bakal mengikis sumber pemasukan mereka. Salah satunya dari hadiah pemenang kompetisi dan sepotong hak siar.
Ketiga, saya bisa memahami sikap Arsenal untuk bergabung ke European Super League jika alasannya adalah kinerja FA yang begitu busuk. Terutama soal kinerja wasit Liga Inggris, di mana Arsenal seperti menjadi musuh bersama dan tidak boleh dibiarkan masuk papan atas lagi.
Kita tidak pernah membahas soal kebodohan Mike Riley yang sengaja memutus rantai tak terkalahkan Arsenal ketika dijamu Manchester United. Kita singgung musim ini saja, di mana The Gunners menjadi klub yang paling sering dirugikan wasit.
Jika kebodohan wasit tidak ada, saat ini, Arsenal tengah bersaing masuk empat besar Liga Inggris. Silakan sebut saya fans yang cengeng dengan menyalahkan wasit. Namun, saya berani bertaruh, kamu yang menuduh pasti ikut mengaduh ketika menjadi korban kebodohan wasit yang nalarnya lumpuh.
Memang, belum ada jaminan wasit European Super League bakal waras. Namun, setidaknya, membayangkan setiap laga Arsenal dikawal oleh wasit yang betul-betul adil, memberi saya imajinasi akan gambaran potensi skuat Arsenal. Tentunya setelah terjadi perombakan skuat sesuai “selera” Mikel Arteta.
Tiga alasan di atas sudah cukup untuk membuat saya “maklum” dengan sikap Arsenal lepas dari FA dan UEFA. Namun ingat, saya tidak pernah mendukung lahirnya European Super League. Sesuatu yang menjadi sangat eksklusif itu tidak pernah baik. Dikotomi kaya dan miskin akan semakin tebal. Jurang itu tidak akan bisa didekatkan lagi.
Padahal, sepak bola adalah pesta kita bersama. Tidak boleh ada yang mendaku penyelamat sepak bola padahal dirinya berlindung di balik derasnya aliran uang semata. Uang tidak pernah bersalah. Sama seperti teknologi VAR. Adalah manusia laknat yang membuat “benda” itu menjadi berbahaya.
Saya “menemukan diri sendiri” di dalam Arsenal. Atas nama keharmonisan yang diperjuangkan, atas nama integritas dan tradisi, saya menjadi fans Arsenal. Semuanya menjadi identitas diri dari kanak hingga sekarang. Sayang, semuanya hampir luntur ketika tim ini menjadi salah satu founding members European Super League.
Kelak, jika European Super League gagal terwujud dan kembali ke pangkuan asosiasi masing-masing, integritas 12 klub pendiri sudah kadung retak di mata akar rumput. Golongan masyarakat di mana sepak bola itu lahir.
Kepercayaan itu seperti guci mahal. Ketika guci itu jatuh, kamu bisa memperbaikinya dengan selotip atau menambalnya kembali dengan tanah liat. Namun, retaknya tidak akan hilang. Dan jauh di lubuk hati, meskipun kamu bisa memaafkan mereka, rasa kecewa sudah kadung bersemayam.
Saya kecewa, tapi saya bisa memahami kenapa kegaduhan ini harus terjadi. Kini, sepak bola dan Arsenal, dan 12 klub pendiri European Super League tak akan lagi sama….
BACA JUGA European Super League: Persekutuan Jahat para Pencuri Sepak Bola dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.