Mojok menerima banyak kiriman untuk Surat Orang Biasa yang menyoroti pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebagian menyoroti waktu tunggu periksa yang lama, juga antrean saat pendaftaran. Namun, banyak juga yang salut dengan pelayanan yang semakin membaik.
Berikut lampiran beberapa opini tentang BPJS Kesehatan yang dipilih dari kiriman pembaca Mojok yang kami terima.Â
BPJS yang membantu dan perawat yang judes
Dari sekian jenis BPJS, sampai dengan saat ini yang dimiliki oleh saya adalah BPJS Kesehatan. Terkait dengan iuran yang dikeluarkan setiap bulannya, saya sendiri tidak tahu, karena ibu saya yang selalu membayarkan iuran setiap bulannya. Kami sekeluarga membuat BPJS Kesehatan itu sekitar tahun awal tahun 2018, dan tidak butuh waktu lama apalagi ribet dalam membuatnya.
Saat itu di masyarakat desa saya, BPJS Kesehatan dianggap sebagai suatu hal yang tabu, ada yang mengatakan “Eman-eman iuran setiap bulannya”, ada juga yang mengatakan “Membuat BPJS itu sama saja ingin sakit”. Tetapi kami sekeluarga melihat iuran BPJS yang kami keluarkan setiap bulan adalah bentuk sedekah.
Setengah tahun kemudian ayah sakit pencernaan dan harus dioperasi. Maka mau tidak mau untuk biaya operasi tersebut menggunakan BPJS Kesehatan. Saat itu beredar rumor yang mengatakan bahwa pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan tidak dilayani dengan baik sedang berembus kencang, hal tersebut membuat kami sekeluarga sedikit was-was juga. Saat itu ayah ditempatkan di kamar rumah sakit yang berisi sekitar 8 pasien, dan dibatasi oleh sekat-sekat.
Betapa terkejutnya saya saat itu, karena perawatnya begitu judes. Bahkan ibu saya dituduh mempercepat aliran infus oleh salah satu perawat, karena infusnya cepat habis. Dengan penuh kesabaran ibu menjawab, “Saya ini cuman lulusan SMP, masa iya saya bisa mempercepat aliran infus, gimana caranya?”.Â
Dua hari setelah operasi, ayah diizinkan untuk pulang ke rumah. Satu tahun setelah ayah dioperasi, ibu mengalami sakit yang mengharuskannya untuk dirawat. Berkaca dari pengalaman sebelumnya yang dialami oleh ayah, maka ibu memilih rumah sakit yang memang dikenal ramah terhadap pengguna BPJS Kesehatan. Ibu ditempatkan di kamar rumah sakit yang berisi 2 pasien, bisa dikatakan termasuk luas, perawatnya pun sangat ramah, pelayanannya pun juga bagus.
– Malik Ibnu Zaman, Ciputat, Kota Tangerang Selatan
Waktu tunggu yang lamaÂ
Tahun lalu sewaktu pulang kampung, ayah membuatkanku akun BPJS-Kesehatan untuk keperluan berobat di tempat kuliah, agar biaya yang dikeluarkan tidak terasa berat. Registrasinya online. Ayah hanya perlu mengisi data diriku dan membayar sejumlah iuran yang dipilih. Karena waktu itu pandemi masih sangat parah, maka tidak ada pencetakan kartu seperti biasanya, untuk meminimalisir kontak fisik.Â
Tibalah aku Kembali ke tempat rantau, Jogja. Suatu waktu aku menyadari bahwa gigiku berlubang, lumayan besar. Karena banyak sisa makanan yang masuk ke lubang itu, akhirnya gigiku sakit. Tidak lama aku langsung pergi periksa. Awalnya lega karena sudah punya asuransi, tapi ternyata belum bisa dipakai sebelum di-migrasi dari tempat pembuatan, Bangkalan, ke tempatku berobat, Klinik Pratama UIN Sunan Kalijaga.
Panik sekali karena hanya membawa sedikit uang tunai. Akhirnya petugas administrasi memberi arahan untuk mengaktifkan dan me-migrasi akun BPJS di aplikasi Mobile JKN. Namun, perlu menunggu sebulan untuk bisa menggunakan asuransi yang baru saja di-migrasi. Padahal beberapa hari lagi harus berangkat ke lokasi KKN di Gunung Kidul.Â
Pelayanan kesehatan kini memang serba praktis, tapi waktu tunggu yang ditetapkan masih terlalu lama bagiku yang membutuhkan penanganan segera. Semoga selanjutnya waktu tunggu bisa dipangkas atau mungkin bisa dilakukan langsung oleh petugas rumah sakit.
– Siti Nurkhalishah, Karangbendo Kulon, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta
Mempersingkat waktu tunggu terpaksa tes mandiri
Selama menggunakan BPJS sejak tahun 2015, pelayanan yang didapatkan cukup baik. Saya memilih kelas 1 untuk iuran per bulannya dengan FKTP dokter yang saya kenal secara personal. Hal tersebut lebih memudahkan untuk berkonsultasi dan meminta rujukan ke fasilitas kesehatan lanjutan (jika diperlukan).Â
Tahun 2016, saya pernah menggunakan BPJS untuk mengakses layanan psikologi di RSUD Mardi Waluyo, Kota Blitar. Bulan lalu, saya sempat masuk IGD saat sedang riset lapangan di daerah Sanga-Sanga, Kukar, Kaltim karena serangan asthma, pelayanan di Puskesmas baik dan gratis. Pelayanan yang sama baiknya juga saya dapatkan tiap kali ke IGD di RS di wilayah domisili ketika asma kambuh.
Untuk mempermudah atau mempercepat pelayanan, saya sudah menyiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan seperti KTP, kartu BPJS, dan KK dalam bentuk soft file sehingga bisa diakses di mana pun dan kapan pun. Dan, kalau ada kendala dari oknum RS, saya biasanya langsung menelepon hotline service BPJS yang nomornya tertera di dekat loket pendaftaran. Kalau memang ada indikasi mal-administrasi atau alasan BPJS nonaktif, nanti dari pihak BPJS yang akan memberikan penjelasan dan teguran langsung ke pihak RS.
Kalau untuk penanganan non-kegawatdaruratan memang dibutuhkan kesabaran ekstra. Tahun 2019, bapak saya terkena prostat dan diharuskan operasi. BPJS hanya mampu mengcover pemeriksaan praoperasi seperti rontgen, tes darah dan urine, USG, per minggu per pemeriksaan. Jadi waktu itu, kalau full menggunakan BPJS, bapak saya harus menunggu 3 minggu hingga satu bulan untuk proses pemeriksaan praoperasi.Â
Nah, demi mempersingkat waktu tunggu, akhirnya tes-tes tersebut kami lakukan secara mandiri (biaya sendiri) sehingga di minggu yang sama bapak bisa dioperasi. Operasi dan perawatan pascaoperasi ditanggung BPJS.
– Ike Astriningtyas, Desa Langon, Kec. Ponggok, Kab. Blitar, Jawa Timur
Ribetnya saat pendaftaran
Saya adalah pengguna aktif BPJS. Setiap bulan saya berkunjung ke puskesmas untuk periksa dismenore atau nyeri haid. Pelayanan BPJS di puskesmas ya standar, nggak ada kendala juga nggak ada perbedaan antrean. Lain halnya ketika saya dirujuk ke dokter obgyn, dari sini ceritanya dimulai.
Menggunakan BPJS memang sangat membantu meringankan beban tagihan saat mengunjungi dokter spesialis, bagaimana tidak? Sekali datang tanpa BPJS untuk periksa dan USG saja sudah bisa menghabiskan kurang lebih Rp300 ribu. Belum dengan obatnya (biaya yang tertera tergantung rumah sakitnya) tapi ingat ya, saya juga bayar tiap bulan dan gak sedikit).Â
Namun, bagaimana dengan regulasinya? Sekalinya datang, jangan lupa untuk fotokopi BPJS, KTP, surat rujukan juga mengisi formulir (ada yang online dan offline). Saat datang ke pendaftaran, semua itu harus dibawa. Jika belum, maka Anda akan diminta untuk fotokopi dulu, meski itu mungkin jauh dari lokasi rumah sakit. Baru setelah persyaratan lengkap, antre dengan pasien lain yang biasanya bejibun. Ini tentu membuat tidak ada kepastian waktu kalau mau janji dengan dokter.
Wajar kalau pegawai rumah sakit mukanya kecut saat ketemu pasien BPJS. Dan wajar juga kita ngeluh pegawai sangat menyebalkan tidak enak dilihat dan dipandang. Semua ada sebab akibat, kan?
Btw cerita lain tentang BPJS, banyaaaak….
– Sabella, Bumi Wanamukti – Semarang
Pengalaman melahirkan dengan program BPJS
Saya akan menceritakan pengalaman melahirkan anak saya yang menggunakan program BPJS pemerintah. Waktu anak pertama lahir, saya bekerja di salah satu perusahaan Jepang di Jakarta Pusat. Fasilitas perusahaan yang ditawarkan untuk proses melahirkan ada 2 pilihan, yaitu menggunakan program BPJS dari pemerintah atau asuransi yang telah disediakan perusahaan.
Jika saya mengambil BPJS saya bisa mendapatkan fasilitas kamar kelas 1 dengan limit yang bisa melebihi limit yang disediakan asuransi perusahaan. Namun, jika menggunakan asuransi untuk operasi SC (Sectio Caesarea) hanya mendapatkan sebesar Rp9 juta saja. Karena pada saat itu kondisi mengharuskan saya melakukan proses SC, maka HRD di kantor menyarankan untuk ambil program BPJS saja karena kalau SC biasanya bisa memakan biaya lebih dari Rp10juta yang mana jika menggunakan asuransi saya bisa nombok duit lebih banyak.
Ketika bidan tempat saya periksa tidak menyanggupi untuk melakukan persalinan normal, maka ia merujuk saya ke salah satu rumah sakit swasta di kota Depok Jawa Barat, rumah sakit tersebut menerima pasien BPJS. Saat itu saya tidak mengurus sama sekali administrasi awal, karena semuanya sudah diurus oleh pihak bidan tempat saya periksa sebelumnya.
Saat saya datang ke rumah sakit tersebut saya langsung di tindak lanjuti dengan cepat. Pelayanan para pegawai rumah sakit juga sangat ramah dan cekatan. Dokter yang menangani saya dalam proses melahirkan juga dokter senior yang sudah lama bekerja di rumah sakit tersebut.Â
Saat di ruang rawat inap, pelayanan yang diberikan berupa makanan dan fasilitas lainnya juga baik. Tidak ada yang mengindikasikan kesenjangan antara pengguna BPJS maupun biaya pribadi. Singkat cerita, sehari sebelum saya keluar RS, ada pihak BPJS yang menemui suami saya. Pihak perwakilan BPJS tersebut menjelaskan bahwa anak yang saya lahirkan belum terdaftar sebagai peserta BPJS, jika ingin mendaftarkan anak saya masih bisa ditunggu sampai esok paginya agar tidak dikenakan biaya untuk anak.
Saat itu suami saya tanya, jika tidak ikut daftar BPJS, biaya yang dikenakan berapa untuk anak yang baru lahir tersebut, kalau tidak salah sekitar Rp1,5 juta. Akhirnya karena malas urus pendaftaran, saya dan suami sepakat untuk membayar dengan uang pribadi saja.
Jadi semua biaya persalinan saya benar-benar gratis. Namun, untuk anak, saya mengeluarkan biaya pribadi karena sesuai kehendak saya dan suami. Saya mengapresiasi pihak BPJS yang sampai datang langsung untuk memberitahukan bahwa anak saya yang baru lahir belum tercover untuk program BPJS tersebut.
Sampai hari ke-3 saat ganti perban, semua obat masih gratis. Hanya perban pembalut luka operasi saja yang harus saya bayar. Overall saya puas dengan pelayanan BPJS yang saya dapatkan ketika kelahiran anak pertama. Mungkin semua tergantung pada rumah sakit di masing-masing daerah juga yang memiliki pelayanan berbeda-beda.
Sekian opini saya mengenai program BPJS pemerintah. Semoga bermanfaat ya!
– Rizka Utami Rahmi, Kelurahan Pinang, Tangerang
Proses panjang yang melelahkan
Sebagai kaum marginal, saya sih tim yang mewajarkan saja jika ada kisah pelayanan menggunakan BPJS yang tak terlalu enak di hati. Tapi, saya jadi ingat pengalaman saya dua tahun lalu.
Suatu hari, saya mengantar mendiang Ibu ke sebuah rumah sakit. Tentu dengan bangga mengangsurkan kartu dan persyaratan BPJS. Kami lalu diarahkan, kesana, kesini, menunggu, kesana lagi, kesini lagi. Begitu terus sampai saya membatin. Tuhan, kasihan sekali para pemilik sakit dan orang tua renta. Prosesnya ternyata panjang sekali. Kalau tak sabar, boleh jadi saya percaya akan ada orang yang nekat bakar rumah sakit saking geramnya dengan waktu menunggu.Â
Demi Tuhan, saya ngantri dari fase awal sampai akhir sekira nyaris lima jam. Dari terik matahari, hingga tiba-tiba saja ada sebersit lembayung. Saat itu saya berpikir, oh ternyata berobat pakai BPJS itu sebenarnya tidak gratis. Kita membayar menggunakan waktu.Â
Saya akhirnya keluar dari pintu utama rumah sakit, menangis, bak pahlawan yang menang di medan perang dan berhasil pulang ke rumah. Membawa beberapa pil obat yang kalau dibeli pakai uang dan cara biasa, paling hanya memakai waktu luang sekira 40 menit saja paling lama. Sejak itu juga saya bersumpah untuk menjadi orang kaya raya. Trauma kalau harus disuruh berobat pakai BPJS.
– Sukma Nurizki, Cigadong, Nagreg, Bandung, Jawa Barat
Sempat merasa rugi pakai BPJSÂ
Punya BPJS kesehatan Sejak 2015 an lah, iuran rutin suami-istri, hampir setahun kok nggak pernah dipakai. Sempat merasa rugi juga, saya bayar terus ini tiap bulan, tapi di suatu waktu kena penyakit flu akhirnya kepakai juga.
Pengalaman yang paling berharga saat sakit tifus karena aktivitas yang padat, kelupaan makan, drop, dan masuk rumah sakit. Waktu itu langsung masuk ke rumah sakit tanpa rujukan dan selama seminggu, kelas yang saya bayar lewat BPJS adalah kelas 2. Cuma saat itu saya naikin ke kelas 1 tapi nambah berapa persen gitu (lupa saya), pas totalan kaget juga bayar cuma skitar 1,2 jutaan rupiah kirain ya 5jutaan lah.
Pengalaman kedua saat istri juga masuk rumah sakit. Kali ini pakai rujukan karena dokter di faskes satu sudah tau kayaknya ini gejala demam berdarah. Jadi saat periksa pulangnya dibawain rujukan sekalian kalau obatnya nggak bereaksi langsung ke rumah sakit. Sama seperti saya, naik kelas 1 dan saat bayar juga sekitar Rp1 jutaan.Â
Masalahnya ada saat kontrol, jadi pas kami pulang dikasih surat buat minta rujukan dari dokter faskes 1 dan juga surat buat cek lab. Tiga hari kemudian kami cek lab di rumah sakit dan minta surat rujukan ke dokter faskes 1, eh di sana malah di periksa dan dikasih obat, nggak dikasih rujukan.
Akhirnya karena saya dan istri kahwatir karena ada hasil cek lab yang butuh kepastian dari ahlinya, ya kita ambil jalur pasian reguler, bayar mandiri.
Semua pengalaman saya itu ada di rentan wajtu 2017- 2018-an. Terlepas dari masih banyak kekurangan, saya akui BPJS sangat bermanfaat, ketika bayar bulanan diniati sedekah, toh kita suatu saat nanti kalau butuh juga dibantu orang lain.
– Rizka Kurniawan, Desa Jati blimbing Rt 15 Rw 3 Dander Bojonegoro Jawa Timur
Menahan sakit karena waktu tunggu yang lama
Pertama kali menggunakan BPJS karena impaksi gigi. Karena, asal Lampung dan domisili Jogja wajib pindah, dan harus urus berkas. Ditambah harus ke Puskesmas untuk mendapatkan surat rekomendasi ke Rumah Sakit tipe D dan belum bertemu dengan dokter gigi, harus buat temu jadwal lagi. Akhirnya direkomendasikan ke RS tipe A karena diagnosa gigi wajib operasi total. BPJS mengcover semua biaya namun memang perlu memakan waktu yang cukup panjang. Selama menunggu jadwal harus menahan sakit gigi.
– Nabial Chiekal Gibran, Jl. Karangjati Sinduadi Mlati Sleman
Editor: Agung Purwandono