MOJOK.CO – Deddy Corbuzier memutuskan pindah agama dari Katolik menuju Islam. Bukan hal yang luar biasa, karena apapun agamamu, menjadi orang baik yang lebih penting.
Lama-lama risih juga. Ketika ada, satu lagi, artis yang pindah agama, yang terpantik di pikiran saya selalu sependek ini: “Oh, oke.”
Bukan dengan nuansa sinis atau curiga, tapi “Oh, oke,” yang cenderung masa bodoh. Maksud saya, agama itu bukan sesuatu yang penting untuk diperbincangkan dengan nada-nada curiga, terutama sampai bergunjing. Agama adalah kalimat-kalimat panjang tentang caramu memandang sesama, yang berhenti sampai tenggorokan dan tidak sampai terucap oleh bibir serta lidah.
Pernah saya membaca sebuah tweet yang berbunyi, “Agama itu seperti kemaluan, enggak perlu diumbar.” Saya sepenuhnya setuju. Panjang-pendek, besar-kecil “kemaluanmu” itu enggak perlu dipamerkan. Kecuali kamu PSK cowok profesional kelas atas ketika butuh ngisi kolom CV bunyinya: berapa sentimeter panjang penismu? PAP foto sebagai bahan pertimbangan.
Kalau kamu cowok kimcil yang baru saja ganti kelamin, ya nggak perlu dipamer-pamerkan. Belajar dulu kencing lurus dan cara memaksimalkan ereksi dengan benar, sekolah untuk jadi seksolog, baru kemudian kamu pantas untuk ngomongin soal “seks” di depan banyak orang.
Oleh sebab itu, ketika Deddy Corbuzier, pindah dari Katolik menuju Islam, nggak perlu dianggap sebagai peristiwa besar. Biasa saja. Ketika segala sesuatu perlu diperdebatkan, yang salah bukan “sesuatu itu”, tapi kamu sendiri. Manusia, yang merasa perlu mempertentangkan segalanya. Apalagi kalau sudah masuk perdebatan agama.
Hasilnya nggak ada yang menang. Yang ada adalah panggung pameran kebodohan dan kebebalan. Hilang sudah yang namanya toleransi dan penerimaan. Bukankah itu yang diajarkan betul di Katolik? Hukum Cinta Kasih?
Saya pemeluk Katolik dan tinggal di lingkungan keluarga Katolik. Tentu saja, tidak perlu diperjelas karena agama di sini adalah sesuatu yang otomatis melekat ketika kita baru lahir. Sungguh sulit membayangkan ada orang tua di Indonesia yang iklas melepaskan anaknya menjadi ateis dulu hingga dewasa untuk kemudian menentukan agamanya sendiri sesuai dengan isi hati.
Saya bukan pemeluk Katolik yang taat. Taat pergi ke gereja, atau ikut acara-acara agama di lingkungan. Oleh sebab itu, yang bisa saya lakukan di tengah dangkalnya ilmu agama dan ramainya pemberitaan soal Deddy Corbuzier adalah memegang teguh satu hukum yang bisa berlaku di mana saja, di tempat saya bekerja, dan bersosialisasi. Namanya, Hukum Cinta Kasih.
Bunyinya begini: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Hukum kedua itu saya pegang begitu erat. Mengapa? Karena mengasihi sesama itu sebenarnya sangat mudah. Yang kamu butuhkan hanya akal sehat. Mengasih Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan budi justru sangat sulit. “Terlalu cinta” membuatmu buta dan ujungnya menyakiti sesama, “terlalu abai” membuatmu durhaka. Padahal, mencintai Tuhan tak boleh setengah-setengah. MAMAM.
Makanya, ketika Deddy Corbuzier, kepada sesama umat Katolik, berhentilah bergunjing. Keputusan Deddy Corbuzier untuk memeluk Islam adalah salah satu keputusannya yang paling pribadi. Itu adalah hasil percakapannya dengan isi hati dan Tuhan-nya sendiri. Apapun keputusannya, kamu tidak punya hak untuk menghakimi.
Toh, meskipun sekarang memeluk Islam, kualitas diri Deddy Corbuzier tidak mungkin luntur. Agama tidak menentukan kualitas diri, tapi manusianya sendiri. Deddy Corbuzier ganti agama. Namun, ketika ia sudah jadi “orang baik” di Katolik, ia akan selamanya “orang baik” meski sekarang memeluk Islam.
Ia akan tetap mengasihi sesama, seperti yang diajarkan Hukum Cinta Kasih, hukum tertinggi di Katolik. Ia akan mendoakan kesehatan dan kesejahteraan orang lain. Jika dulu Deddy Corbuzier berdoa Rosario, sekarang ia hanya perlu menguluk assalamualaikum untuk mendoakan kesehatan dan keselamatan orang lain.
Kalau kamu sudah ingin mengkritik atau mengeluh karena kehilangan lagi salah satu “saudara seiman”, lebih baik tahan keluhanmu itu sampai tenggorokan saja.
Deddy Corbuzier mualaf kok perlu disiarkan televisi segala?
Senin (24/6), saudara seiman saya, Robertus Bellarminus Sagut menulis di Mojok. Beliau bilang kalau dirinya menghormati keputusan Deddy Corbuzier masuk Islam.
Saya setuju dengan judul yang beliau pakai: “menghormati”. Namun, yang mengganjal di benak saya adalah bagian akhir dari tulisan Robertus, tepatnya di bagian, saya kutipkan utuh:
“Bahwa ada hal yang seharusnya tidak perlu Deddy Corbuzier lakukan adalah merencanakan peristiwa pindah agama itu sebagai percakapan publik. Maksud saya, apakah dengan mengucapkan syahadat di televisi akan membuat Deddy Corbuzier menjadi pemeluk Islam yang taat?”
“Apakah dengan menjadikannya viral maka akan semakin banyak orang lantas berpikir untuk menjadi mualaf? Belum tentu.”
Kak Robertus, kenapa kakak masih heran dengan kenyataan seorang artis? Tanpa perlu pindah Islam saja, Deddy Corbuzier akan selalu disirami sorot kamera wartawan. Ooo jangan salah, Deddy Corbuzier adalah salah satu artis paling berpengaruh, terutama lewat kanal Youtube-nya.
Sudah sewajarnya artis mendapat porsi pemberitaan yang besar. Kok Kak Robertus masih heran. Lagian, prosesi menjadi mualaf itu konten yang menarik. Salah satunya ya buat Mojok ini. Nggak perlu sampai heran dan mempertentangkan dengan: “Apakah dengan menjadikannya viral maka akan semakin banyak orang lantas berpikir untuk menjadi mualaf? Belum tentu.”
Sekali lagi, beliau artis. Nenek saya, orang kampung, pindah Islam dan hanya diumumkan lewat masjid. Kecuali kalau nenek saya punya kanal Youtube dengan jutaan subscriber, punya otot yang bisa bersaing dengan Dwayne “The Rock” Johnson, dan memandu acara Hitam Putih di Trans7. Baru, prosesi mualaf nenek saya juga akan diluput dan dibuatkan esai di Mojok.
Begitu ya, untuk saudara seiman saya semua. Simpan agama di balik dinding hati masing-masing. Jangan jadi orang yang gumunan begitu, gampang heran, lalu curiga. Beragama yang santai saja.