MOJOK.CO – Berbuat baik itu bikin capek. Ketika kamu sudah mewakafkan diri untuk berbuat baik, tepi kebaikan hatimu itu malah dimanfaatkan sama orang jahat di luar sana.
Banyak filsuf online copas filsuf beneran buat bilang kayak gini: “Jangan lelah berbuat baik.” Saya kok nggak yakin betul mereka mengimani kalimat itu sendiri. Manusiawi, kok, ketika kamu merasa sudah capek betul untuk berbuat baik. Udah deh, nggak perlu jadi martir. Sesekali, kamu boleh jadi egois dengan memikirkan diri sendiri.
Berbuat baik memang tuntunan semua agama, baik yang diakui negara maupun mereka para penyembah panci. Namun, kayaknya cuma malaikat yang bisa kayak gitu. Bahkan mereka, para pemuka agama dan orang terpilih pun pernah mengeluh. Setidaknya di dalam hati.
Berbuat baik sampai jadi kayak martir itu merusak mental. Dari draining, terus mental breakdown, sampai ke level bikin puisi kayak Putri Marino yang jelek saja belum. Kasihan Pak Fadli Zon lahannya diambil Mbak Marino. Berikut akibat-akibat yang ditimbulkan dari keputusanmu menjadi martir bagi sesama:
Berbuat baik secara berlebihan bikin kamu merasa sendirian
Saya pernah sampai pada titik ini. Kamu merasa situasi tengah memburuk. Butuh sebuah aksi dan pengambilan keputusan strategis untuk mengatasi keterpurukan. Namun, dia yang seharusnya menjadi pemimpin bersikap pasif dan tidak memberi solusi.
Sebagai seseorang yang “merasa” peduli, kamu mewakafkan diri untuk berbuat baik. Kamu bekerja dua kali lebih keras. Kamu memikirkan hal-hal yang bukan jadi tanggung jawabmu. Lumayan sih kalau ada uang lemburan buat so called “berbuat baik” ini. Alih-alih uang lembur, ucapan terima kasih pun nggak pernah sampai di telingamu.
Lantaran orang lain tidak juga tanggap dengan pengorbanan ini, kamu merasa sendirian. Capek, capek sendiri. Stres, ya stres sendiri. Masalahnya, kamu sudah sampai pada titik di mana kamu nggak mungkin berhenti karena situasi akan semakin buruk. Kamu sudah kadung mencintai pekerjaanmu itu.
Kerja tim, seharusnya proses kelompok, bukan satu bekerja lebih keras yang lainnya menunggu. Apakah kamu nggak kasihan sama hatimu sendiri?
Capek dianggap “bisa kapan saja”
Yang pasti bikin capek berbuat baik itu ketika niatmu disalahartikan. Kamu dianggap “bisa kapan saja”. Ketika waktunya untuk mengaso, ada proyek dadakan yang mampir ke email.
“Sori, Mas. Saya jatahnya libur hari ini.”
“Wah, kamu aja deh yang ngerjain. Susah minta ke anak-anak. Kamu kan passion-nya kerja. Kalau nggak kerja kamu tremor.”
“Matamu, Mas.”
Tentu saja kalimat MATAMU itu cuma kamu batin saja. Kamu masih butuh kerjaan. Kamu masih harus nyicil BPJS dan beli rokok ketengan tiap habis makan.
Niat berbuat baik dengan kerja lebih keras sampai dikira punya passion kerja. Apa-apaan! Lantaran kamu nggak enakan orangnya, kamu nggak bisa nolak permintaan bangsat itu. “Oke, Mas,” adalah jawaban yang kamu ketik di gawai lalu kirim dengan muka terlipat dan hati mengumpat, “Telek lencung!”
Kamu berhak untuk libur. Hatimu berhak untuk dibuat bahagia. Nggak dari orang lain, tetapi diri sendiri.
Kamu rentan dimanfaatkan
Ngelunjak. Biasa. Banyak yang kayak gitu. Ada sebuah titik di mana kamu harus memberontak. Pertama-tama, kepada diri sendiri. Kamu harus berani untuk berkata “Saya lelah”. Ketika kalimat itu nggak bisa kamu ucapkan ke diri sendiri, kamu akan jadi alat untuk dimanfaatkan orang lain.
Nggak usah terlalu munafik dengan berkata egois itu jelek. Berbuat baik itu memang perbuatan mulia. Tapi, ada kalanya kamu harus memperhatikan diri sendiri. Plis, yang akan selalu bisa menyayangi diri sendiri yang kamu sendiri. Berharap kepada manusia itu melelahkan. Pahami kalau banyak orang di luar sana yang jahat betul. Dunia nggak seindah itu.
Kekuatan untuk menolak, di kemudian hari, bakal membantumu. Trust me….
BACA JUGA Keseringan Kerja Lembur Buat Apa? Temenan Sama Penyakit-Penyakit Ini? atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.