“Jika saja ketika itu saya sudah bisa berkirim pesan instan ke ayah…”
Demikian Kompas mengutip wawancara Jan Koum dengan Wired. Bersama Brian Acton. Kita mengetahui bersama bahwa Koum adalah orang yang berada di balik layar terkembangnya aplikasi paling keren sejagat raya, WhatsApp.
Ngomong-ngomong, kenapa saya bilang paling keren?
Kalau Jan Koum tidak meracik WhatsApp bareng Acton, boleh jadi sampai sekarang saya adalah jomblo menahun yang masih berkerak. Berkat WhatsApp dan foto profil sebagi menu penyerta, saya berhasil mendekati seorang wanita yang akhirnya mau saya nikahi. Saya yakin benar, bahwa kisah ketemu jodoh via WhatsApp bukan hanya terjadi pada saya. Kisah ini tidak cukup terkenal karena tidak ada publisitas ala Rey Utami dalam kasus aplikasi Tinder. Lagipula, kebanyakan lelaki pada hari ketujuh bukannya ngajak kawin, tapi masih berusaha minta foto selfie namun belum dikasih-kasih.
Oke, lupakan soal perjodohan. Kasihan para kerabat Mojok yang budiman yang sejauh ini cuma bisa main “self service” sebagai penyaluran hasrat.
Kreasi Koum dan Acton makin lama makin komplit. WhatsApp yang tadinya terbayangkan oleh Koum untuk menampilkan update status seseorang di daftar kontak ponsel lantas menjelma menjadi perangkat berkirim pesan ke orang di belahan dunia lain secara instan. Muncul sebagai anak bawang dalam hegemoni BlackBerry Messenger (BBM), WhatsApp tampil dengan kesederhanaan untuk mencuri hati dan dengan pelan tapi pasti berada di dalam gawai nyaris setiap orang.
Sekarang, bakul-bakul apapun dalam menambahkan nomor telepon genggam akan memberikan keterangan ‘ada WA’ dan sejenisnya. Bermodal nomor telepon genggam dan aplikasi WhatsApp, serta segenggam kuota yang itupun dapat gratisan dari Wi-Fi warung setempat, orang-orang sudah bisa berkomunikasi, sudah bisa mbribik, sudah bisa PDKT, termasuk sudah bisa memutuskan kekasih. Jangan lupakah bahwa WhatsApp juga adalah sarana berbagi voor, mulai dari Liga Inggris sampai liga kopi saset.
WhatsApp secara gemilang juga mempertemukan kembali teman-teman yang telah hilang. Bermodal nomor telepon genggam yang mungkin telah disimpan sekian lama, lantas berkoneksi dengan WhatsApp, pada akhirnya terkumpul manusia-manusia yang pernah bersama dalam suatu waktu. Maka kemudian muncul grup WhatsApp ‘SMA 1 Gladiol Magelang 2006’, ‘Kweekschool Bukittinggi 2001’, ‘JB2004’, hingga ‘TK Pertiwi 1973’. WhatsApp tetiba menjadi sebuah aplikasi sentimentil yang mempertemukan orang-orang yang sekian lama tiada pernah bersua, termasuk diantaranya mungkin mantan terindah.
Bermodal nomor ponsel, punya 1, minta admin meng-invite, begitu terus hingga akhirnya WhatsApp sampai perlu menambah kapasitas grup dari puluhan menjadi ratusan.
Grup WhatsApp menjadi sebuah tren yang wajib dimiliki. Dia digunakan untuk pekerjaan, kala satu bagian atau divisi harus punya grup sendiri dan isinya adalah bos dan anak buah. Dalam konteks ini, grup sebelah kemudian muncul, isinya adalah anak buah tanpa bos. Isinya? Tentu saja Ngunek-unekke bos.
Dalam perkembangannya, grup WhatsApp memiliki diferensiasinya sendiri. Grup kantor tanpa bos, misalnya, membentuk sel baru dalam wujud grup yang isinya batangan semua. Dalam grup itu kemudian yang beredar adalah gambar-gambar asyik serta lelucon yang kemungkinan akan dilarang oleh Si Komo karena terlalu saru. Di sisi lain, teman saya berkisah bahwa dia pernah tiba-tiba masuk ke dalam suatu grup yang isinya semata-mata doa, hasil invite dari koleganya di kantor.
Demikianlah jika ada satu kelompok pelatihan akan muncul grup WhatsApp sendiri. Sesama pendaki yang kebetulan bersua di sebuah pos, lantas bersatu dalam satu grup WhatsApp yang lain lagi. Bahkan, barisan para mantan seorang playboy maupun playgirl dapat saja membentuk grup sendiri guna membahas konsolidasi, semisal untuk membentuk organisasi masyarakat semacam ‘Paguyuban Mantan Kekasih Agus Mulyadi’.
Sampai titik ini, kiranya visi Jan Koum belum terusik. Koum yang mantan orang Yahoo adalah orang yang tidak nyaman dengan begitu banyaknya iklan dalam sebuah layanan. Koum memiliki visi layanan yang murni, hal yang membuatnya bertahan membuat WhatsApp tanpa iklan. Setidak-tidaknya sampai WhatsApp terjual ke Facebbok.
Dan sekarang, waktu mulai membuktikan, bahwa perlahan, Visi Koum pada WhatsApp mulai kandas.
Perkembangan Indonesia belakangan ini begitu nyata memberi perubahan dalam grup WhatsApp. Grup yang tadinya adalah tempat bagi pribadi-pribadi yang sudah tidak bertemu sekian puluh tahun kemudian memasuki masa jenuh. Lengkapnya, jenuh hidup bahagia. Maka, provokasi mulai dilempar pelan-pelan sekali dan meledak dalam beberapa bulan terakhir tahun 2016 ini.
Ayat-ayat kitab suci dikirimkan di WhatsApp tanpa peduli bahwa di dalam grup itu ada anggota yang beragama lain. Pesan-pesan kebencian pada Presiden, maupun pesan-pesan dukungan buta kepada Presiden dikirimkan sama adilnya.
Kondisi tersebut menjadi lebih buruk kala kejadiannya adalah pada grup WhatsApp keluarga besar. Kita ketahui bersama bahwa di Indonesia ini jamak sekali keluarga besar dengan latar belakang agama beragam. Simbah buyut saya almarhumah adalah penganut Kejawen yang lantas punya 9 orang anak yang terbagi dalam 2 agama. Lah, kalau keluarga semacam ini bikin grup WhatsApp sudah terang benderang bahwa akan ada 2 agama di dalam sana. Bahkan bisa berubah jadi 3 atau 4 jika kemudian ada anak cucu yang berpindah agama dengan alasannya masing-masing.
Grup WhatsApp yang tadinya mengenang cerita masa kecil para cucu, kejahilan para Pakdhe dan Budhe, ngobrol soal resepsi nikah kerabat, diskusi soal pondasi rumah, rembugan harga usuk dan blandar untuk bangunan dapur, hingga cerita bijak warisan Simbah, mulai berubah menjadi pesan-pesan politik, termasuk menjurus hingga banyaknya Tenaga Kerja Asing (TKA) dari negara tertentu yang masuk Indonesia. Musnah sudah kisah Paklik maling asu dan Bulik yang nangis karena ditinggal sama Simbah di kali.
Hal sama buruknya terjadi pula di grup WhatsApp urusan kerjaan kantor. Saya punya satu grup WhatsApp yang isinya orang-orang kantor dan harusnya isi postingan dalam grup itu adalah tentang pekerjaan maupun kompetensi masing-masing, namun yang muncul di percakapan itu adalah diskusi tentang Dajjal. Piye arep ora mumet?
Grup WhatsApp kekinian menjelma menjadi pemecah belah bangsa lapis pertama, langsung di tangan masing-masing anak bangsa. Kebencian kini tidak hanya kepada mantan belaka, namun juga kepada teman satu grup WhatsApp yang dengan kebebalannya mem-posting hal-hal konsumsi kalangan tertentu pada grup yang berisi kalangan lain yang lebih umum.
Kini telah muncul grup-grup sempalan. Bahkan lebih mudah menemukan grup WhatsApp baru hasil pecahan daripada partai baru yang bersumber dari Golkar. Kini para alumni tahun sekian yang tadinya baik-baik saja melempar canda di grup lantas menjadi hening. Sesekali muncul WhatsApp propaganda, namun tidak lama lagi akan hening.
Jam Koum tadinya menginginkan sebuah layanan yang sederhana, tanpa gangguan iklan, dan dari visi itu terciptalah WhatsApp. Kini, bahkan saat iklan itu belum benar-benar mengganggu, WhatsApp dengan segala anggota grup WhatsApp yang bebal dan egois telah menjadi pengganggu yang sebenarnya. Walau begitu, saya tidak hendak mengasihani Koum. Meski visinya pelan-pelan bubar, setidaknya dia sudah kaya. Ngorok saja sudah jadi duit. Sementara saya dan para penyebar propaganda di grup WhatsApp itu masih bernasib sama: bangun pagi, menikmati kemacetan, menanti gaji yang tiada kunjung nambah, serta bertambah benci dari hari ke hari.
Aduuuh, sudah ah, saya mau baca-baca soal Dajjal dulu sambil nyumpahin programernya WhatsApp yang masih saja menampilkan notifikasi kalau ada anggota yang keluar dari grup.