MOJOK.CO – Rivalitas adalah soal aktualisasi diri dan membantunya tetap lestari dalam ingatan yang positif. Selamat ulang tahun Persebaya! Lestari dan tetap WANI!
Sayup saya dengar, samar saya ingat, suara Sambas Mangundikarta bergema dari televisi hitam putih di ruang keluarga. Saya tidak ingat tahunnya. Saya juga tidak bisa lagi mengingat jalannya pertandingan itu. Namun, sejak kanak, nama Persebaya Surabaya sudah akrab menyapa telinga. Bahkan sejak sebelum saya betul-betul mengenal apa itu sepak bola profesional.
Soal kedekatan, saya lahir dan dibesarkan di Jogja Kota, bertetangga dengan sanctuary yang disebut Mandala Krida. Maka secara de facto, saya adalah fans PSIM Jogja.
Kisah kala menjadi fans PSIM seperti menjadi bingkai dalam lini masa hidup saya. Mulai dari menikmati sore hari dengan bermain bola di atas lapangan Mandala, bertemu untuk sekadar mengobrol berbagi rokok dengan sesama kawan suporter di sekitaran stadion, hingga merencanakan awayday bersama rekan-rekan kantong suporter.
Satu yang pasti. Sore atau malam hari, meniti tangga berwarna abu-abu dengan tiket di tangan, mendekati pintu besi usang berwarna merah, dan sebuah perasaan meluap ketika hijau rumput Mandala mulai menyapa mata. Ada perasaan agung yang melegakan ketika menghirup aroma tribun stadion untuk pertama kali. Sebuah perasaan yang langka, sebuah kerinduan yang mahal, kerinduan milik saya seorang.
Seiring waktu, seiring usia, sebagai suporter sepak bola, mengenal makna dan rasa rivalitas adalah sebuah kepastian. Terkadang, rivalitas diterjemahkan secara tunggal: mencintai satu sisi, artinya membenci sisi lainnya. Butuh waktu lama bagi saya untuk memahami bahwa permaknaan tunggal seperti itu adalah salah.
Bahwa di tengah kultur suporter, kreativitas tidak hanya soal menciptakan makian paling canggih untuk melukai hati lawan. Kreativitas bisa juga berupa usaha kolektif, membangun konsolidasi, bekerja sama, menciptakan sebuah karya abadi. Sebuah karya dari tengah kultur suporter yang akan menjadi warisan untuk generasi baru kelak.
Persebaya Surabaya, dan tentu saja Bonek di dalamnya, mengajarkan banyak hal. Pertama-tama adalah sebuah perlawanan kepada citra negatif yang sudah kadung melekat berkat sejarah panjang. Saya mengenal sekumpulan orang-orang kreatif dalam wadah Bonek Writer Forum, yang mencurahkan energinya untuk sesuatu yang positif, atas nama kecintaan kepada Persebaya Surabaya.
Mereka tidak lantas berlindung di balik kemegahan nama Bonek dan Persebaya. Mereka menggunakan nama Bonek dan Persebaya, seakan-akan, seperti bahan bakar untuk menyebarkan energi positif ke semua suporter sepak bola Indonesia. Bahkan, berani saya tegaskan, pesan positif itu juga dikirimkan kepada suporter rival.
Bonek Writer Forum berkonsolidasi menerbitkan sebuah buku. Sebuah karya yang di dalamnya merangkum beberapa peristiwa sejarah dan uraian akan opini pribadi tentang bencana dan sepak bola. Mereka membungkusnya ke dalam konteks membantu sesama dengan menyumbangkan keuntungan penjualan buku untuk melawan pandemi corona.
Hari ini, 18 Juni 2020, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-93 Persebaya, Bonek Writer Forum menerbitkan koran digital. Koran yang bisa kamu unduh secara gratis itu merangkum kisah-kisah, yang sebetulnya sangat sederhana, tentang dinamika suporter mendukung belahan hatinya. Kamu bisa mengunduhnya ndik kene.
Saking sederhananya, justru menjadi pengalaman personal yang begitu berharga. Tentang rekaman sejarah kecintaan masing-masing penulis kepada Persebaya.
“Menyambut HUT Persebaya ke-93, 18 Juni 2020, anggota BWF ingin mengenang dan berbagi pengalaman terkait dengan Persebaya, kenangan sedih, pahit, senang, dan manis. Mulai dari kenangan di Tambaksari, kecopetan, jual sepeda agar bisa menonton Persebaya, hingga sandal pedhot,” tulis Bonek Writer Forum lewat sejarahpersebaya.com.
“Kami ingin bernostalgia masa kanak-kanak dan remaja kami dengan Persebaya melalui Koran BWF ini. Harapannya, kami bisa menginspirasi khalayak tentang dunia tulis menulis. Gol terakhir yang kami inginkan adalah literasi tentang sepak bola tidak akan pernah mati.”
Bonek, tegas Bonek Writer Forum, bukan lagi sebatas suporter. Mereka menjadi semacam konstruksi sosial masyarakat. Manusia di dalam Surabaya begitu lekat dengan kata Bonek. Bonek adalah Persebaya. Oleh sebab itu, Persebaya, yang berulang tahun ke-93 adalah Surabaya yang tengah punya gawe.
Saya rasa, tingkat tertinggi dari mendukung sebuah klub bukan sebatas datang ke stadion atau membeli pernak-pernik resmi. Mendukung sebuah klub juga bukan melindunginya dari rival. Tingkat tertinggi dari mendukung sebuah klub adalah menghidupinya. Memaknai betul identitas diri yang konon sudah setara agama ini.
Memaknai, membuatnya menjadi abadi ke dalam sebuah prasasti bernama karya, menjadi warisan untuk generasi baru. Kelak, generasi baru tidak hanya belajar rivalitas dalam kontens cinta dan benci. Rivalitas adalah soal aktualisasi diri, menjaga nama baik belahan hati, dan membantunya tetap lestari dalam ingatan yang positif.
Selamat ulang tahun Persebaya. Panjang umur perlawanan. Wani!
BACA JUGA Bonek Writer Forum Menularkan Keberanian dan Foo Fighters Bernyanyi di Belakangnya atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.