MOJOK.CO – Terkadang rasa sayang memang bikin bucin nggak ketulungan. Nggak heran, masih tetep sayang aja meski sudah dimanfaatkan gebetan.
TANYA
Salam Kenal Mbak Audian.
Nama saya Aris, dari Batang. Jadi masalahnya begini Mbak Au, ketika itu saya memiliki teman dekat dan hendak menjadikan ia sebagai pacar saya—sebut saja namanya Merin. Wanita yang saya idamkan sebagai pengisi kekosongan hati, pelipur lara, dan motivasi.
Merin yang awalnya begitu bahagia dan merasa nyaman dengan saya ini, ternyata ada maunya, Mbak Au. Mulai dari menyuruh saya untuk mengambilkan orderan pakaiannya, hingga membelikan kuota untuknya.
Saya berfikir bahwa ini akan menjadi masalah besar jika dimanjakan terus-menerus. Apa lagi di saat kanker (kantong kering). Kemudian saya berinisiatif sedikit mengurangi ketergantungannya dengan strategi yang telah saya susun berhari-hari. Begini strateginya, ketika Merin meminta saya untuk mengambil makanan yang telah diorder, biasanya dia langsung mencari saya melalui ponselnya. Di chatting-lah saya via WhatsApp. “Mas posisi dimana? Segera ambilkan ya orderanku, dan seperti biasa belum saya bayar.” Bujuk Merin pada saya.
Nah, saya berusaha tak membalasnya. Lalu pada keesokan harinya, dia juga memesan pakaian. Akan tetapi, dia langsung mengambilnya sendiri tanpa menyuruh saya lagi. Merin pun memperlihatkan orderannya pada saya, sehingga saya jadi tahu.
Berhasil pada strategi saat itu, pada Minggu berikutnya Merin tak lagi menghubungi saya. Selain itu, setiap saya chatting melalui WhatsApp, selalu saja bercentang dua warna biru. Iya sih, memang perintah pertama adalah membaca, tetapi yang saya butuhkan saat itu adalah balasan kabar darinya, Mbak Au.
Akhirnya saya beranikan menelpon. Iya, diangkat, tetapi kalimat, “saya ini hanya temanmu” keluar dari ucapan Merin. Saya tak boleh menangis, bayangkan saja ketika laki-laki menangis hingga membasahi kumis dan brewoknya.
Dia menghilang bak ditelan zaman. Meski ia belum gentayangan, sampai saat ini sosok Merin terbayang-bayang di benak saya, Mbak Au. Lantaran saking kuatnya sinyal saya padanya, lalu bagaimana biar tak terbebankan dalam pikiran saya dan kiranya tak menganggu aktivitas keseharian saya?
Terimakasih banyak Mbak Au sudah membacanya. Semoga pencerahan dari Mbak Au dapat membantu menyelesaikanya.
Salam dari saya, Aris dari Batang.
JAWAB
Hai Mas Aris yang baik dan penuh taktik. Begini ya, Mas, fyi aja, siapa yang nggak ngebolehin laki-laki menangis hingga membasahi kumis dan brewoknya? Memangnya, siapa yang ngelarang? Heh? Kalau mau nangis, mah, ya nangis aja. Keluarkan emosi-emosi negatif dan kekecewaan yang datang dengan keterlaluan itu, biar sampeyan lega. Kalau sampeyan memilih menahannya hanya karena gengsi dan malu sama brewok, ya nggak apa-apa, sih. Asalkan sampeyan rela-rela aja kehidupan selanjutnya berjalan dengan membawa beban yang nggak perlu-perlu amat untuk dipikul.
Ngomong-ngomong, sungguh saya mengapresiasi cara sampeyan supaya tidak dimanfaatkan gebetan terlalu dalam. Ya, cinta terkadang memang bisa sebajingan itu. Bagaimana bisa, kita masih suka, kagum, dan sayang pada seseorang yang sudah jelas-jelas menjadikan kita sebagai budaknya—yang bisa disuruh-suruh dengan seenaknya dan kalau sudah nggak bisa diandelin, ya di-bhay gitu aja.
Alih-alih menjadikan hubungan tersebut untuk saling mengenal satu sama lain. Kedekatan tersebut justru dimanfaatkan gebetan diam-diam. Eh, kalau yang sampeyan alami, nggak diam-diam, ding. Itu sih sudah alami, sudah nyata adanya betul.
Oleh karena itu, bagaimana sebaiknya? Ya, sebaiknya sampeyan mengikhlasan kedekatan yang masih dalam proses dipupuk itu. Lantas bersyukur dapat terlepas dari hubungan yang hanya membuat sampeyan berjuang sendirian.
Mas Aris, yang namanya hubungan itu harus ada ketersalingan. Kalau dalam hubungan tersebut hanya sampeyan yang mengusahakan, mendingan nggak usah diteruskan. Selain hanya bakal bikin sakit hati, juga bakal merugikan sampeyan secara waktu dan materiil juga. Sungguh ini sangat eman-eman.
Bukankah lebih baik sampeyan berusaha mengenal manusia yang lain? Yang lebih memanusiakan sampeyan? Serta tidak berperilaku sewenang-wenang dan seenaknya sendiri? Hmmm?
Dari proses pendekatan saja, sampeyan sudah dimaanfaatkan gebetan sedemikian rupa. Dia sudah berani meminta dibayari segala belanja online-nya. Bahkan nggak cuma minta dibayari, tapi dia juga menyuruh-nyuruh sampeyan jadi kurir antarnya sekalian? Bukankah itu sudah kurang ajar betul?
Lantas, bagaimana kalau hubungan tersebut naik tingkat jadi pacaran? Saat dia merasa sampeyan adalah miliknya seutuhnya? Kira-kira, apa lagi yang bakal dia minta dari sampeyan? Minta beliin rumah? Beliin mobil? Naikin haji? Minta tolong sampeyan buat bersihin rumahnya sekalian nyuciin baju seluruh anggota keluarganya? Bakal sejauh apa, sampeyan terjebak dalam sebuah kebucinan tak bergaransi tersebut?
Jadi, Mas Aris. Sudah, nggak perlu merasa menyesal dan eman dengan proses yang telah dijalani sebelumnya. Nggak usah eman terpisah dengan mbaknya yang sudah berhasil bikin sampeyan kepincut. Dengan kebaikan dan ketulusan sampeyan, tenang saja, sampeyan berhak mendapatkan yang jauh lebih baik. Yang bakal jauh lebih menghargai sampeyan sebagai partner, pasangan, atau apalah itu sebutannya.
Memang betul, orang tua sampeyan mengharapkan sampeyan jadi manusia yang bermanfaat. Tapi, nggak dimanfaatkan gebetan juga kali, Mas~
Pokoknya sih, sebelum sampeyan sibuk untuk menghargai orang lain, jangan lupa untuk belajar menghargai diri sendiri, Mas. Jadi, selamat menemukan~