Ketua….!
Abang awak….!
Komandan awak…!
Anda akan kerap mendengar varian sapaan di atas jika berkunjung ke Medan. Bukan, bukan Medan versi kawasan upper class Polonia dan Sudirman yang jalannya sungguh mulus dan diisi perumahan indah ala katalog. Bukan pula di Centre Point Mall, salah satu pusat perbelanjaan termegah di Medan yang menjadi tempat nongkrong favorit anak jaman (anak muda hits) dan ibu-ibu sosialita Kota Medan –meski hingga kini masih tersangkut persoalan IMB (Izin Mendirikan Bangunan).
Sori wak, namun tempat-tempat yang saya sebutkan di atas bukanlah cerminan Medan yang sebenarnya. Pergilah barang sebentar ke Helvetia, Denai, Petisah, dan juga kawasan pemukiman kelas menengah lainnya di Kota Medan. Anda akan menemukan jalan rusak parah dan berlubang, parit mampet dan busuk yang meluap ke jalan raya ketika musim hujan, lalu lintas yang membuat anda berharap mendapatkan mukjizat untuk memiliki sembilan nyawa layaknya kucing, dan juga sapaan serta pilihan kata khas Medan kini: Ketua.
Sebagai pendatang yang sebelumnya mungkin sudah mencari tahu lebih dahulu tentang Medan lewat berbagai referensi, anda akan kebingungan. Bukankah sapaan khas kota Medan adalah Bung dan Coy? Atau Lae dan Eda, yang kerap anda dengar diucapkan oleh para pendatang Medan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia? Darimana pulak asalnya kata Ketua ini?
Chairil Anwar adalah orang yang pertama kali mempopulerkan sapaan bung ke level nasional. Melalui puisinya, ia menggunakan diksi bung untuk merujuk kepada para pemuda Indonesia yang berjuang demi mempertahankan kemerdekaan. Soekarno kemudian mengadaptasi kata bung sebagai sapaan nasional dan sering diucapkan dalam berbagai pidato kemerdekaan untuk mengobarkan semangat seluruh rakyat Indonesia.
Mengapa kata bung? Bung adalah salah satu dari sedikit sapaan khas daerah di Indonesia yang sangat egaliter. Sapaan bung bisa ditujukan baik kepada yang usianya lebih muda maupun lebih tua dari si penyapa. Begitu juga sapaan coy, lae, dan eda. Kata coy bahkan berkembang menjadi sapaan yang benar-benar bebas nilai, karena tidak seperti kata bung yang hanya bisa dipakai untuk menyapa laki-laki, anda bisa menyapa rekan laki-laki maupun perempuan anda dengan kata coy.
Namun ketenaran varian sapaan tersebut mulai redup oleh munculnya tren kata Ketua. Awalnya, Ketua (sebagaimana abang awak dan komandan awak) adalah sapaan yang secara eksklusif beredar di kelompok-kelompok ormas kota Medan. Ormas yang dimaksud disini adalah ormas yang foto para pengurusnya memenuhi reklame di jalanan kota Medan dan sering memakai embel-embel kata ‘pemuda’, meskipun kebanyakan dari anggota dan pemimpin ormas tersebut berusia di atas 40 hingga 65 tahun. Mungkin motivasi pemakaian kata pemuda bukan merujuk pada jenjang umur melainkan pada semangat yang terus berkobar layaknya pemuda. Semangat untuk berbuat apa, wallahualam.
Yang pasti, perlahan, sapaan Ketua mulai jamak didengar dan dipakai oleh kelompok masyarakat lainnya. Tukang becak, supir angkot, tukang butut (pengumpul sampah yang masih layak didaur ulang), pemilik kede sampah (toko kelontong), hingga kalangan menengah dan intelektual Medan beramai-ramai menggunakan sapaan Ketua dalam kehidupan sehari-hari.
Tersebab fenomena itulah, kata Ketua kemudian cocok menjelaskan mentalitas masyarakat kota Medan kini.
Seorang bijak pernah berkata, jika anda mampu membawa kendaraan di Medan maka anda akan mampu membawa kendaraan di daerah manapun di Indonesia. Cobaklah ito dan eda bayangkan. Lampu merah hanya dianggap sebagai hiasan jalan. Anda bisa saja melaju dengan pelan melewati lampu hijau dan berikutnya merasa sedang berada di ujung maut karena ada kendaraan yang melaju kencang dari arah kanan jalan yang sedang lampu merah, menuju anda. Ketua sekali, bukan? Tidak hanya itu. Jantung anda akan terus berdegup kencang melihat tingkah para tukang becak dan supir angkot yang seenaknya berhenti di tengah jalan, sering tanpa pemberitahuan melalui lampu sen kanan lebih dulu. Ini serius, coy. Di tengah jalan.
Ngeri, ngeri dunia persilatan. Saya sendiri sulit untuk tidak mengeluarkan kata-kata makian setiap kali membawa kendaraan di kota Medan. Sampai pada suatu hari, di tengah panas dan kacaunya jalanan kota Medan, saya berpikir, jangan-jangan ini ada hubungannya dengan fenomena sapaan kata Ketua yang kian sering terdengar, sehingga semua orang Medan sudah merasa jadi ketua?
Di tengah kontemplasi tersebut, tiba-tiba kendaraan saya yang saat itu sedang berhenti menunggu lampu merah diserempet oleh mobil, mewah pula. Tidak berhenti sampai di situ, pengemudi mobil tersebut tersebut menjulurkan kepalanya ke luar jendela dan berteriak ke arah saya, “Tengok jalan kau! Kemana kau tarok (letakkan) mata kau itu?”
Apa gak Ketua itu? Awak yang diserempet, awak pula yang disalahkan.
Teman saya, seorang pendatang dari Jakarta yang saat itu sedang berada di kendaraan bersama saya bertanya dengan nada panik dan marah, “Itu kenapa kita yang kena semprot? Kan dia yang nyerempet?”
Spontan saya menjawab, “Ya mau kekmanalah. Medan ini kota para Ketua. Susah, ga ada yang mau jadi anggota. Semua mau jadi Ketua!”
Saya akui, dalam beberapa kesempatan saya kerap –secara tidak sadar– menjadi bagian dari pelaku kejahatan lalu lintas. Mulai dari menyalip kendaraan di depan, tidak memakai helm ketika naik kereta (orang Medan menyebut sepeda motor dengan kata kereta) hingga ngebut pernah saya lakoni. Kondisi lalu lintas di Medan yang parah membuat satu pikiran tertanam di otak saya: Kalok ga menindas, awak yang kenak tindas. Jalanan Medan layaknya ghetto yang semakin lama semakin tidak terurus.
Itu masih persoalan lalu lintas. Jalan rusak dimana-mana, membuat anda kerap mengurut dada. Begal merajalela, menempatkan Medan sebagai kota paling tidak aman se-Indonesia menurut survei Indonesia Research Centre (IRC). Medan kini layaknya kota tak bertuan. Gotham City of Indonesia.
Rusak, rusak benar memang barang itu. Dan, meminjam istilah teman saya, barang itu rusaknya awet. Sudah dua kali berturut-turut walikota Medan ditangkap atas kasus korupsi. Hal ini membuat walikota Medan terus-terusan berganti di tengah periode kepemimpinan sehingga memunculkan ketidakstabilan pemerintahan. Tidak ada kebijakan yang bisa dikeluarkan di tengah gonjang-ganjing seperti itu. Maka masuk akal jika kemudian masyarakat Medan memilih mengangkat diri masing-masing sebagai ketua, karena memang ‘Ketua’ sebenarnya di Medan ini – yang harusnya menjadi pelayan dan pengayom masyarakat – memilih untuk mago-mago tarida (datang dan pergi).
Medan hakikatnya tidaklah sekacau itu. Di periode awal kemerdekaan, banyak daerah di Indonesia yang masih meraba-raba sistem Pancasila yang egaliter karena sudah lama terjebak dalam sistem feodalisme. Medan tampil lebih awal sebagai kota yang identik dengan ‘rasa’ yang egaliter. Suku Batak sebagai salah satu suku dengan populasi terbesar di Medan memiliki banyak pengaruh dalam membentuk karakter ini, yaitu melalui pola sistem kekerabatan Batak yang sangat egaliter, Dalihan Na Tolu. Karakter egalitarian inilah yang memunculkan sapaan khas bung, coy, lae, dan eda seperti yang sudah dibahas di awal tadi.
Medan yang dulu terkenal sebagai kota yang menularkan semangat egalitarian ke wilayah lain di Indonesia kini tinggal kenangan. Karakter Ketua alias premanisme menjangkiti masyarakat kota Medan mulai dari kelas bawah hingga menengah ke atas. Diam-diam saya merindukan Medan dengan karakter masyarakatnya yang keras namun mudah akrab dan memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Seperti saya tahu, anda –terutama penduduk Medan– juga diam-diam merindukan hal tersebut di tengah sistem hukum rimba yang harus kita jalani setiap hari ini.
Hidup harus terus berjalan. Mungkin cara hidup masyarakat Medan yang kini “sungguh Ketua“ merupakan mekanisme bertahan hidup yang paling cocok dan memungkinkan di tengah kekacauan ini, entahlah. Yang jelas, untuk saat ini, anda dan saya masih harus berkutat dengan kacaunya lalu lintas dan tidak amannya bepergian di malam hari di kota Medan akibat ancaman begal yang semakin merajalela.
Ampun, Ketua!