MOJOK.CO – “Wartawan-nya yang harus baik. Kalau wartawan baik, timnas-nya akan baik,” kata Edy Rahmayadi Ketum PSSI. Hm, kok terasa janggal dan lord-able sekali ya?
Saya wartawan sepak bola, walau, tentu, saya bukan wartawan yang baik seperti standar Lord Edy Rahmayadi. Lagipula, standar baik itu abstrak, Lord. Bagaimanakah ciri wartawan yang baik di era media sosial saat ini dengan pergerakan berita yang serba-cepat ini? Mereka yang sanggup menulis dengan cepat? Apakah yang begitu?
Ketika Lord Edy Rahmayadi melimpahkan kegagalan timnas Indonesia pada Piala AFF 2018 kepada para wartawan, saya heran, terkesiap, ingin marah, tapi saya ingat, saya harus menganggapnya angin lalu—biar nggak jantungan. Berbicara kepada sosok sekaliber Lord semacam ini sulit, Bung.
Ketika Jerman hancur lebur pada Piala Dunia 2018, saya tidak ingat Presiden DFB Jerman menyalahkan wartawan. Alih-alih menyerang wartawan, nama bintang Arsenal, Mesut Ozil, dipilih sebagai kambing hitam. Ya paling tidak Presiden DFB Jerman paham, bisa hancur reputasinya kalau menyerang pihak yang sudah ikut membesarkan namanya.
Ketika Spanyol remuk redam pada Piala Dunia 2014 ketika datang dengan status juara bertahan, tak ada kritikan kepada wartawan dari Presiden RFEF. Mereka tahu, permainan Vicente del Bosque dan anak asuhnya sudah diantisipasi lawan dan mereka harus beradaptasi ke sistem yang lebih baik.
Jadi, di dunia sepak bola modern, apa yang diutarakan Lord Edy Rahmayadi di kalimat, “Wartawan-nya yang harus baik. Kalau wartawan baik, timnas-nya akan baik,” terasa sangat janggal, ngawur, dan lord-able sekali.
Setiap tahun, wartawan selalu diresahkan dengan isu kesejahteraan. Sebagai contoh saja, beberapa kawan saya yang bekerja di media sepak bola kelas menengah di Jakarta, gaji per bulan mereka ada di angka Rp3.500.000. Angka ini menjebak. Terlihat besar dan sesuai UMP ibu kota, tapi coba kamu pikir, bagaimana bisa hidup di Jakarta dengan gaji seperti itu?
Dengan himpitan seperti itu, wartawan, masih diharuskan menonton dan meliput timnas Indonesia yang mainnya semakin busuk sejak PSSI tidak perpanjang kontrak Luis Milla. Ibarat guru honorer yang dipaksa bikin study tour murid-muridnya pakai uang sendiri.
Entah kenapa semakin lama, muncul indikasi kalau federasi demen sekali berlindung ke punggung banyak orang untuk kegagalan dan kecerobohan yang sudah mereka perbuat sendiri. Kayak mau cebok tapi pinjam tangan orang lain.
Pertama, saat polemik kontrak Luis Milla. Penunjukkan Bima Sakti itu secara jelas sekali dipaksakan. Eks kapten Persema Malang itu baru kantongi Lisensi A AFC dan sudah harus menangani timnas senior yang diberi target juara Piala AFF 2018. Semacam orang baru punya SIM A sehari, lalu dipaksa bawa truk gandeng 11 biji dari Bekasi ke Ethiopia tapi harus lewat Pegunungan Ural dulu.
Bagi publik, gelar juara adalah harga mati dan PSSI tahu mereka sudah pilih korban yang pas untuk diserahkan ke publik guna dirajam ramai-ramai. Selepas kekalahan 1-0 di kandang Singapura, akun Instagram Bima Sakti langsung banjir caci maki.
Apakah ini salah Bima Sakti? Oh, tidak saudara-saudara. Ini jelas bentuk kecerobohan PSSI sendiri yang secara kebetulan diketuai sosok multitalenta.
Bima Sakti memang belum siap melatih timnas. Menyalahkannya secara ugal-ugalan atas kegagalan ini macam memaki-maki pelatih Stoke City karena nggak juara Liga Inggris atau Kepulauan Solomon nggak lolos Piala Dunia.
Kedua, tagar #KosongkanGBK. Saya ada di sana ketika puluhan ribu tiket sudah tercetak dan yang terjual bahkan tidak sampai sepertiga dari total 65 ribu tiket itu. Tapi, PSSI tak berkomentar. Bola sengaja dibiarkan menggelinding dengan panas. Ya harus diakui, federasi sepak bola kita emang jago kalau soal ajian kuno rai gedhek ndas tank macam begitu.
Publik lalu terbelah. Satu sisi muak dengan kecerobohan federasi dan memilih boikot menonton timnas. Sisi yang lain, menggaungkan nasionalisme dan berharap apa pun sikap PSSI, suporter tak boleh tinggalkan timnas. Kericuhan ini malah dibiarkan begitu saja oleh PSSI. Seolah mereka bukan sebab musabab dari persoalan ini.
Setelah semua kegagalan demi kegagalan tersebut, hal yang luar biasa apa yang dilakukan Lord Edy Rahmayadi? Meminta kami para wartawan jadi baik. Buset, nikmat Tuhan mana lagi yang kami dustakan, Beroder?
Beberapa kawan wartawan yang saya tahu, setidaknya, di lingkaran saya, adalah wartawan yang baik. Yoga Cholandha, misal. Senior saya di Fandom Indonesia ini adalah salah satu wartawan sepak bola terbaik yang saya kenal. Laporannya asyik dan disampaikan dengan gaya bercerita yang seru. Tapi, apa Lord Edy Rahmayadi paham hal ini?
Berita untuk timnas diproduksi lalu disampaikan ke publik dengan apa adanya, tanpa tendensi, dan sudah melewati fase verifikasi. Kalau tiket banyak tak terjual ketika tagar #KosongkanGBK tengah ramai, apa iya kami harus buat berita bohong bahwa tiket sold out?
Kalau benar permainan timnas buruk dan tak memuaskan, apa iya wartawan harus diam dan tidak memberi satu-dua kritikan lewat opini editorial?
Ketika Luis Milla beradaptasi di masa awal bersama timnas Indonesia, saya ingat pernah mengkritiknya dengan keras karena dia digaji sangat mahal oleh federasi. Lalu saya ikuti kiprahnya langsung sejak SEA Games 2017 hingga Asian Games 2018. Dia berkembang, menunjukkan progres nyata, dan saya, sebagai wartawan, mengapresiasi hal itu. Kami mencoba objektif dan gembira juga kok ketika proses ada hasilnya.
Pujian pun mengalir saat itu. Prestasi memang tidak ujug-ujug datang dalam bentuk piala demi piala, tapi hasil dari proses panjang bisa dilihat di lapangan. Itu yang membuktikan bahwa pecinta sepak bola tanah air juga sudah banyak yang dewasa kok.
Toh, wartawan olahraga termasuk wartawan yang hampir mustahil bisa bikin konten hoax atau fake news, ketimbang wartawan di rubrik lain seperti politik, hukum, atau yang lainnya.
Ya masa ada wartawan olahraga dari kota Manchester, lalu kebetulan Manchester United tanding lawan Liverpool, hasilnya United kalah. Lalu karena si wartawan ingin memberitakan yang baik-baik soal kota kelahirannya akhirnya esok hari bikin laporan United menang lawan Liverpool? Ya jelas bakal dikencingi ramai-ramai lah itu wartawan.
Masa iya ada wartawan memberitakan saat Kevin Sukamuljo/Marcus Gideon kebetulan lagi kalah sama—misalnya—Takeshi Kamura/Keigo Sonoda, terus karena ingin prestasi bulutangkis Indonesia jadi baik, esoknya bikin berita baik kalau Kevin sama Gideon yang menang. Ya jelas Kevin sama Gideon sendiri bakalan malu lah, Malih.
Pada akhirnya, yang bisa kami lakukan sebagai wartawan olahraga ya cuma bisa mengelus dada dan dengan kebesaran hati yang terdalam sampai merogoh sukma memohon maaf sebesar-besarnya kalau kami hanya bisa menjadi wartawan yang begini-begini saja, Lord.
Wartawan-wartawan yang nggak bisa bikin judul klikbet, nggak bisa memberitakan kabar yang ingin didengar PSSI, lalu mengabaikan situasi dan kenyataan di lapangan. Maaf kalau ternyata selama ini kami alpa.
Lebih daripada itu, saya sejujurnya sangat penasaran, sebenarnya jadi wartawan olahraga yang baik itu harus mengabarkan yang baik-baik saja atau hal-hal yang buruk harus diberitakan baik juga?
Kalau memang begitu, lalu bedanya kami dengan Pak Harmoko di Dunia dalam Berita apa dong? Nggak sekalian rekrut kami jadi juru bicara atau Departemen Penerangannya PSSI sekalian aja nih?
Lumayan lho, Lord Edy Rahmayadi, gaji kami ini murah meriah. Bahkan kalau mau sekarang, kita ada cashback 50% deh buat sampeyan. Gimana?
Eh, tapi ingat, hari Senin harga naik.