MOJOK.CO – Tren babi ngepet atau pesugihan muncul karena perubahan ekonomi. Mendadak ada yang kaya, ada yang miskin tiba-tiba.
Sayang sekali, sungguh sayang. Ketika warga Bedahan, Depok, menangkap babi ngepet, mereka sudah masuk tahun 2021, era modern. Bukannya jadi pahlawan, mereka justru jadi lawakan laris di internet plus tersangka di kepolisian atas kasus rekayasa.
Kalau saja si Ustaz kampung, Martalih, dan kawan-kawannya menyergap babi ngepet pada masa pra-popularitas internet 15 tahun lalu, bukan tidak mungkin ceritanya bakal lain. Nama mereka bakal harum bukan kepalang sebagai pahlawan pembasmi pesugihan.
Fenomena pesugihan pernah di bahas Peter Boomgaard dalam sebuah artikel berjudul “Kekayaan-Kekayaan Haram”. Salah satu tesis dalam tulisan itu adalah kasus pesugihan, yakni kasus pelibatan peran mahluk gaib dalam memperkaya diri. Hal semacam ini terekam dalam sumber-sumber berbahasa Belanda, sekitar awal akhir abad ke-19.
Pada saat itu, ekonomi Hindia Belanda berada pada satu periode bernama periode liberal. Jika pada masa sebelumnya mayoritas populasi tidak punya hak atas tanah dan harus menghamba pada bangsawan-bangsawan, pada masa tersebut kepemilikan pribadi mulai diakui.
Pemerintah Kolonial mulai menerapkan kebijakan seperti memperluas akses pendidikan untuk pribumi, menyediakan kredit mikro, menyediakan penyuluhan-penyuluhan pertanian dan peternakan. Plus turut serta mengundang banyak investor yang menciptakan lapangan kerja modern.
Nah, kasus pesugihan seringkali muncul ke permukaan ketika terjadi perubahan secara cepat. Periode ekonomi “ujug-ujug” liberal saat itu pun begitu.
Bagi masyarakat yang terbiasa melihat kerja fisik sebagai “real work”, mereka-mereka yang bisa memanfaatkan peluang dari ekonomi liberal sangat patut dicurigai sebagai oknum yang tidak bekerja… tapi tahu-tahu kaya raya.
Jika dulu yang rentan mengalami tuduhan seperti ini adalah birokrat dan pedagang, sekarang para pekerja digital lah sasarannya. Masyarakat kebanyakan hari ini juga masih melihat kerja yang ngantor sebagai “real work”. Inilah yang terjadi dengan revolusi industri 4.0 maupun 5.0.
Modernisasi ekonomi membuka lapangan-lapangan kerja baru, terutama dalam bidang birokrasi dan mendorong lebih banyak perdagangan. Maka dari itu, pertama-tama, tuduhan pesugihan muncul pada masa-masa peralihan revolusi ekonomi sebagai bentuk reasoning masyarakat.
Itu pertama.
Yang kedua ini juga merupakan tanda kecemburuan sosial. Atau melebarnya gap ekonomi masyarakat.
Sebelum masa liberal, kita mengenal masa Tanam Paksa. Pada masa Tanam Paksa, desa-desa dijadikan unit ekstraksi. Sederhananya, desa adalah unit terkecil yang dibebankan tuntutan komoditi yang wajib diserahkan ke Belanda.
Pemerintah kolonial memang meminta penyerahan lewat bupati, bupati kemudian mendelegasikan wedana, dan seterusnya, sampai kepala desa. Tapi, kepala desa tidak bisa mendelegasikan siapapun lagi di bawahnya untuk menjadi mandor produksi dan sebagai gantinya mengambil persenan atas komoditi seserahan yang diminta.
Karena posisinya sebagai unit terkecil, ikatan desa menguat. Orang-orang desa akan bahu-membahu demi keselamatan bersama untuk memenuhi kuota komoditas yang diminta pemerintah. Tuntutan ini membuat perlahan, ikatan komunitas ini menguat.
Dalam kelompok yang sepenanggungan seperti ini, setiap orang akan saling kenal dan peduli. Kesempatan-kesempatan pada ekonomi liberal membuka kesempatan bagi individu-individu untuk sukses tanpa embel-embel komunitas.
Di masyarakat yang terbiasa bahu membahu mengatasi kesulitan bersama, jika satu orang sukses tanpa membawa yang lain, maka yang timbul di antara rekanan yang masih tertinggal adalah kecemburuan. Kecemburuan ini membuat semakin mudah menuduh dengan hal-hal buruk.
Dalam masyarakat desa yang komunal, keharmonisan dijunjung tinggi. Maka dari itu, pendapat yang seragam adalah sesuatu yang penting. Jika satu dua oknum yang berbeda ke luar, maka mereka akan terdorong untuk memiliki pendapat yang sama terhadap kedua orang tersebut.
Pendapat tersebut bisa saja dikemukakan atau didukung oleh seorang tokoh yang cukup berpengaruh di antara mereka. Suara tokoh tersebut kemudian terulang-ulang setiap kelompok kecil di dalamnya bergosip dan bertukar kabar.
Opini yang diulang berkali-kali dan dipercayai semakin banyak orang akan sangat mudah dianggap menjadi kenyataan. Terlebih lagi, pihak yang dituduh sudah ke luar lingkaran tanpa bisa menyediakan opini tandingan.
Saya ingat, 15 tahun lalu, ketika internet baru bisa diakses segelintir orang, di kampung halaman saya yang letaknya tidak jauh dari ibukota masih banyak beredar kisah semacam ini.
Persis seperti kasus pada periode liberal, biasanya tertuduh adalah orang-orang yang berada di luar lingkaran utama, entah itu minoritas, kekayaannya terlalu mencolok, pribadinya kurang disukai, atau merupakan pendatang baru yang tidak dikenal.
Kalau dari sudut pandang sekarang mungkin sulit dipercaya, tapi betulan, ketika kita mendengar berita ini berulang-ulang, terlebih jika kabarnya dibumbui dengan klaim bukti personal kayak, “Sumpah! Aku lihat sendiri,” atau, “Pakai mata kepalaku sendiri aku lihatnya.”
Maka seluruh isi kampung bakal mempercayainya dengan modal… “Pak Anu lihat babi ngepetnya sendiri, katanya,” dan bla-bla-bla lainnya.
Walaupun sekarang udah 2021 dan udah mau ada Bukit Algoritma, harus diakui masyarakat kita sangat beragam dan masih ada yang seperti warga kampung saya 15 tahun yang lalu. Wajar sih, Indonesia adalah negara yang sangat luas. Artinya, hal tersebut sangat mungkin terjadi.
Di kampung tempat babi disergap, orang berani bugil untuk bisa menangkapnya dan berkomentar di TV nasional soal tuduhan-tuduhannya. Itu berarti, dalam masyarakat ini, tuduhan babi ngepet masih diamini sebagai realitas betulan, bukan semata-mata realitas sosial.
Masalahnya lagi, peristiwa ini sendiri terjadi di Depok, bukan di pelosok jauh yang tidak tersentuh internet. Dan hal yang bikin tokoh-tokoh penyergap babi ngepet ini gagal jadi pahlawan adalah kebebasan bersuara yang sekarang dimiliki oleh hampir semua orang.
Masyarakat yang menertawakannya di jagat internet adalah masyarakat-masyarakat di luar konteks. Dengan adanya internet, pertemuan mereka menjadi mungkin karena segala macam pendapat tertuang dalam satu platform.
Saya kira, munculnya kasus ini menjadi kesempatan yang baik bagi berbagai macam masyarakat untuk belajar. Bagaimana sudah terjadi gap yang begitu lebar antara masyarakat tradisional dan modern ini justru bisa dipertemukan.
Masyarakat yang merasa melek internet tapi belum paham tentang “pekerjaan-pekerjaan” digital yang tampak seperti pesugihan akan belajar dari tertawaan-tertawaan netizen. Oh, zaman sudah berubah ya? Ternyata duduk di depan komputer doang bisa kaya.
Mayoritas netizen yang merasa superior karena bisa menertawakan ke-tidak-rasional-an para penangkap babi juga bisa membuka mata bahwa tidak ada alasan untuk merasa superior sama sekali.
Penyergapan atas babi ngepet adalah respons dari masyarakat dengan sistem tertentu yang tercecer dari perubahan (teknologi dan ekonomi) yang kelewat cepat. Yah, emang sih, bakal selalu ada yang tertinggal dari sebuah perubahan.
Dan “learn it the hard way” itu adalah langkah terbaik untuk menyesuaikan diri dengan zaman yang baru. Minimal paham dengan babi ngepet atau pesugihan 5.0 modal trading, bitcoin, atau jadi admin buzzer.
BACA JUGA Celana Dalam Penglaris Warung Bakso dan Seminar Ternak Tuyul atau tulisan ESAI lainnya.