MOJOK.CO – Benarkah kubu Jokowi akan lebih ofensif? Apakah instruksi Erick Thohir untuk lebih menyerang benar adanya atau sekadar asap pengalih perhatian?
Aroma perubahan taktik mulai tercium dari pihak Jokowi dan Kiai Ma’ruf Amin. Lantaran terus-menerus digaprak oleh kubu Prabowo dan Sandiaga Uno, pihak petahanan tidak akan lagi bermain bertahan. Sang petahana mulai akan bergerak, lebih ofensif, lebih galak merespons segala serangan dari pihak oposisi.
Arenanya adalah workshop internal Bidang Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional (TKN) dan Tim Kampanye Daerah (TKD) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, ketika Ketua TKN, Erick Thohir, memberi arahan dengan narasi yang betul-betul berbeda.
Mantan Presiden Inter Milan tersebut meminta timses Jokowi-Ma’ruf Amin untuk bersikap lebih ofensif untuk menanggapi segala serangan dari pihak oposisi. Menurut Erick Thohir, paslon nomor satu sampai saat ini lebih sering bermain bertahan. Saking seringnya bertahan, banyak berita miring yang menerpa pasangan Jokowi dan Ma’ruf. Maka, tidak ada pilihan lain selain menyerang.
“Karena kemarin kita selalu diserang, bahkan ada kampanye PKI segala, ya mau tidak mau kita lebih ofensif sekarang,” Erick Thohir memberikan instruksi. Perubahan sikap dan taktik ini mendapatkan tanggapan yang beragam. Tentu saja, akan aneh kalau pihak Prabowo dan Sandiaga tidak urun nyinyiran.
Dahnil Anzar, Jubir BPN Prabowo-Sandi justru sangat heran dengan sikap kubu petahana yang baru akan mulai ofensif. Di matanya, sejak awal justru pihak petahana yang bermain menyerang.
“Bukannya sebaliknya? Kami diserang dengan menggunakan narasi-narasi stigma uneducated seperti sontoloyo, genderuwo, anti-Pancasila, intoleran, dan lain-lain. Bahkan tidak jarang menggunakan aparatur negara, baik hukum maupun aparatur sipil seperti kepala daerah di mana secara demonstratif menunjukkan sikap yang sangat tidak adil. Ketidakadilan dipertontonkan secara vulgar,” ungkap Dahnil, yang nampaknya cukup tersakiti dengan serangan pihak petahana.
Di satu sisi, nampaknya Dahnil lupa dengan latar belakang Jokowi menciptakan istilah “politikus sontoloyo”, “politik genderuwo”, dan “tabok”. Yah, seperti layaknya politikus, kok seperti punya penyakit lupa kambuhan. Gara-gara pergaulan yang salah, nih? Semoga enggak.
Tapi, di satu sisi, ungkapan Dahnil Yang Tersakiti ini ada benarnya bahwa kubu Jokowi sudah mulai menyerang bahkan ketika mereka tidak sadar sudah melakukannya.
Perubahan taktik dengan lebih menyerang juga mendapatkan tanggapan dari Rico Marbun, pengamat politik dari lembaga survei Median. Rico berpendapat bahwa perubahan taktik ini bikin beliau khawatir karena menjadi sinyal kekalutan dari kubu Jokowi dan Ma’ruf Amin. Di satu sisi, saya setuju dengan Rico, bahwa bermain ofensif bisa sangat berbahaya, terutama di kontestasi politik.
Berbahaya? Dari yang terlihat di permukaan, jika ofensif, maka pertahanan Jokowi dan Ma’ruf Amin justru lebih mudah terekspose oleh serangan balik Prabowo dan Sandiaga. Seperti situasi sepak bola, ketika menyerang, sebuah tim pasti menggunakan lebih banyak pemain dibandingkan ketika bertahan. Dan citra, adalah segalanya di politik. Citra yang tercoreng karena lebih agresif bisa susah diperbaiki.
Jadi, dear Jokowi dan Erick Thohir, percayalah, istilah “menyerang adalah pertahanan terbaik” hanya hidup di dunia sepak bola.
Kecuali….
Kecuali instruksi Erick Thohir ini hanyalah kamuflase untuk menyembunyikan taktik sebenarnya. Seperti mengupas bawang, inti taktik kubu petahana coba di-cover lewat sebuah tipuan. Sepak bola mengenal istilah pressing trap atau jebakan pressing, di mana sebuah tim dipaksa menyerang dari satu titik saja, untuk kemudian diredam secara paripurna. Atletico Madrid dan Liverpool adalah tim yang fasih melakukan jebakan pressing ini.
Apa alasannya?
Pertama, citra Jokowi sebagai “orang yang teraniaya” oleh serangan oposisi sedikit banyak membantu publik menjadi lebih menyukainya. Posisi ini sangat strategis untuk melakukan serangan balik. Misalnya ketika muncul istilah “sontoloyo” atau “genderuwo”. Dua istilah itu sangat akurat menyerang kubu oposisi. Sukses memberikan gambaran bahwa pihak oposisi memang jahat dan menyerang secara serampangan.
Kedua, menyitir pendapat Rico Marbun, Jokowi unggul di banyak hal, terutama dari sisi formasi variabel pemenangan. Antara lain, pertama, kerja Jokowi adalah nilai jual ciamik yang sudah punya coverage pemberitaan penuh. Kedua, formasi kepala daerah dengan jumlah pemilih besar; Jateng, Jabar, Jatim jelas berpihak ke Jokowi. Ketiga, Ma’ruf Amin punya keterikatan dengan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia: NU. Keempat, tokoh-tokoh yang dekat dengan media banyak berpihak kepada Jokowi.
Melihat paparan di atas, beralih ke mode menyerang justru merugikan petahana. Oleh sebab itu, berubah lebih ofensif agak tidak masuk akal. Kubu petahanan terlalu pintar untuk memilih taktik yang justru merugikan mereka sendiri kecuali memang punya target besar yang masih tersembunyi.
Jika menggunakan analogi sepak bola, yang dilakukan Erick Thohir adalah gameplay yang disebut juego de posicion atau positional play, atau permainan posisi. Gameplay ini dipopulerkan oleh Pep Guardiola yang diterjemahkan secara serampangan oleh media menjadi: tiki-taka.
Pemainan posisi adalah taktik menyerang dengan memanfaatkan penguasaan bola dan pemosisian pemain. Intinya adalah: mengeksploitasi satu sisi, untuk kemudian “membunuh lawan” dari sisi yang berbeda.
Misalnya Barcelona era Pep Guardiola, yang banyak menyerang dari sisi kanan pertahanan lawan lewat kombinasi umpan-umpan pendek. Ketika pertahanan lawan menjadi fokus dan berat ke sebelah kanan, tiba-tiba Barcelona mengubah arah serangan ke sisi kiri menggunakan umpan diagonal. Pemain bebas di sisi kiri tinggal mengeksekusi bola menjadi gol.
Yang dilakukan Erick Thohir adalah satu hal yang mirip. Ia mencoba menggiring oposisi ke satu sisi, untuk kemudian melakukan tusukan dari sisi sebaliknya ketika lawan lengah dan terbawa oleh gameplay petahana. Latar belakang sebagai mantan presiden klub sepak bola bisa jadi memengaruhi taktik Thohir.
Ingat, lewat gameplay yang nampak sederhana ini, Guardiola dan Barcelona menguasai dunia, bahkan memenangi enam piala dalam satu tahun kalender.
Jika di belakang Prabowo dicurigai ada penasehat politik Donald Trump, jangan-jangan di belakang Jokowi ada Guardiola. Hmm…. (ra) masyoook!