MOJOK.CO – Robin Gosens sukses menolak penolakan, menjadi gambaran gairah Serie A bersama Atalanta, dan kisah konyolnya dengan Cristiano Ronaldo.
“Robin Gosens, anak kemarin sore yang kirim Cristiano Ronaldo dkk ke papan bawah klasemen.”
Sungguh sebuah judul berita yang meyedihkan. Sebuah judul yang menihilkan perjuangan panjang penuh narasi penolakan dan kekalahan. Sejak kapan Robin Gosens itu “anak kemarin sore” ketika sudah lebih dari 2 musim menjadi salah satu kepingan penting dari kebangkitan Atalanta di Serie A?
Saya membaca sekitar 10 berita, baik lokal maupun internasional, yang sedang berlomba-lomba menggunakan kata kunci Robin Gosens. Tentu saja, kebanyakan dari berita baru tersebut berjenis hardnews. Berita yang cukup ditulis dengan mematuhi kaidah 5W+1H.
Sekitar separuh dari 10 artikel tersebut menyematkan nama Cristiano Ronaldo di bagian judul separuhnya lagi soal Serie A. Dulu, Robin Gosens pernah minta izin untuk memiliki jersey Cristiano Ronaldo selepas pertandingan. Saat itu, Ronaldo menolak dan jadi berita hangat. Yah, kamu pasti tahu jalan cerita kisah itu.
Maksud saya, berita-berita tersebut bukan berita yang menyalahi kaidah jurnalistik. Cuma, yah, banyak narasi berlebihan yang justru bikin sesat pembaca. Misalnya istilah “anak kemarin sore” itu. Iya, dia memang belum lama membela timnas Jerman. Namun, dia bukan seorang greenhorn yang bisa ditulis seperti itu. Ironisnya, istilah “anak kemarin sore” itu nggak dibahas di dalam artikel. Lucu.
Mereka yang tidak pernah menghargai Serie A, minimal menonton beberapa laga secara rutin, pasti bakal kesulitan menggambarkan sosok Robin Gosens. Mereka tidak tahu dia itu wing back seperti apa, cara bermainnya seperti apa, tentang produktivitasnya di sepertiga akhir, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, muncul istilah “anak kemarin sore” hanya demi sebatas judul yang manis.
Yah, pada akhirnya saya memahami tuntutan redaksi tentang menjaring pembaca sebanyak mungkin. Terkadang, kawan-kawan jurnalis terjebak di antara kewarasan sebuah berita meskipun pembacanya sedikit dan “berita jahat” yang berpotensi dibaca puluhan ribu pembaca. It’s okay, begitulah kenyataan di meja redaksi. Siapa saya mau mengubah kewajaran itu.
Robin Gosens dan Serie A yang diremehkan
Lewat tulisan ini saya hanya ingin menegaskan bahwa Robin Gosen bukan sekadar bek kiri timnas Jerman yang main bagus di satu pertandingan. Pemain berusia 26 tahun itu adalah sosok yang kompleks dan pernah melewati berbagai pahitnya penolakan hingga mekar sepenuhnya di Serie A. Hebatnya, dia melewati itu semua di usia yang terbilang sangat muda. Kini, di usia 26 tahun, dia siap untuk “lebih dikenal”.
Robin Gosens adalah sosok terbuka. Dia tidak takut untuk menyuarakan pikirannya. Sosok yang pasti menyenangkan untuk dijadikan teman. Salah satu komentarnya yang menarik adalah soal sesi diskusi taktik. Dia bilang, “Sesi diskusi taktik itu menyebalkan sekali. Tapi, kalau yang menjelaskan itu Gasprini, kamu pasti yakin diskusi ini akan menghasilkan sesuatu.”
Caranya menggambarkan situasi menunjukkan sosok yang riang. Pengalamannya bersama rasa pahit mungkin membentuknya menjadi individu yang santai, tapi dewasa. Sifat yang membantu Robin Gosens mampu menahan rasa malu ketika Cristiano Ronaldo menolak ngasih jerseynya.
Dia juga cukup vokal di Serie A. Pemilihan katanya asik banget. Mirip anak tongkrongan. Memberi bumbu-bumbu makian supaya kalimat yang disampaikan lebih ngena dan “tidak berjarak”. Salah satunya adalah komenar Gosens soal European Super League. Saya kutipkan utuh saja biar aura kemarahannya megang banget:
“If there is now a Super League in which Arsenal or Tottenham qualify forever without any sporting achievement, then football will be stripped of its foundations. Everyone must be aware that football will change forever and never be the same again.”
“People are still dying all over the world. There is a lack of money at the front and the back. These twelve clubs set up their own league and can get €100 or €150m shoved up their ass.”
Gosens sendiri ikut dalam gelombang protes. Dia ikut turun ke jalan. Asik sekali, bukan. Kamu bisa membayangkan mahasiswa yang kritis, tapi tetap asik nggak ndakik-ndakik. Habis demo ya perjamuan. Sewu-sewu dadi banyu.
Sifatnya yang positif dan seperti tanpa takut membantu Robin Gosens menjadi salah satu bek sayap kiri terbaik di Serie A. Iya, Serie A, kompetisi yang masih begitu bodoh disalahartikan. Kompetisi yang masih dianggap sebagai “panti jompo”, tempo lambat, dan cara bermain membosankan.
Tahukah kamu, di Serie A dua musim lalu, Robin Gosens mencatatkan xG per 90 menit sampai 0,36. Catatan yang terbilang sangat tinggi untuk bek sayap. Yang dimaksud xG (expected goals), gampangnya, adalah seberapa besar kemungkinan sebuah peluang menjadi gol. Semakin tinggi, mendekati angka 1 untuk bek, semakin besar nilainya.
Catatan ini juga menjadi gambaran cara bermain Robin Gosens. Dia suka naik menyerang, tapi jadi mencari posisi. Gol Kai Havertz ke gawang Portugal adalah contohnya. Sebagai bek sayap, Gosens tidak hanya menempelkan diri di garis tepi. Dia tahu kapan saatnya mendekati kotak penalti untuk menerima umpan diagonal jarak jauh. Penempatan posisi yang baik mengizinkan Gosens untuk mengirim umpan silang akurat ke arah lari Havertz.
Melihat Robin Gosens bermain rasanya seperti tengah berada di tengah festival. Penuh gula-gula, greget rumah hantu, nikmatnya gorengan hangat, main gelembung air sabun, naik bianglala, dan main kembang api. Keceriaan dan gairah itu yang Serie A rasakan setiap dia bermain.
Sebuah perasaan yang membuncah ketika akhirnya kesampaian melihat sepak bola yang menghibur. Sepak bola yang sukses meledakkan gairah, membuat penikmatnya untuk selalu rindu. Serie A sudah berubah, kawan. Keceriaan dan gairah Robin Gosens adalah gambaran terbaiknya.
Pada akhirnya, memuja Robin Gosens adalah sebuah usaha untuk berlutut di depan kemampuan manusia untuk menolak penolakan, bangkit dari nasib buruk, dan menikmati hidup secara penuh.
BACA JUGA Menderita Bersama Atalanta dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.