MOJOK.CO – European Super League karam sebelum layarnya terkembang. Kompetisi dengan bahan bakar ego dan rakus itu kini tinggal sejarah.
European Super League karam sebelum layarnya terkembang. Belum juga kapal mewah itu menantang badai, ia sudah karam diterjang ombak di tepi dermaga. Ombak protes pemain dan suporter itu menerjang lambung kapal dan merusaknya secara paripurna.
Diawali Manchester City, lalu diikuti lima klub Liga Inggris lainnya; Chelsea, Arsenal, Liverpool, Manchester United, dan terakhir tak perlu kita sebut namanya. Enam klub Liga Inggris, founding members European Super League satu kata untuk balik kanan dan bubar.
Tidak lama kemudian, setelah rapat eksekutif selesai, European Super League resmi dibubarkan. Klub-klub Italia, dimulai dari AC Milan, juga memilih sikap yang sama.
Beberapa media menulisnya dengan istilah “ditunda”. Ada juga yang menggunakan diksi “dihentikan”. Namun, intinya tetap sama, yaitu breakaway league, liga tandingan, tutup buku.
Arsenal, lewat akun Twitter resmi mereka, mengakui sudah mengambil keputusan yang salah. Mereka meminta maaf karena kegaduhan ini. Sebuah pernyataan resmi yang terdengar manis. Tentu saja permintaan maaf Arsenal dan semua klub penggagas European Super League diterima oleh fans. Namun, kepercayaan dan integritas untuk kebersamaan itu sudah kadung retak, bahkan pecah.
Permintaan maaf Arsenal dan beberapa klub penggagas European Super League itu seperti cairan emas yang digunakan di seni kintsugi, seni reparasi barang pecah belah dari Jepang.
Cairan emas itu tidak digunakan untuk menghilangkan bekas retakan. Di dalam seni kintsugi, cairan emas itu justru dipakai untuk menegaskan bekas retakan supaya semakin terlihat oleh mata. Tembikar yang pecah itu kembali terlihat cantik. Sebuah pesan bahwa sesuatu yang rusak bisa kembali indah dengan sebuah usaha. Salah satunya permintaan maaf dari para penggagas European Super League.
Namun, satu hal tersurat dari seni kintsugi ini, yaitu kesalahan yang sudah terjadi tidak akan bisa diputar kembali. Retakan itu menggambarkan kekecewaan para pemain dan suporter. Menggambarkan bahwa klub, terutama para owner, tidak pernah mau mendengarkan suara-suara paling penting di sepak bola, yaitu suara suporter dan para pemain.
Permintaan maaf itu seperti cairan emas. Ia merekatkan kembali sesuatu yang sudah kadung rusak. Tembikar itu memang kembali rekat, kembali terlihat indah. Namun, kesalahan yang sudah terjadi, tidak akan pernah dilupakan oleh suporter dan pemain.
Backlash itu sudah terlihat ketika suporter Arsenal, Liverpool, dan Manchester United meminta para owner untuk mundur. Tagar FSGOut, KroenkeOut, dan GlazerOut sudah mewarnai trending di Twitter. Saya rasa, untuk beberapa hari ke depan, perlawanan kepada para owner akan semakin kuat.
Klub hanya sebatas entitas, mungkin identitas. Ia berjalan dan berkembang berkat para pemilik yang menjadi oli penggerak mesin manajemen. Oleh sebab itu, para pengurus ini yang akan diarak ke depan publik dan diadili ramai-ramai karena mencemarkan nama baik dan tradisi klub.
Saya tidak munafik bahwa para penggagas European Super League membutuhkan dana dalam jumlah besar untuk terus hidup. Gagasan Liga Super Eropa memang seperti menjanjikan mimpi manis. Bahwa uang dalam jumlah besar akan tergaransi masuk ke dalam rekening dan kehidupan masing-masing klub akan aman untuk setidaknya lima tahun ke depan.
Kesalahan para penggagas European Super League adalah mereka tidak pernah mengajak pemain dan suporter untuk duduk bersama mencari jalan terbaik. Dunia industri memang membutuhkan uang untuk keperluan bertahan hidup. Namun, terkadang, para kapitalis ini melupakan satu hal fundamental untuk masa depan, yaitu keberadaan manusia.
Enam klub Liga Inggris, misalnya. Mereka tertarik dengan proyek European Super League karena fantasi akan kesehatan finansial. Ketika memutuskan untuk mundur, ada alasan uang juga yang menjadi latar belakang. Konon, UEFA menawarkan uang dalam jumlah besar kepada enam klub Liga Inggris jika mereka mau menarik diri dari proyek liga tandingan.
Begitulah dunia kapitalis bekerja….
UEFA menawarkan sejumlah uang dalam jumlah besar kepada enam klub Liga Inggris. Namun, mereka tidak mau menunjukkan sikap yang sama kepada klub-klub Liga Spanyol karena dianggap “musuh”. Ironis sekali. Uang yang menyatukan, uang pula yang memisahkan.
Jadi, permintaan maaf dari para pembuat gaduh ini memang terdengar mengharukan. Namun, kamu jangan sampai salah sangka. Para pemilik dari enam klub ini sempat membubuhkan tanda tangannya di atas kontrak European Super League. Mereka bukan penyelamat sepak bola. mereka bukan orang suci ketika memutuskan minggat dari proyek imajinatif ini.
Guci yang sudah kadung pecah itu tak akan lagi sama. Bagian-bagiannya yang tercerai memang bisa direkatkan lagi. Namun, jejak kerusakannya sudah tercetak abadi. Para pemilik klub, penggagas European Super League, harus mundur karena aksi mencoreng arang ke kening sendiri.
European Super League akan dikenang sebagai kompetisi paling panas yang pernah terjadi. Ironisnya, kompetisi itu berakhir sebelum sepak mula pertama terjadi. Kompetisi panas dengan bahan bakar rasa egois dan rakus.
Saya, dan mungkin kamu, akan tetap mencintai klub masing-masing. Dan itu sudah seharusnya. Namun, sebaik-baiknya cinta, adalah cinta yang tak pernah melupakan kesalahan kekasih hati. Bukan untuk memelihara dendam, tapi sebagai pengingat bahwa kesalahan yang sama tak boleh lagi terjadi.
BACA JUGA European Super League: Persekutuan Jahat para Pencuri Sepak Bola dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.