MOJOK.CO – Jika Pirlo dan Arteta memaksa Bernardeschi dan Bellerin untuk selalu sprint di lomba maraton, kedua pemain ini tidak akan pernah sampai di titik akhir.
Sepak bola profesional, pada titik tertentu, bisa menjadi rumah yang kejam untuk pemain tertentu. Terutama kepada mereka yang punya potensi tetapi gagal berkembang, tetapi masih dipercaya oleh pelatih masing-masing. Tanya saja Federico Bernardeschi dan Hector Bellerin.
Andrea Pirlo, pelatih Juventus, begitu percaya kepada Bernardeschi. Sementara itu, Bellerin mendapat kepercayaan yang rasanya terlalu luas dari Mikel Arteta, pelatih Arsenal. Berkat kepercayaan yang terasa percuma itu, kedua klub menjadi bahan ledekan dan kedua pemain jadi sasaran kecaman.
Saya mengenal Bernardeschi atas performanya yang sangat baik ketika berseragam Fiorentina. Banyak bermain dari sisi kanan, Bernardeschi cukup produktif membuat asis atau gol. Posturnya juga sangat ideal untuk penyerang sayap. Tegap, dikombinasikan kemampuan olah bola yang terlihat matang.
Kepindahannya ke Juventus mengingatkan saya akan kepindahan Roberto Baggio. Namun, tentu saja, dengan level kebencian yang lebih rendah. Tidak sampai memicu kerusuhan di Firenze. Saat itu, seakan-akan, Juventus berhasil mengamankan penyerang sayap produktif yang masih agak jarang untuk timnas Italia.
Sementara itu, kemunculan Bellerin berawal dari “kesialan”. Mathieu Debuchy, bek kanan Arsenal, menderita cedera bahu sementara tidak ada lagi bek kanan di tim utama. Bellerin, yang melakoni debut sebagai gelandang sentral, dijadikan “ban serep” oleh Arsene Wenger.
Bellerin muda terlihat sangat menjanjikan. Kecepatannya mengagumkan. Sangat berani melakukan duel. Tekelnya on point. Kedewasaannya di atas lapangan melebihi usianya yang masih 19 tahun. Saat itu, seakan-akan, Arsenal berhasil mendapatkan hidden gems, bek kanan masa depan timnas Spanyol.
Namun nasib tersurat berbeda. Karena sebab yang berbeda, Bernardeschi dan Bellerin kehilangan kemampuan terbaiknya. Pada titik ini, celakanya, Pirlo dan Arteta menaruh kepercayaan yang begitu besar kepada masing-masing pemain. Kepercayaan yang sangat dipaksakan, terlepas dari kondisi skuat masing-masing.
Pirlo “memaksa” Bernardeschi untuk bermain sebagai bek sayap kiri. Performanya tidak pernah memuaskan jika menyimak nyinyiran fans Juventus ketika Bernardeschi bermain. Sementara itu, di bangku cadangan, ada Gianluca Frabotta yang bisa bermain sebagai bek sayap kiri meski belum konsisten mengingat usianya.
Di Arsenal, Mikel Arteta sangat percaya kepada Bellerin. Bahkan ketika di bangku cadangan ada Ainsley Maitland-Niles (sekarang sudah dipinjamkan ke West Bromwich Albion. Ainsley memang pernah menegaskan ingin bermain sebagai gelandang. Namun, celakanya, ketika bermain sebagai bek kanan, Ainsley bisa memberikan lebih ketimbang Bellerin.
Di satu sisi, mempertahankan pemain yang terlalu menuntut memang tidak baik untuk skuat. Namun, jika si pemain bisa memberikan hal yang lebih, sudah sewajarnya pelatih berusaha mempertahankannya. Toh Ainsley hampir selalu bermain bagus ketika dipercaya Arteta, baik sebagai bek kiri atau kanan.
Kini, tangan Arteta seperti terikat. Tidak bisa begitu saja mencadangkan Bellerin. Pelapis Bellerin, yaitu Cedric Soares, justru dijadikan pelapis Kieran Tierney sebagai bek kiri. Tidak ada lagi pemain di tim utama yang bisa menjadi bek kanan. Gagal membeli bek kiri di Januari 2021 membuat Arteta serba salah. Terjebak oleh kepercayaannya yang berlebihan.
Kepercayaan berlebihan dari Pirlo dan Arteta ini tidak baik untuk tim dan si pemain. Tidak baik untuk tim karena Bernardeschi dan Bellerin akan menjadi titik lemah, baik ketika bertahan maupun menyerang. Tesis ini hampir selalu terbukti setiap kedua pemain ini bermain.
Tidak baik untuk si pemain karena mereka akan menjadi sasaran kemarahan fans setiap pekan. Meski Bernardeschi dan Bellerin punya mental tebal, perlahan-lahan, serangan itu pasti berefek ke mental masing-masing. Di sini, pelatih harus melindungi dengan mencadangkan mereka.
Kebijakan yang sama pernah dirasakan Granit Xhaka, gelandang Arsenal, yang performa dan kondisi mentalnya tengah ambruk. Dia tidak bermain selama beberapa pertandingan. Dia “diizinkan” duduk di bangku cadangan untuk mendinginkan kepala. Hasilnya, kini, Xhaka hampir selalu bermain.
Namun, kita tahu, kondisi skuat tidak mengizinkan Pirlo dan Arteta untuk merotasi Bernardeschi dan Bellerin. Cedera dan kebijakan transfer mengikat tangan mereka dengan sempurna. Serangan fans, kelelahan akibat jadwal padat, dan kegusaran karena performa buruk adalah kombinasi mematikan untuk siapa saja.
Kepercayaan adalah hal yang besar dan berat. Memang menyenangkan ketika kita selalu dimandikan dengan kepercayaan oleh atasan. Namun, di sisi lain, ada tanggung jawab untuk mengubah kepercayaan itu menjadi hal-hal konkret. Bernardeschi dan Bellerin pasti sadar akan hal ini, tetapi mereka kesulitan untuk memacu diri.
Dari keduanya kita belajar bahwa berlari sekencang mungkin untuk mengejar karier bukan pilihan bijak. Terkadang, kita harus menginjak rem untuk mempelajari kelemahan, belajar hal-hal baru, dan membangun jaringan sosial yang kuat.
Mengejar karier bukan kejuaraan lari 100 meter, tetapi maraton. Dibutuhkan bekal untuk menyelesaikan perlombaan yang berat ini. Dan yang terpenting, sang atlet harus sadar caranya mengatur kecepatan supaya tidak burn out sebelum titik akhir perlombaan. Di sini, tugas pengasuh menjadi sangat besar.
Jika Pirlo dan Arteta memaksa Bernardeschi dan Bellerin untuk selalu sprint di lomba maraton, kedua pemain ini tidak akan pernah sampai di titik akhir. Keduanya akan tumbang karena cedera, kelelahan, mental yang ambruk, lalu menjadi korban cibiran karena terlalu sombong selalu sprint untuk lomba lari jarak jauh.
BACA JUGA Aaron Ramsey: Bukti Kecakapan Andrea Pirlo Mewujudkan Teori untuk Juventus dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.