MOJOK.CO – Kiai Ma’ruf Amin bersedia mengubah kebiasaannya, dari sarung menjadi celana panjang. Niat kecil namun baik ini perlu mendapat apresiasi sepantasnya.
Wartawan itu memang terkadang usil ketika bertanya. Namun, berkat keusilan itu, kita bisa mendapatkan jawaban yang tidak terkira dari narasumber. Misalnya ketika wartawan bertanya kepada Kiai Ma’ruf Amin perihal outfit yang akan dikenakan jika sudah dilantik sebagai cawapres. “Mau tetap pakai sarung atau ganti celana panjang?”
Pertanyaan itu terlontar ketika Kiai Ma’ruf Amin bertandang ke tempat Jusuf Kalla untuk konsultasi soal pekerjaan wakil presiden. Jawaban Ma’ruf Amin sebetulnya normal saja. Beliau menjawab kalau memang harus pakai celana panjang, ya tidak masalah. Meski ketika menjawab, beliau menambahkan kalau sudah kadung merasa nyaman pakai sarung. “Sudah kebiasaan.”
Meskipun terdengar normal saja, jawaban pendamping Jokowi di pemerintahan periode 2019-2024 itu mengandung makna yang dalam. Makna yang mungkin Kiai Ma’ruf Amin sendiri tidak menyadarinya, sementara saya hanya mengarang saja. Maksud saya begini.
Mengubah sebuah kebiasaan itu bukan urusan mudah. Wajar dan kalian pasti tahu betul. Apalagi ketika Kiai Ma’ruf Amin, yang berasal dari “lingkungan sarungan”, akan berusaha menyesuaikan diri dengan “lingkungan” baru setelah nanti dilantik. Kiai Ma’ruf Amin bukan lagi seorang “kaum sarungan”. Beliau akan menjadi “kaum semua golongan”.
Niat diri untuk beradaptasi dengan lingkungan ini merupakan bentuk penghormatan kepada banyak orang, juga kepada jabatan (yang mengabdi kepada publik). Dulu, Gus Mus pernah secara sadar memakai celana panjang ketika mendapat undangan dari KH. Abdul Ghofur Maemoen untuk mengisi acara “Stadium General” di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Anwar, Sarang, Rembang.
Gus Mus ingin menghormati lingkungan kampus, sekaligus para peserta yang hadir. Tentu saja yang hadir pasti beragam. Tidak semuanya terbiasa dengan sarung, selop, baju koko, dan peci. Gus Mus memakai celana dan sepatu. Sementara itu, sang tuan rumah, KH. Abdul Ghofur Maemoen, justru mengenakan sarung, selop, jas, dan peci untuk menghormati Gus Mus. Bukankah ini bentuk adaptasi kepada sesama? Kita sih menyebutnya sebagai toleransi.
Memuliakan tamu, bukan hanya di dalam Islam melainkan di semua agama, adalah sebuah kewajiban. Mulai dari yang sederhana dengan menawari kopi dan rokok, sampai menyesuaikan diri dengan cara berpakaian seperti KH. Abdul Ghofur Maemoen dan Gus Mus. Tentu saja yang pantas dan berkenan di hati tamu. Kalau tamu dan tuan rumah bisa saling memuliakan, tentunya suasana menjadi menyenangkan.
Sebagai “kaum semua golongan”, Kiai Ma’ruf Amin mencoba memuliakan semua orang. Memang, tidak semua orang suka dengan beliau. Pun tidak semua orang mendukung beliau untuk maju mendampingi Jokowi. Bahkan mungkin ada yang “akan” tidak suka karena beliau menanggalkan sarung dan beralih ke celana panjang. Bisa jadi niat itu dipandang sebagai usaha menjauhi agama, padahal beliau seorang Kiai. Ada orang yang begitu? Ada sekali.
Argumen yang digunakan, mungkin, sarung Kiai Ma’ruf Amin pun sudah bentuk toleransi, bahkan kesederhanaan. Neyla Hamadah, penulis di Beritagar menyajikan analisis yang menyenangkan soal sarung. Begini ia menulis:
“Saya mengartikan filosofi sarung yang tanpa karet, atau tanpa resleting dan kancing. Kain sarung sangat sederhana. Namun, corak kain sarung sangat beragam dan detailnya apik. Seperti seharusnya pemikiran kita dalam bersosialiasai di tengah masyarakat yang kompleks seperti corak sarung. Bahwa kita hanya perlu berbuah baik dengan memberi manfaat kepada sesama,”
“Digambarkan dengan tidak adanya atribut kancing dan resleting yang mengekang pergerakan badan. Artinya, kita semestinya bersikap fleksibel, tidak kaku dalam bergaul. Kemudian adanya ruang ketika kain sarung dipakai adalah sebuah pengibaratan untuk menerima dengan lapang dada apa saha yang menjadi permasalahan umat untuk dirasai bersama.”
“Gulungan kain di perut mengisyaratkan supaya kita tetap kuat menjaga silaturahmi bersama. Filosifi sarung yang penuh makna itu bisa kita jadikan kontemplasi akan kehidupan sosial kita yang makin hari makin gersang oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek. Dari sebuah kain bahkan kita bisa belajar akan pentingnya menjaga silaturahmi antarsesama dengan sikap fleksibel. Sehingga memupuk persatuan dan kesatuan bangsa,” tutup Neyla.
Nah, sudah bagus begitu kok Kiai Ma’ruf Amin mau ganti pakai celana panjang?
Kiai Ma’ruf Amin sendiri bilang bahwa santri tidak boleh kaku, tetap fleksibel di mana pun dia berada dan bekerja. “Gus Dur bisa jadi presiden. Santri tidak perlu ada rasa minder.” Pernyataan itu Kiai Ma’ruf Amin lontarkan ketika ditanya apakah santri bisa jadi wapres dan tetap pakai sarung. Menggunakan logika yang sama, bahwa santri tidak boleh kaku, menggunakan celana panjang pun tidak masalah.
Saya jadi teringat kisah Kiai Muchith Muzadi yang dicertikan oleh Ahmad Khadafi lewat rubrik Khotbah menggunakan tokoh Kiai Kholil dan Gus Mut.
Suatu ketika Gus Mut diundang mengisi pengajian peresmian masjid baru di sebuah kecamatan dekat pondokan Kiai Anshori. Kiai Kholil, sebagai seorang bapak, menyarankan Gus Mut mengenakan sorban. Namun, Gus Mut menolak, katanya ingin terlihat sederhana saja; pakai sarung, kemeja, peci, dan selop. Gus Mut takut dikira “kiai beneran”.
Kiai Kholil menasihati Gus Mut bahwa terlihat sederhana juga ada tempatnya. “Bersikap sederhana agar kita tetap rendah hati itu memang penting, tapi kadang-kadang sebagai tamu kita menghormati tuan rumah dengan pakaian yang sepantasnya itu jauh lebih penting lagi.” lebih lengkap bisa kamu baca di sini.
Memuaskan semua orang itu memang tidak bisa, tapi menghormati semua pastinya bisa dilakukan. Rendah hati dan sederhana itu luar biasa, tapi jangan sampai kita gagal menghormati semua orang.
Seperti yang saya bilang di atas, Kiai Ma’ruf Amin mungkin tidak sampai berpikir sejelimet itu. Beliau mungkin berpikir bahwa protokoler sebagai wapres akan membuatnya tak bisa mengenakan sarung lagi di acara resmi. Namun, jawaban “Siap saja saya pakai celana panjang” itu menyentuh hati saya.
Kesediaan orang berkorban, bahkan sampai mengubah kebiasaannya sendiri, perlu mendapat apresiasi. Kamu boleh tidak suka dengan orang lain karena kebijakannya dahulu. Namun, jangan sampai itu menutup mata batin ketika kita gagal mengaprisiasi niat baik seseorang itu.
Lho kok, jadi khotbah begini. Hadeehh….