Selama 27 tahun, saya selalu tinggal bersama keluarga saya. Bapak, Ibu, dan Kakak laki-laki saya. Sebagai anak perempuan bungsu, Jawa, keluarga muslim taat, konvensional dan sedikit patriarki dalam keluarga saya, mau ngelakuin apa yang saya mau masih sangat terbatas.
Hingga akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk sekolah kembali S2 di bidang sosial dan politik di universitas termuka di Yogyakarta. Kesempatan itu membuka mata saya dan memvalidasinya melalui ilmu, terpaan bacaan serta lingkungan yang konstruktif bahwa yang saya rasakan selama 27 tahun ini benar benar jebakan.
Saya baru tahu sudah masuk ke fase krisis namun “ndilalah” saya baru sadar dua tahun ini. Tetap saya syukuri, sangat.
Tulisan ini saya takutkan kesannya sombong dan kurang bersyukur akan keadaan keluarga, toh memang tidak ada keluarga yang sempurna. Tapi yang saya rasakan ialah saya kuliah tinggi-tinggi ternyata di keluarga ini tak terlalu membutuhkannya. Ilmu jadi nomor sekian bagi keluarga saya yang muslim taat.
Saya dari dulu ingin sekali melepas hijab saya, karena saya meyakini hijab adalah simbolik. Adanya kebebasan akan tubuhpun juga saya sadari. Bahkan kalau ditarik kebelakang adanya unsur budaya dan letak geografis yang membentuknya. Tapi keluarga saya, yang masuk golongan muslim taat, terutama kakak saya benar-benar marah besar seolah saya akan murtad atau tindakan kriminal lainnya.
Saat saya begadang tengah malam untuk mengerjakan paper dan jurnal, dan pada pukul tiga dini hari, dobrakan kaki kakak saya membangunkan saya untuk shalat tahajud. Sudah jadi budaya keluarga kami, ibadah sunnah bagaikan ibadah fardhu ‘ain, berlaku dengan dhuha, puasa senin kamis, dll.
Melihat keluarga Jawa, muslim taat, dari jarak jauh
Jika tidak dilaksanakan bagaikan menantang dan berbagai kajian muncul seolah sayalah benalu yang tidak berkontribusi pada keluarga karena buat keluarga marah-marah selalu. Saya bingung.
Karena budaya “taat” ibadah ini, diam-diam saya belajar akan agama lainnya sejak saya remaja. Seluruhnya saya dapatkan semuanya terasa sama, kasih, cinta, damai, mulia. Bahkan ternyata saya lebih mencintai cara ibadah saya di Islam akhirnya. Ternyata selama ini “cara” keluarga saya saja yang tidak saya senangi.
Saya pahami latar belakang keluarga inti saya ini. Saya mencoba melihat dari jarak jauh, saya mencoba berdamai, nyatanya sayanya yang sakit hati sendiri. Sudah saya coba jelaskan pun malah saya yang kena mentalnya.
Ya.. setidaknya hal ini sudah saya sadari. Dan izinkan saya memohon doa setelah selesai akan tugas akhir ini, semoga saya mendapatkan pekerjaan tetap yang mampu memberi saya kebebasan dan ruang nyaman untuk diri saya sendiri. Mampu menjadi diri saya utuh, nyaman, dan aman.
Ami Pakuncen, Wirobrajan, [email protected]
BACA JUGA Keluh Kesah Seorang Perempuan Bugis yang Tinggal di Desa: Stigma Uang Panai dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini.