MOJOK.CO – Kabarnya, AC Milan dilarang bermain di Europa League untuk musim 2019/2020 karena sudah melanggar aturan FFP yang disusun oleh UEFA. Benarkah demikian?
Kamu masih ingat dengan ramainya perdebatan antara Remotivi dan Tribunnews? Saat itu, Remotivi menyoroti cara bermain Tribunnews yang mengeksploitasi betul kasus teror yang terjadi di Depok, Surabaya, dan Pekanbaru. Sensasi dan Remotivi menyebut Tribunnews sebagai “tuyulnya Kompas-Gramedia”.
Tribunnews dianggap hanya memberitakan berita-berita remeh–Remotivi menyebutnya sebagai remah-remah berita–terkait kejadian teror di Mako Brimob. Judul yang bombastis, isi yang tidak penting, dan yang penting bikin banyak. Tribunnews hanya mencari untung belaka dengan mengejar klik, yang berujung kepada jumlah kunjungan situsweb.
Jika kamu melihatnya dari sisi jurnalisme, yang dilakukan Tribunnews memang agak mengganggu. Namun, jika pernah bekerja di meja redaksi, kamu akan tahu kalau redaktur tidak hanya dituntut peka dengan isu dan bisa menulis berita. Mereka juga harus memahami kerja Google Analytic, traffic kunjungan secara real time, users, bounce rate, eksploitasi kata kunci, Google Trends dan lain sebagainya.
Hubungan pernik kunjungan situsweb itu berbanding lurus dengan bisnis sebuah media. Selain iklan, jumlah kunjungan juga perlu diperhatikan betul. Oleh sebab itu, meja redaksi sebuah media, apalagi sebesar Tribunnews, yang seperti menguasai halaman pertama Google, adalah palagan medan perang yang panas.
Mereka berburu klik, demi mendulang pundi dan status di situs pemeringkat situsweb. Maka, ketika AC Milan akhirnya tidak bermain di Europe League, yang dilakukan media adalah mencari angle pemberitaan semenarik mungkin. Banyak media menggunakan kata atau kalimat di judul untuk memancing emosi pembaca.
Sasarannya adalah fans AC Milan yang akan melahap semua berita tentang klub kesayangannya, fans rival yang menggunakan berita itu sebagai bahan tubir, dan fans sepak bola netral yang tertarik oleh judul bombastis. Maka, yang terjadi adalah misinformasi. Dan, seperti jamur di musim hujan, misinformasi itu menyebar dengan cepat.
Misinformasi terkait AC Milan dan Europa League
Banyak media di Indonesia, terutama yang bertarung mendapatkan klik di sepak bola Eropa mengandalkan terjemahan dan penyertaan sumber saja. Parahnya, banyak media seperti hanya menggunakan Google Translate sebagai andalan karena jurnalis yang bekerja tidak punya bekal Bahasa Inggris memadai.
Jadi, tidak hanya misinformasi yang terjadi. Pembaca justru tersesat di tengah terjemahan yang kacau, tidak kontekstual, dan cenderung disalahartikan. Ujungnya adalah kekacauan informasi dan berujung media yang bersangkutan dipandang tidak kredibel. Apalagi ketika kenyataannya, AC Milan tidak sepenuhnya di-“banned” oleh UEFA.
Betul, ketika berita soal AC Milan tidak akan bermain di Europa League musim depan karena melanggar Financial Fair Play, kata yang populer nangkring di judul adalah “banned”. Kata “banned” dan “AC Milan”, di meja redaksi disebut sebagai kata kunci. Kata yang akan dibaca oleh mesin pencarian Google. Semakin populer kata kunci, media yang berkaitan akan mendapatkan exposure yang besar. Banyak media Eropa yang menggunakan kata kunci tersebut.
Selain “banned”, banyak media Eropa yang menggunakan kata “excluded”. Artinya sih berbeda, tapi konteksnya sama, yaitu ‘dilarang’ dan ‘dikeluarkan’. Kata tersebut mengindikasikan cita rasa satu arah, yaitu AC Milan digagalkan oleh UEFA untuk bermain di Europa League.
Sementara itu, media-media Indonesia menggunakan istilah “dicoret” atau “didiskualifikasi”. Bahkan, Detik membuat judul sepert ini: “Dicoret dari Liga Europa Adalah Puncak Penderitaan AC Milan”. Sementara itu, CNN sudah menggunakan judul yang benar: “AC Milan Minta Mundur dari Liga Europa Setelah Disanksi UEFA”. Mengapa Detik melakukannya?
Ya karena media-media itu mengejar efek kejut yang mengaduk-aduk emosi. Kedua, kemalasan untuk mencari sumber paling valid, misalnya surat putusan yang dikeluarkan oleh Court of Arbitration for Sport (CAS).
Sekelas Sky Sport pun melakukan hal yang sama. Teknik yang sama, yang dipakai oleh Tribunnews untuk mendulang klik dengan mempermainkan emosi. Kamu akan terbelah, antara menentang penggunaan clickbait ketika memberitakan AC Milan dan mendukung penggunaan teknik seperti itu karena “sudah lumrah” terjadi.
Tidak ada yang lebih berbahaya dibandingkan orang yang sebetulnya mampu tapi memilih ignorant dan berhenti mendiskusikan kebenaran.
Kebenaran di balik di-“banned”-nya AC Milan
Ada yang namanya sumber A1. Merujuk kepada sumber paling valid. Untuk kasus AC Milan dan Europa League, sumber A1 adalah surat putusan yang dikeluarkan oleh CAS. Mengapa? Ya karena CAS yang memutuskan, dengan merujuk kepada aturan-aturan yang dilanggar AC Milan dan sikap UEFA.
Adam Digby, jurnalis FourFourTwo, menemukan surat putusan CAS dan menggunggah tangakapan layar surat tersebut di akun Twitter pribadinya. Apa yang Adam Digby temukan?
AC Milan tidak sepenuhnya kena “banned”, mereka memutuskan untuk mundur dari Europa League. UEFA melihatnya sebagai langkah yang perlu mendapatkan perhatian serius. Oleh sebab itu, pertemuan dilakukan oleh petinggi AC Milan dan UEFA. Hasilnya? CAS mempertimbangkan pertemuan kedua pihak dan menyimpulkannya dalam sebuah kata sederhana: “agreement”, yang bahkan bisa ditemukan di paragraf pertama surat putusan.
Feel it’s really important to point out the opening paragraph here. It’s an *agreement* between UEFA & @acmilan, which is very different to this being a ban https://t.co/V0RMhQYxzh
— Adam Digby (@Adz77) June 28, 2019
Kata “agreement” tentu punya arti yang sangat jauh dari “banned” dan “excluded”. Saya tidak perlu menjelaskannya dalam Bahasa Indonesia, kan?
Mengapa “agreement” bisa terjadi?
Pertama, yang perlu dipahami adalah AC Milan memang melanggar FFP. Selama kurun waktu 2015 hinga 2018, mereka melanggar regulasi yang membatasi jumlah pengeluaran klub. Periode pengawasan yang dilakukan UEFA adalah tiga tahun. Aturan FFP melarang klub menderita kerugian melebihi 27 juta paun dalam tiga musim. Milan melanggar aturan ini ketika berbelanja lebih dari 200 juta paun pada kurun 2015 hingga 2017.
Musim panas yang lalu, AC Milan sebetulnya sudah kena hukuman dua tahun tidak boleh beraktivitas di pasar transfer. Namun, manajemen Setan Merah dari Kota Mode sukses di pengadilan banding. Nah, untuk musim depan, demi membenahi keuangan klub, Milan memilih menarik diri dari Europa League dan UEFA mengabulkannya.
UEFA mengabulkan permintaan ini karena AC Milan berani menjamin bahwa di bawah “asuhan” Elliott Management, keuangan mereka akan membaik. Sementara itu, CAS memberi Milan waktu hingga 2021 untuk menyeimbangkan neraca keuangan mereka.
Nah, sudah klir, kan? Bagikan tulisan ini supaya kesadaran akan kebenaran tetap ada. Hati-hati ketika kamu berselancar di media sosial dan menemukan berita bombastis. Jadilah detektif, curigalah terhadap segala sesuatu. Waspada itu tidak ada salahnya.