MOJOK.CO – Seorang perempuan bercerita kalau hubungannya dengan pacar tidak direstui oleh orang tua. Pasalnya, si pacar dianggap belum mapan.
TANYA
Assalamualaikum, Mbak Au.
Langsung saja ya. Kenalin Mbak, nama saya Sri. Saya perempuan berumur 22 tahun yang jujur saja belum ada bayangan untuk nikah sama sekali. Saya sudah berpacaran selama 2 tahun dan bisa dibilang cukup serius. Dilihat dari pacar saya, Bambang, sudah mengenalkan saya ke keluarganya. Tidak hanya sebatas ayah, ibu, kakak, dan adiknya saja, tapi juga termasuk bude-budenya dan pakde-pakdenya.
Saya dan Bambang terpaut 3 tahun. Bambang lahir duluan. Apabila dihitung-hitung usia Bambang saat ini sudah menginjak 25 tahun, usia yang cukup debatable untuk disenggol-senggol soal pernikahan. Ditambah lagi bulan lalu ia sudah didahului adiknya yang mantap melamar kekasihnya.
Di sinilah permasalahannya. Ibu saya baru-baru ini memberi warning saya dengan keras dan jelas. Bahwa hubungan saya dan Bambang tidak direstui. Kecewa sekali saya waktu itu, apalagi ibu saya mengutarakannya dengan sangat kasar sekali. Terlebih lagi saya punya adik laki-laki, waktu itu yang terlintas di pikiran saya hanyalah, “Bagaimana kalau adik laki-laki saya dibeginikan?” Langsung saja saya memblokir kontak kedua orang tua saya.
Bukan tanpa alasan, hubungan kami tidak direstui. Baru-baru ini Bambang resign dari pekerjaannya dan belum mapan versi ibu. Lebih dari itu, ketakutan beliau berasal dari faktor internal keluarga kami sendiri. Ayah saya adalah seorang pecundang ulung. Selama lebih dari 20 tahun hidup berumah tangga, ia tidak pernah menafkahi kami meski berpenghasilan, tampan, dan mapan. Ketampanannya tak terbantahkan. Teman kuliah saya pun sempat mengutarakan naksir sama ayah saya.
Sebagai orang tampan, ayah saya memanfaatkan ketampanan itu dengan baik. Beliau mencurangi ibu saya dan berselingkuh dengan banyak wanita. Ada yang sampai berujung berbuah saudara tiri untuk saya dan adik. Ada juga yang tidak. Karena tidak pernah mengeluarkan uang sepeser pun, ibu saya berpikir kalau-kalau penghasilan ayah saya dihibahkan ke keluarganya yang lain.
Bagi saya, itu bukan sebuah masalah besar, kalau saja ibu mau menyudahi hubungannya dengan ayah. Namun, hidup di lingkungan yang masih menomor satukan omongan orang ketimbang rasa nyaman dan aman diri sendiri, itu bukanlah hal yang mudah. Terlebih nenek saya melarang keras. Katanya karena saya ini perempuan, apakah elok kalau anak perempuan seperti saya nggak punya bapak? Nanti kalau nikah gimana? Hahaha. Konyol sekali alasan nenek saya itu.
Saya pernah disindir beberapa tetangga saya karena hobi ibu yang suka update status WhatsApp yang isinya mengomentari permasalahan yang menimpa tetangga saya yang lain. ibu saya tergolong orang-orang yang apabila memiliki akun Instagram, feeds dan snapgramnya isinya hanya update soal hal-hal yang bikin orang mikir “wah orang punya”. Hobi beliau yang lain, suka mengadu domba, bahkan saya dan nenek sering jadi targetnya.
Saya mencoba memahami, orang mana sih yang nggak kepengin dianggap orang kaya? Tidak pernah ada sejarahnya beliau menyukai teman lelaki pilihan saya. Hubungan saya terlalu sering tidak direstui. Tidak ada garansi kalau saya mengakhiri hubungan dengan Bambang, ia akan simpati dengan yang berikutnya.
Kalau ayah sih, saya nggak ambil pusing. Figurnya di hidup saya kayak angin: ada, tapi nggak keliatan. Kalau dirasa saya berbuat salah, baru dia marah-marah. Seolah dia benar. Seolah dia sudah mendidik saya yang baik-baik. Seolah dia ayah saya.
Lebaran tahun ini, mereka berdua bertengkar, sebagai anak pertama saya mengupayakan hal yang terbaik. Saya mencoba mediasi keduanya. Saya duduk-temu kan mereka. Saya tanya kenapa seperti ini. Tapi keduanya diam. Dan ayah saya pergi melenggang begitu saja. wow. Saya selalu putus asa karena keduanya. Bahkan saya sering mencoba bunuh diri karena keduanya.
Masalah pekerjaan Bambang, alasan ia resign adalah karena ia sedang merintis usaha. Bukan karena dia menjadi total pengangguran. Namun, orang tua saya tidak mau mengerti. Padahal saya juga tahu diri. Saya bukan siapa-siapa. Bukan anak raja yang dipertahankan orang tua sampai harus menjatuhkan orang lain.
Bambang adalah hubungan paling lama dan paling serius yang pernah saya jalani. Dia bukan yang saya inginkan, tapi yang saya butuhkan. Berkali-kali saya dikecewakan orang tua saya. Berkali-kali saya ingin mengakhiri hidup saya. Bambang menyelamatkan saya. Bambang menerima saya, orang tua saya, tanpa tapi, tanpa cela.
Mbak Au, saya harus bagaimana? Saya belum memberitahu Bambang kalau ibu saya tidak suka. Saya hanya bilang kalau saya sedang marah. Haruskah saya akhiri dengan Bambang? Haruskah saya memberitahunya? Haruskah saya ikuti keinginan saya?
Terimakasih banyak, Mbak Au. Sejahtera selalu.
JAWAB
Waalaikumsalam, Mbak Sri….
Saya ikut sedih dengan permasalahan yang sedang sampeyan alami. Saya tahu ini bukan kondisi yang mudah bagi sampeyan. Apalagi kekesalan sampeyan pada orang tua, sudah berlangsung hampir sepanjang usia sampeyan.
Sebetulnya, saya yakin betul sampeyan sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan yang lumayan ruwet ini. Tapi semoga pendapat dari saya ini, bisa sedikit membantu menguatkan keinginan sampeyan itu.
Menurut saya sih, nggak ada masalah kalau sampeyan tetap melanjutkan hubungan dengan Mas Bambang. Kalau memang alasan ibu meminta kalian putus juga hanya “soal kemapanan”. Maksudnya, ibu menganggap Mas Bambang pengangguran dan akan susah membahagiakan sampeyan kelak kan, Mbak? Padahal tanpa ibu mau pahami, dia memutuskan keluar dari pekerjaan untuk merintis usaha, untuk memperbaiki kondisi finansialnya.
Kalau memang hubungan sampeyan tidak direstui karena kondisi finansial, dan sebetulnya Mas Bambang saat ini sedang mengusahakan keadaan finansial yang lebih baik. Tentu solusi itu sudah terjawab, dong? Apalagi, sampeyan juga bilang, belum kepikiran soal pernikahan dalam waktu dekat. Meskipun, sepertinya tidak seperti itu bagi Mas Bambang, sebab adiknya sudah melamar kekasihnya. Akan tetapi, menikah kan, bukan soal siapa yang harusnya lebih dulu?
Oleh karena itu, saya sih mendukung terus komitmen hubungan kalian. Ya, nggak perlu dengan langsung mengkonfrontasi ibu dan ayah. Diiyain saja dulu permintaan dari mereka. Untuk saat ini, biarkan saja mereka mau berkomentar apa pun tentang hubungan kalian. Mengemukakan protes secara langsung untuk saat ini, sangat tidak tepat. Yang ada, justru menjadikan kondisi semakin runyam. Beri jeda waktu dan beri kesempatan Mas Bambang untuk membuktikan dirinya. Tentu saja dengan dukungan penuh dari sampeyan.
Karena keadaan yang nggak enak ini juga menyangkut Mas Bambang, tentu saja ini perlu dikomunikasikan padanya dengan lebih clear. Tanyakan juga padanya, apakah dengan hubungan yang tidak direstui tersebut ia bersedia untuk sama-sama berjuang? Ataukah menyerah saja?
Akan tetapi, supaya dia tidak merasa sedih karena dianggap “sebelah mata” oleh keluarga sampeyan. Tunjukkan juga kalau sampeyan mendukung dia dengan sungguh-sungguh. Bahwa sampeyan siap bergerilya bersama dengannya. Halah.
Kalau memang karena adik Mas Bambang sudah melamar kekasihnya membuat orang tuanya pengin kalian segera mengesahkan hubungan, lebih baik minta Mas Bambang untuk menjelaskan kondisi kalian pada orang tuanya. Supaya menjadi lebih jelas bagi mereka, sehingga kalian tidak perlu diminta untuk tergesa-gesa menikah.
Mengenai sikap ayah dan ibu sampeyan sendiri. Saya sebetulnya tidak dapat berkomentar banyak. Maksudnya, apa sih, yang bisa kita lakukan untuk “memperbaiki” sikap mereka? Mengingatkan kalau sikap mereka salah dan tidak patut, tentu saja akan dianggap tidak sopan dan kurang ajar. Jadi, tetaplah berbuat baik dan berusaha tidak merugikan orang lain.
Oh ya, satu lagi. Meski hal ini tidak selalu dapat dibenarkan, tapi merantau bisa jadi alternatif. Siapa tahu dengan mengurangi interaksi dengan mereka, bisa membuat otak dan mental sampeyan lebih waras. Apalagi dengan merantau, bisa melatih sampeyan untuk mandiri dan menjadi manusia yang tidak bergantung pada mereka lagi.
Jadi, selamat menguatkan komitmen dengan Mas Bambang, ya Mbak~