Banyak dicinta, banyak juga dibenci. Itulah lima kata yang bisa saya deskripsikan mengenai sosok Tere Liye. Penulis kelahiran Lahat, Sumatra Selatan, pada 21 Mei 1979 ini terlahir dari keluarga petani dan tumbuh besar di pedalaman Sumatra. Selain menjadi seorang penulis dengan karya-karyanya seperti Bumi (2014), Bulan (2015), Pulang (2015), Negeri Para Bedebah (2012), Hafalan Shalat Delisa (2005), dan Tentang Kamu (2016), Tere Liye juga dikenal sebagai akuntan.
Beberapa kontroversi pernah melekat pada diri lelaki yang memiliki nama asli Darwis ini. Dimulai dari awal tahun 2016, dirinya mengomentari isu LGBT dengan menyangkutkan orientasi seksual ini pada sebuah penyakit. Hal ini dilanjutkan dengan pernyataannya terkait sejarah Indonesia melalui media sosial yang seolah menihilkan peran tokoh-tokoh politik dan pemikir sosialis dalam perjuangan kemerdekaan RI.
“Apakah ada orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, pendukung liberal, yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda, Inggris, atau Jepang? Silakan cari.”
Pernyataannya yang ingin meminta generasi muda mempelajari kembali sejarah bangsa berbalik menunjukkan bahwa dirinya tidak mengenal sejarah bangsa itu sendiri. Tere seolah melupakan nama-nama besar seperti Tan Malaka, Soekarno, dan H.O.S Tjokroaminoto yang dikenal dengan paham sosialisnya.
Memiliki beberapa kontroversi melalui tulisannya, lelaki lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini menjadi salah satu penulis zaman now yang cukup ekspresif dalam menyampaikan pendapat pribadinya. Hal ini diperkuat ketika pertengahan 2017 pajak profesi penulis dibahas secara luas, Tere Liye secara reaktif mengambil langkah menghubungi dua penerbit besar Indonesia (Gramedia dan Republika) untuk berhenti menerbitkan 28 judul bukunya. Langkah yang cukup ekstrem ini berhasil “memancing” Menteri Keuangan Sri Mulyani turun langsung untuk memberi tanggapannya.
Namun, keadaan kini berubah. Memutuskan kembali menerbitkan karya setelah memberhentikan penerbitan bukunya dari 1 Juli 2017–31 Desember 2017, Tere kini tengah mengadakan PO (per-order) untuk novel terbaru berjudul Pergi, setelah sebelumnya—pada Februari 2018—penerbit kembali mencetak ulang dan menjual kembali 28 judul buku karya ayah dari Abdullah Pasai serta Faizah Azkia ini. “Daripada kelamaan nunggu pemerintah ikutan peduli soal literasi dalam langkah konkret, penerbit dan penulis mencoba mencari alternatif lain,” begitulah ungkapannya untuk memulai menerbitkan karya lagi di tahun ini.
Hmm, Tere Liye memang hehe~