MOJOK.CO – Alexandre Lacazette sempat menjadi harapan baru bagi Arsenal. Namun, seiring waktu berjalan, striker asal Prancis itu malah “kehilangan dirinya” sendiri.
Pertama, saya masih meyakini kalau Alexandre Lacazette adalah pemain berkualitas. Masalah klasik bagi pesepak bola seperti mengikat kaki striker asal Prancis itu. Masalah klasik yang menghentikan semua pesepak bola untuk memberi kontribusi maksimal kepada klubnya. Masalah itu adalah ambruknya kepercayaan diri dan awetnya inkonsistensi.
Saya masih ingat betul excitement yang terasa dari fans Arsenal ketika proses negosiasi dengan Lyon akhirnya selesai juga. Saat itu, Presiden Lyon, Jean-Michel Aulas, memang dikenal sebagai orang yang nggak suka betul dengan Arsene Wenger dan Arsenal. Rasa tidak suka itu membuat proses negosiasi untuk membeli Lacazette menjadi begitu rumit pun lama betul.
Kesepakatan akhirnya tercapai ketika si pemain sendiri meminta untuk dijual. Arsenal dan Lyon kemudian mencapai titik temu di nilai transfer senilai 53 juta euro. Pembelian Lacazette menjadi salah satu transfer mahal yang dilakukan Arsenal semenjak pindah ke Emirates Stadium dan keuangan klub semakin membaik.
Kegairahan yang terasa memang beralasan. Ketika Lacazette datang, Arsenal seperti cuma punya Olivier Giroud sebagai striker utama. Masalahnya, Giroud bukan striker yang efisien memanfaat peluang. Jika striker lain butuh 5 peluang untuk 1 gol, Giroud butuh dua kali lipatnya. Meskipun memang, sebagai pemantul, Giroud termasuk kelas elite.
Oleh sebab itu, kedatangan Lacazette yang dianggap lebih klinis ketimbang Giroud disambut begitu meriah oleh fans Arsenal. Di dalam kepala Gooners, sekali lagi, lini depan Arsenal akan diisi oleh striker yang bisa memaksimalkan kreativitas lini tengah. Siapa saja yang datang, apalagi dari Prancis, pasti akan dibanding-bandingkan dengan Sang Raja.
Musim pertama Lacazette berjalan “biasa saja”. Striker yang sekarang berusia 28 tahun itu cuma membuat 17 gol dan 5 asis dari 39 laga di semua kompetisi. Melihat jumlah laga yang dimainkan, Laca menjadi pilihan pertama di tahun perdana bersama Arsenal.
Siapa, sih, yang tidak kesulitan beradaptasi di tahun pertama? Semua pemain hampir pasti merasakannya. Ketika kesulitan beradaptasi, Laca bisa membuat 17 gol di semua kompetisi. Sebuah catatan yang membuat harapan Gooners akan kehadiran striker efisien semakin tambah besar.
Steve Bould, mantan asisten Arsene Wenger menegaskan kalau Lacazette bukan hanya striker yang jago bikin gol. Penyerang asal Prancis tersebut punya kemampuan mengkreasikan peluang dan menjadi jembatan lini depan dan depan. Ketika berada dalam performa terbaik, Lacazette bisa bermain sebagai pemantul bola sekaligus bermain lebih mobile untuk mencari ruang di lini depan.
Kemampuan Lacazette untuk bermain sebagai pemantul didukung oleh low center of gravity dan postur yang kokoh. Pesepak bola dengan low center of gravity menjadikannya lebih mudah menurunkan kecepatan lari, bergeser untuk mengantisipasi perubahan posisi lawan, dan menaikkan kecepatannya dalam sekejap.
Ketika hendak menerima umpan vertikal, Lacazette cukup sering mengulurkan tangan ke belakang seperti gerakan memeluk untuk memeriksa posisi bek lawan yang menempelnya dengan ketat.
Ketika mengulurkan tangan ke belakang, Lacazette akan merendahkan tubuh, menekuk lutut, membuat bek lawan kesulitan menggeser posisi berdirinya. Ia “menancapkan kaki” ke dalam tanah. Tubuh yang kokoh mendukung aksi ini.
Pada momen ini, ia melakukan aksi yang kompleks, yaitu mengukur jarak dengan bek, menguatkan posisi berdiri, fokus ke bola, sekaligus mengamati situasi sekitar.
Ketika umpan dilepas, Lacazette akan melentingkan badan dengan cepat untuk menerima umpan. Akibatnya, tercipta celah antara dirinya dan bek lawan. Celah yang tercipta tidak lebar, hanya dua atau tiga meter saja. Namun, celah tersebut sudah cukup bagi mantan penyerang Lyon tersebut untuk mengalirkan bola dengan urgensi dan intensitas tinggi.
Satu hal yang menjadi kunci dari kemampuan di atas adalah kata “mobile”. Kamu bisa melihat kembali pertandingan lawas antara Lyon vs AS Roma. Laca membuat 1 gol dan 1 asis. Salah satu asis yang diberikan adalah bentuk permainan yang cair, pertukaran posisi antar-pemain, dan kecepatan melepas umpan.
Saya rasa, itulah bentuk terbaik dari permainan Lacazette. Ketika dirinya dibatasi menjadi pemantul saja, atau poacher saja, kemampuannya akan perlahan luntur. Memang, bukan berarti hilang, tapi perlu penyesuaian kembali kelak. Pada periode itulah, kepercayaan diri pemain akan rentan hancur ketika gagal.
Sekarang, peran Laca sebetulnya menjadi lebih terbatas. Selain menjadi pressing forward, Laca menjadi seperti poacher semata. Striker, pada titik tertentu, meletakkan permainnya kepada insting semata. Namun, ada juga yang baru bisa memaksimalkan instingnya di momen yang spesifik.
Area bermain Laca tidak sepenuhnya berada di dalam kotak penalti. Kemampuan dan akurasi tembakan dari jarak menengah yang sebetulnya lebih berbahaya. Oleh sebab itu, Arsenal menjadi lebih berbahaya ketika dia langsung berdekatan dengan Aubameyang. Akan berbeda ketika Aubameyang harus bergeser dulu dari sisi kiri.
Tentu saja ini cuma perkiraan saya saja. Mikel Arteta tentu lebih tahu kelebihan dan kekurangan pemain. Menduetkan Aubameyang dan Lacazette dalam skema 4-4-2 atau 4-3-1-2 mungkin bisa jadi solusi.
Laca butuh gol untuk mengembalikan kepercayaan diri. Namun, sebelum gol bisa terjadi, yang paling penting adalah menyiapkan situasi di mana pemain bisa membuat gol itu sendiri. Semoga kalimat ini bisa dipahami. Bahwa semua pemain butuh sebuah skema yang bisa memaksimalkan kelebihannya, sekaligus melindunginya dari kekurangan.
Lacazette yang cenderung statis akan terlihat seperti striker medioker. Laca yang mobile, akan jauh lebih berguna untuk Arsenal. Di zaman sepak bola modern ini, striker tidak lagi diukur dari jumlah gol, tetapi kontribusinya secara keseluruhan untuk tim.
BACA JUGA Kembalinya Alexandre Lacazette Memang Dibutuhkan Aubameyang dan Arsenal atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.