MOJOK.CO – Jokes receh selalu berhasil memberikan kesan yang unik: lucu dan cringe, tepat seperti apa yang Nurhadi-Aldo berikan pada kita semua.
Lini masa media sosial masih ramai tertawa gara-gara meme terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden fiktif, Nurhadi-Aldo. Belum habis ketawa netizen berkat pernyataan-pernyataan dan poster resmi paslon fiktif bernomor 10 ini, caleg-caleg dan relawan Nurhadi-Aldo pun bermunculan. Mereka tentu saja lahir dari kalangan netizen yang juga menggelontorkan program kerja fiktif dan kreatif yang beraneka rupa. Lagi-lagi, fenomena ini mengundang tawa yang lebih besar, menyebar melalui grup WhatsApp dan mulut ke mulut.
Padahal kalau dipikir-pikir, tulisan-tulisan dan gambar yang lahir dari akun Nurhadi-Aldo dan caleg-caleg dadakannya bukanlah merupakan masterpiece dari penulis skenario film komedi. Ia hanya jokes receh yang ditulis oleh manusia-manusia biasa saja seperti kita, tapi efeknya tidak biasa: tertawa nasional yang mewabah ke seluruh penjuru Indonesia.
Dalam bahasa Inggris, jokes receh mungkin paling dekat dengan istilah dad jokes alias jokes bapak-bapak yang juga kerap kita alami saat bersama dengan bapak atau melalui teman-teman kita yang memang garing tapi lucu (hadeeeh, gimana ini maksudnya???). Meski berbeda nama, jokes receh dan jokes bapak-bapak sama-sama memberikan kesan serupa: lucu dan cringe di saat yang bersamaan.
Ya maksud saya, siapa sih yang nggak kesel-kesel gemes kalau ditanyain “Emang nyamuknya sakit apa?” waktu kita lagi pergi beli obat nyamuk???
Pertanyaannya, kenapa kita bisa segampang itu tertawa gara-gara jokes receh??? Kenapa kita nggak bisa bersikap lebih elegan dan menahan tawa saat membaca tulisan-tulisan di meme yang tersebar atau waktu mendengar jokes-nya Uus, misalnya, soal warung makan Bebek Slamet yang menunya ayam semua karena bebeknya slamet (selamat) dan tidak jadi dimasak???
Ternyata, hal ini pun telah mencuri peneliti di tahun-tahun sebelum tulisan ini dibuat. Konon, jokes receh dianggap memenuhi standar ketawa kita karena beberapa alasan, sebagai berikut:
Pertama, tingkat stres manusia meningkat tajam.
Sebuah penelitian yang digelar di Carnegie Mellon University menyebutkan bahwa tingkat stres penduduk dunia mengalami peningkatan sejak tahun 1983, yaitu sebesar 18% pada wanita dan 24% pada pria. Nggak perlu jauh-jauh untuk melihat bukti tingkat stres yang naik, lah wong kita pulang sekolah atau kerja aja rasanya udah umub banget, kok! :(((
Kelelahan fisik dan mental inilah yang membuat otak kita ‘kehausan’ akan hiburan. Tapi dasar manusia milenial, yang kita rasakan lelah ya cuma fisik dan mental—tidak demikian dengan jempol tangan kita. Alhasil, bukannya tidur, kita malah lebih doyan nge-scroll lini masa Twitter atau Instagram.
Nah ini dia, Pemirsa: media sosiallah yang menjadi gerbang pertemuan kita dengan jokes receh!!!
Dalam kondisi lelah dan butuh hiburan, kalimat-kalimat sederhana pun terasa bagai es teh bagi tenggorokan yang kering. Walaupun tadinya kita marah-marah karena deadline kerjaan yang mendadak, kita pun lantas ngakak tak henti-henti saat melihat tulisan “Kalau makan, nasinya jangan disisain sebutir pun. Kasihan nanti nangis sendirian!” atau jenis pertanyaan konyol, semacam “Biru tua sama biru muda jaraknya berapa tahun, ya?”
Hadeeeeeh, receh banget!
Kedua, menertawakan penderitaan bersama dan bikin kita tidak merasa sendirian.
Percaya tak percaya, kekuatan jokes receh yang mendarah daging pada masing-masing diri kita (tolong akui saja, please!) salah satunya bersumber dari penderitaan diri sendiri. Kesamaan nasib dengan jokes yang beredar pun merangsang otak untuk ikut tertawa dan menyadari betapa lucunya hidup kita sendiri dalam rupa sebuah lelucon.
Gini loh, gini loh. Siapa, sih, yang nggak pengin ketawa sekaligus mellow sendiri waktu melihat poster Nurhadi-Aldo yang berbunyi “Sekadar Mengingatkan, Besok Kerja” di hari terakhir kita liburan??? Atau, salah satu kutipan buatan caleg fiktifnya yang berbunyi “Memberantas janji dan harapan palsu karena kami punya screenshot (chat)-nya”??? Semuanya terasa sangat relate dengan diri kita sampai kita tak keberatan untuk tertawa keras-keras dan menekan tombol Retweet atau Like.
Ketiga, jokes receh menyelamatkan kita dari kebosanan atas hal-hal mainstream.
Masih ingat betapa lagu-lagu Tulus mendominasi masa-masa percintaan dan kehidupan kita serta 200 juta penduduk Indonesia lainnya? Kala nama Tulus sedang naik-naiknya, ada saja orang yang bisa mengolah kepopuleran mainstream ini sebagai jokes, misalnya memplesetkan nama Tulus dengan cover albumnya sendiri, mulai dari Lulus (lengkap dengan gambar Tulus pakai topi dan seragam SMA yang sudah dicoret-coret), Lupus (gambar Tulus diedit sedemikian rupa sehingga memiliki jambul dan sedang mengonsumsi permen karet—seperti tokoh Lupus pada serial buatan Hilman Hariwijaya), atau bahkan Tadarus (Tulus hadir dengan versi kopiah dan Alquran).
Munculnya caleg-caleg fiktif Nurhadi-Aldo pun merupakan bentuk penyelamatan atas merebaknya isu paslon fiktif ini. Sebelum masyarakat dibuat bosan, ada saja gebrakan baru yang mewabah.
Lantas, apakah kita semua tertawa? O, jelas! Dalam hati, kita pun bertanya-tanya: kok kepikiran, sih???
Iya, iya, kok orang-orang itu kepikiran materi receh terus, sih??? Kalau saya, sih, jelas nggak bisa mikirin jokes receh. Kenapa, coba?
Ya, soalnya otak saya sudah dipenuhi pikiran-pikiran tentang kamu.
Eaaaa~