MOJOK.CO – Rindu tak selalu tentang yang indah-indah, kadang, rindu bisa muncul dalam bentuk yang amat menjijikkan: tahi.
Iduladha atau lebaran besar saya pikir selalu menjadi momen yang istimewa bagi banyak anak. Saya, selalu mengingat masa kecil saat lebaran besar di mana saya dan kawan-kawan saya, sesaat sebelum salat ied, melihat dan sibuk menghitung berapa kambing dan berapa sapi yang akan disembelih nanti setelah salat Ied.
Tiap kali melihat jumlah kambing dan sapi yang banyak itu, selalu muncul ketakjuban, betapa kayanya desa saya. Atau lebih tepatnya, betapa kayanya warga desa saya yang berani membayar kambing dan sapi tersebut untuk kemudian disembelih dan dibagi-bagikan.
Penyembilahan dan pemotongan daging selalu menjadi momen yang paling menyenangkan bagi saya, dan mungkin bagi anak-anak lain.
Saya, selalu kagum dengan kecepatan kerja lelaki-lelaki dewasa dalam menyembelih dan mencacah-cacah daging yang jumlahnya sangat banyak itu, sehingga dengan kecepatan yang luar biasa itulah daging-daging tersebut sudah terbungkus dalam plastik dan siap untuk dibagikan setelah salat zuhur,
Menyaksikan para bapak dan para pemuda itu mencacah, timbul semacam keinginan sederhana bagi saya saat itu.
Saya berharap, kelak, kalau saya tumbuh besar, saya akan menjadi bagian dari mereka yang ikut mencacah-cacah daging tersebut. Rasanya seperti tak ada yang lebih menggairahkan menjadi seorang dewasa selain bisa mencacah-cacah daging kurban.
Kelak, keinginan sederhana itu rupanya susah untuk terwujud. Saat saya dewasa, ternyata saya tak punya skill yang mumpuni dalam hal potong-memotong.
Tak ada sejumput pun nyali jagal yang tumbuh pada diri saya.
Dan puji Tuhan, ternyata bukan hanya saya anak yang tumbuh dewasa tanpa nyali jagal ini. Banyak kawan-kawan saya yang juga demikian.
Kondisi tersebut lantas membuat kami mendapatkan peran yang kelak, ternyata saya begitu menyukai dan menikmatinya: mencuci jeroan di sungai.
Karena kami tak bisa ikut membantu mencacah-cacah daging, maka mencuci jeroan menjadi tugas yang paling memungkinkan bagi saya dan kawan-kawan lain agar tak tampak nganggur-ngaggur amat dan masih cukup layak untuk dianggap “berkontribusi”.
Kami mengangkut jeroan-jeroan itu menggunakan gerobag celeng. Semacam gerobag dorong satu roda yang iklannya dibintangi komedian Doyok dengan tagline andalannya “Tinggal soroooong!” itu.
Ada satu bagian yang begitu saya sukai dari mencuci jeroan ini, yakni menyisir bagian usus (atau saluran pembuangan?) dan menggiring tahi yang ada di sana agar mau keluar semuanya.
Sungguh, itu sangat menyenangkan. Usus sapi atau kambing benar-benar menjadi wahana permainan yang sangat menyenangkan. Ia serupa labirin yang panjang.
Saya tipikal orang yang cukup suka dengan video-video satisfying seperti memencet jerawat, mengeluarkan duri dari daging, mengeluarkan peluru dari tubuh, dan sebangsanya itu. Dan menurut saya, kegiatan mengeluarkan tahi dari dalam usus kambing dan sapi itu adalah aktivitas yang juga satisfying.
Dan ya, lagi-lagi, bukan saya saja yang menyukai aktivitas ganjil itu. Beberapa kawan saya dan beberapa bapak-bapak (yang sebenarnya punya skill menjagal tapi tak punya pisau yang cukup tajam sehingga terpaksa ikut golongan pencuci jeroan) juga menyukainya.
Ada semacam kepuasan tersendiri tatkala tahi yang ada di dalam lintasan usus itu bisa dikeluarkan dengan baik. Dengan hanya menyisakan sedikit sekali kotoran. Sebab memang mustahil kami bisa membersihkan dan mengeluarkan semua tahi yang ada. Tugas kami hanyalah membersihkan sebanyak mungkin tahi yang bisa disisir. Selebihnya, biar itu menjadi tugas ibu-ibu yang bakal memasaknya.
Ada kebanggaan yang membuncah yang mampu membuat kami para pencuci jeroan bisa membusungkan dada saat mengangkut pulang jeroan dari sungai jika tahi di dalam jeroan itu bisa kami keluarkan dengan maksimal. Kami laksana senopati yang menang perang karena bisa membasmi banyak musuh dan hanya menyisakan beberapa.
Aktivitas mencuci jeroan dan menyisir tahi itu tanpa sadar sudah saya lakukan bertahun-tahun tiap kali lebaran besar.
Namun kini, di tahun pertama saya menikah, saya tinggal di Jogja. Dan lebaran besar kali ini, saya tak pulang ke Magelang.
Saya tak bisa bergabung dengan kawan-kawan saya untuk mencuci jeroan dan menyisir tahi yang rasanya sudah seperti gaya hidup tahunan bagi saya.
Ada perasaan yang begitu sentimentil yang sekarang saya rasakan.
Saya rindu dengan aroma dan tekstur tahi kambing dan sapi yang hampir setahun sekali saya bersihkan itu. Tampaknya benar, rindu memang tak selalu tentang yang indah-indah.
Kini rasanya saya paham kenapa seorang Umar Kayam bisa merindukan Jogja bukan dari suasana hangatnya atau keramahan orang-orangnya. Melainkan dari aroma khas bekas tumpukan sampah yang baru saja disapu di salah satu sudut pasar di Jogja.
Ah, rindu memang rumit. Ia serupa tahi.