Curhat
Gus Mul, curhat dong.
Sebut saja saya Rini, umur sudah seperempat abad saat ini, tapi masih saja gagal dalam hal percintaan.
Saya pertama kali punya pacar pas kelas 3 SMA. Kenalnya lewat Facebook. Nama pacar pertama saya Tama, kami pacaran empat tahun lamanya.
Hubungan kami kandas karena dia merasa jenuh dengan saya. Dia selingkuh dengan anak tetangga. Maklum, kami memang menjalani hubungan LDR. Dia kerja di Jakarta, saya kuliah di Bandung.
Butuh tiga tahun bagi saya untuk bisa move on dari Tama.
Setelah move on, saya kemudian dipertemukan dengan kisah cinta yang baru. Saya dikenalkan dengan satu cowok oleh kawan saya. Cowok ini namanya Ofan. Saya nggak menyangka jika Ofan ini kelak akan menjadi salah satu kisah asmara saya, soalnya pertama kali ketemu, saya merasa nggak sreg sama dia. Tapi, seiring berjalannya waktu akhirnya perasaan cinta dan nyaman itu timbul. Kami kemudian memutuskan untuk pacaran.
Jujur, Gus, belum pernah saya sayang sama cowok segila ini. Setelah sembilan bulan kami menjalin hubungan, saya mantap dan ingin melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Waktu sembilan bulan bagi saya sudah sangat cukup untuk merasa yakin. Terlebih, usia saya saat itu juga sudah berada pada usia mapan untuk menikah.
Ketika saya mencoba mengutarakan niat saya, dia bilang bahwa dia merasa belum siap. Ia ingin menabung agar bisa beli mobil, baru setelah itu bersedia untuk lamaran. Saya mengiyakan, saya bersedia untuk menunggu.
Yang saya tidak sangka, Gus, di saat saya sedang berada dalam penantian, dia mendadak bilang kepada saya, “Aku merasa sudah nggak nyaman lagi sama kamu.”
Dyaaaaar. Remuk hati saya, Gus. Saya merasa sangat hancur. Sakit betul. Saya tidak terima. Saya tidak sanggup jika cuma berdiam diri menerima keputusan dia. Saya sudah berharap terlalu banyak kepadanya.
Apa yang harus saya lakukan, Gus?
~Rini
Jawab
Dear Rini yang semoga kuat hatinya.
Pertama, saya sudah muak dengan orang yang merasa selalu gagal dalam percintaan tapi sudah merasakan pacaran sejak SMA. Lha kalau yang begitu itu disebut gagal, lantas sampean sebut apa orang-orang yang bahkan sudah kuliah semester tua tapi belum pernah satu kali pun berpacaran?
Dulu saya butuh jadi penulis dulu lalu mbribik pembaca-pembaca tulisan saya selama bertahun-tahun sebelum akhirnya bisa mendapatkan pacar pertama saya. Sedangkan sampean, sampean cuma butuh bangku sekolah dan akun Facebook untuk bisa mendapatkan pacar.
Pada titik ini sampean harusnya bersyukur karena sudah diberikan pengalaman untuk menempa rasa sakit dalam berasmara sejak muda. Percayalah, di luar sana masih banyak lelaki atau perempuan yang galau setelah ditinggal pacar pertamanya, padahal usianya sudah kepala tiga.
Tapi, okelah, saya tak akan mengganggu hak sampean untuk menggunakan istilah kegagalan cinta yang seperti judul lagu Rhoma Irama itu.
Langsung ke masalah Ofan, yes.
Begini, Rini. Soal “kegagalan cinta” yang sampean rasakan dengan Ofan, saya ingin memberikan satu rumus yang selalu baku dalam hal asmara, yaitu tak ada korelasinya antara cinta yang tulus dengan balasan yang tulus pula. Itu rumus penting yang harus sampean pegang.
Bahwa idealnya cinta yang tulus memang akan mendapatkan balasan cinta yang tulus pula. Tapi kan kita semua tahu, di dunia ini tidak semua hal berjalan ideal.
Saya rasa, mendapatkan balasan yang menyakitkan setelah memberikan cinta yang tulus adalah hal yang biasa dalam asmara. Semua orang mungkin sudah pernah mengalaminya. Tak terkecuali saya.
Sampean boleh percaya boleh tidak, saya pernah begitu mencintai seorang perempuan yang ketika kita sudah dekat, ternyata dia sudah punya pacar. Lebih buruk lagi, saya juga pernah pacaran dengan perempuan, yang mana ketika saya sudah sayang, ternyata saya bukan sekadar jadi yang kedua, tapi yang ketiga. Dan kalau mau yang lebih buruk lagi, saya bahkan pernah pacaran dengan perempuan yang ternyata sudah lamaran dengan lelaki lain.
Kita semua punya kesedihan asmara masing-masing.
Dan saya selalu yakin, kesedihan itu memang harus ada untuk memunculkan kegembiraan yang baru. Sebab, Tuhan punya konsep yang unik, Ia memberikan sesuatu dengan konsep kebalikan.
Ketika Tuhan ingin memberikan kita keberanian, Ia tidak serta-merta memberikan kita mental Rambo ke dalam hati kita. Sebaliknya, Tuhan akan menunjukkan kepada kita sesuatu yang menakutkan. Sebab apa? Sebab keberanian memang hanya muncul setelah ia bertemu dengan rasa takut.
Begitu pun ketika Tuhan akan memberikan kita kesabaran, Ia tidak serta merta memberikan kita sekarung syukur ke dalam hati kita, yang terjadi sebaliknya, Tuhan justru akan memberikan kita rasa kehilangan. Sebab, sabar memang hanya bisa muncul ketika kita merasa kehilangan.
Nah, kisah sampean dengan Ofan bisa jadi adalah cara Tuhan untuk memberikan sampean kekuatan hati yang lebih besar dan ketegaran yang lebih perkasa.
Penolakan Ofan juga bisa jadi adalah cara Tuhan untuk mempertemukan sampean dengan pria lain yang lebih baik dari Ofan. Sama seperti dulu Tuhan mengandaskan hubungan sampean dengan Tama untuk mempertemukan sampean dengan Ofan.
Hubungan yang serius itu harus dibangun dengan kemantapan yang bertemu dengan kemantapan. Ketika kemantapan itu hanya ada di satu pihak, maka sebaiknya mundur.
Saran saya, cobalah mulai menata hati. Lupakan Ofan, sebab toh dia memang tidak menginginkan sampean. Perbaiki dan pantaskan diri agar Tuhan mempercepat rencananya untuk mempertemukan sampean dengan pria yang lebih baik dari Ofan.
Jadikan rasa sakit hati ini sebagai proses menuju sesuatu yang lebih baik.
Cinta itu terbangun dari banyak komponen, dan kesedihan adalah salah satunya. Kalau isinya hanya yang bahagia-bahagia thok, itu bukan cinta namanya, tapi pasar malam. Ingat, if it doesn’t break your heart, it isn’t love.
~Agus Mulyadi (yang pernah patah hati, berkali-kali)