MOJOK.CO – Gara-gara stigma kedekatan antara Aceh dengan ganja, sering saya dengar kalau nama “Serambi Ganja” kadang-kadang lebih fames ketimbang “Serambi Mekah”.
Aneh.
Orang-orang di Pulau Jawa ini gampang saja percaya kalau saya bilang di Aceh ganja ditanam kayak ubi, di belakang rumah, di samping pohon pisang juga di pot hiasan kamar mandi.
Kzl. Padahal niat becanda, eh, lha kok malah dikira serius.
Sebagai orang Aceh yang tinggal di Jogja, pertanyaan, “di Aceh banyak ganja ya?” atau, “bawa ganja nggak?” atau, “Mas, pernah makan mi aceh campur ganja belum?” sudah jadi basa-basi omongan jumpa orang baru. Hampir menyaingi pertanyaan, “kerja apa kuliah, Mas?”
Gara-gara stigma ini pula, sering saya dengar kalau nama “Serambi Ganja” untuk Aceh kadang-kadang lebih fames ketimbang “Serambi Mekah”.
Untungnya, soal ganja-ganja ini baru meledak beriringan dengan peristiwa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Lalu Aceh dan ganja dijadikan sebagai bahan kampanye untuk bisa lebih leluasa mencap orang Aceh sebagai si fanatik separatis yang mabuk ganja.
Cap yang menutupi fakta kalau kami di Aceh pernah punya hubungan complicated dengan militer.
Loh iya, coba orang di Pulau Jawa ini nanya, “dari Aceh ya, Mas? Pernah disepak tentara nggak ndias-mu, Mas?” Mungkin kami bisa jawab lebih lugas kalau pertanyaanya kayak gitu.
Lupakan soal DOM (emang udah pada lupa, kok). Ada berita heboh yang lebih asyik digoreng belum lama ini. Hal ini karena muncul omongan mengenai ganja di Aceh.
Katanya, ganja kalau diekspor bakalan membuat Aceh terlepas dari kerangkeng kemiskinan.
Hm, ini memang argumen yang maha-cerdas lagi cadas. Di saat banyak politisi mengutamakan moral dengan zikir akbar untuk mengatasi persoalan negeri, lha ini malah muncul politisi yang ngomong begini soal ganja. Tanpa tedeng aling-aling dan tak neko-neko. Benar-benar ajaib.
“Nyanyian ganja” itu dilambungkan dengan gempita oleh Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS, Rafli Kande. Dan karena yang ngomong dari PKS, sudah barang tentu isu ini sempat panas di media sosial. Ya, soalnya politisi dari PKS gitu. Ini kan distorsi banget.
Bahkan blio lantang sekali menyebutkan kalau ganja tidak haram dalam hukum agama sepanjang untuk kebutuhan farmasi dan medis. Sembari menyebut ganja yang diharamkan secara politis sebenarnya merupakan permainan konspirasi global.
Usulan Tengku Rafli Kande, atau Robert Plant-nya Aceh ini memang bagus. Ganja menjadi tali gantung yang menyelamatkan kita dari segala sumur masalah di Aceh. Warbiyasa memang. Udah kayak kampanye khilafah, tiba-tiba ganja jadi solusi dari semua masalah.
Solusi atas investasi
Memang, harus diakui industri kelapa sawit di Aceh kurang menggenjot stabilitas ekonomi di daerah saya. Alih-alih menguntungkan, industri ini malah merugikan banyak masyarakat dan hutan. Alasannya, pohon sawit itu tak ramah lingkungan.
Meski industri ini menguntungkan karena warga jadi dapat kerja sebagai kuli namun hal ini tampaknya tak terlalu menarik dibicarakan oleh wakil rakyat. Oleh karena itu, wajar saya kira kalau usulan ladang ganja ini muncul. Ya apalagi kalau bukan untuk bikin Aceh jadi sumber berita yang lebih seksi.
Misalnya, dengan ganja ditanam di dalam hutan-hutan Aceh yang tak terjamah dengan berlindung dengan hubungan dagang internasional, ganja Aceh bisa mengalahkan kekejaman industri kelapa sawit yang bikin warga Aceh jadi kuli tadi.
Terlebih lagi, ladang ganja terbesar ada di wilayah hutan yang amat subur. Seperti hutan-hutan di Kabupaten Bireun yang mempunyai ladang ganja terluas di Aceh. Paling tidak, dari hasil sisiran polisi menemukan 20-90 hektar ladang ganja di sana.
Begitu juga Gampong Blang Beruru, Pengununangan Sarah Kulu, Maulingge, Lampuyang, Lepeng, Pengunungan Indrapuri, dan lain-lain yang sama sekali tidak Anda ketahui walaupun saya sensus satu-satu.
Satu hal yang perlu Anda ketahui, sebagian besar daerah itu adalah hutan rimba, yang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan ganja skala internasional.
Dulu, kalau tak salah saya ingat, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selalu menjanjikan ke masyarakat jika Aceh merdeka, jalanan Aceh bakalan disumpal emas.
Nah, ini sebenarnya usulan norak dan tak perlu. Kenapa? Lha iya cukup bikin Aceh jadi pemasok ganja dunia saja jalanan Aceh sudah barang tentu disumpal emas. War is over, Bung!
Setelah adanya peraturan daerah yang menolak mazhab lain yang bukan dari syafi’iyyah, dan harus berlandaskan Ahlu as-Sunnah al-Jamaah, Aceh disangka mempunyai corak Islam yang amat ekslusif. Ini tentu salah besar. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh punya wewenang telogis yang kuat dan komprehensif.
Anda belum lupa kan kalau MPU pernah tegas membuat fatwa garam Aceh “haram” dikonsumsi karena tak punya label halal dari MPU? Selain itu, dengan otoritas MPU, jika usulan politisi PKS ini disepakati, bukan tidak mungkin mereka bisa saja memberikan label “halal dalam konfirmasi” pada ganja.
Loh, loh, kenapa tidak?
Sebentar, sebentar, emang kenapa MPU perlu melakukan hal kayak begitu?
Hm, ayo sini dekat-dekat, kita bikin halaqah biar pada ngerti.
Kesan masyarakat awam soal MPU ini udah keterlaluan, “Hih, MPU apa-apa haram, PUBG haram, Assalamu’alaikum ke non-muslim dan mendoakan mereka juga haram. Idih!” Begitu kira-kira sentilan masyarakat yang tak pernah belajar baca kitab kuning di dayah anti-bid’ah gentanyoe.
Asal kamu tahu ya, Beb. Demi mendukung negeri bersyariat di daerah Aceh, bisa saja perspektif soal ganja ini dibikin bahwa ganja juga buatan Tuhan, soalnya yang buatan iblis itu sabu-sabu! Tanaman perdu lima jari yang syar’i itu ganja. Soalnya apapun asal berplat merah itu bisa dibikin halal legal. Begitu.
Lagipula, Kanda Rafli Kande bilang untuk jangan terlalu kaku soal perkara ini.
Ya, memang peradaban manusia sekarang ini kaku sekali. Apa-apa kok haram, dikit-dikit kok haram, haram kok dikit-dikit.
Oleh karena itu, ganja harus ditempatkan sebagai sarana yang membangun, sebagai pendidikan bagi bangsa, dan menunjukkan kalau Aceh memang tak bisa didikte oleh Jakarta. Wabilkhusus hagemoni ekonomi Medan.
Sebab, selama ini, ekonomi Aceh memang tergantung Medan. Memang apa salahnya sih kalau Aceh berdiri sendiri untuk memajukan daerah melalui ganja?
Di sisi lain, konspirasi global dan kekakuan ini diterangkan Mas Rafli Kande tanpa babibu, jelas, tepat sasaran, dan tidak multi-interpretatif. Menurut blio, konspirasi macam ini sudah bikin Aceh tiarap ekonominya.
Wajar kalau Aceh secara ekonomi dikuasai Medan dan dipenjara oleh gaya-gaya birokrasi Jakarta. Mental orang Aceh jadinya mudah curigaan dan tak maju-maju. Nah, begitulah dunia ini bekerja sama untuk melemahkan Aceh. Hm, qonspirase sekaleee.
Ganja Aceh tentu harus dimanfaatkan secara baik, dikontrol dengan rapi, tak diberikan celah untuk konsumsi masal secara ilegal.
Sebagai anak muda, mengutip ceramah Prof. Farid Wajdi, anak muda Aceh blio sebut “Los Generesyien” karena keseringan ngopi. Obatnya tentu saja: ganja.
Pusing dengan kemiskinan di Aceh, solusinya? Ganja. Mau makrifat secara instan? Ganja.
“When you smoke marijuana it reveals you to yourself,” begitu kalau kata Tengku Marley.
Oleh karena itu, saya yang sama sekali tidak mewakili suara orang Aceh, mendukung pelegalan ganja Aceh dengan gempita. Tentu bukan untuk nge-fly, melainkan untuk kepentingan medis sebagai obat penenang.
Ya, obat penenang agar orang Aceh lupa kalau Aceh adalah provinsi paling kronis miskinnya se-Sumatra dan peringkat pendidikan nomor buntut se-Indonesia.
BACA JUGA Galaunya Si Marijuana: Haruskah Dilegalkan atau Tidak? atau tulisan rubrik ESAI lainnya.