Banyak cara menjadi bagian dari kelas menengah. Tapi tidak setiap cara merangkum semua. Jika harus ada satu cara mendasar agar memiliki cara berpikir kelas menengah yang kemudian berlanjut pada laku, itu adalah dengan menjadi Harukis Garis Keras. Semua yang harus Anda lakukan adalah membaca karya-karya Haruki Murakami.
Ingat, menjadi kelas menengah bukan semata perkara penghasilan, melainkan juga cara berpikir.
Kalau Anda merasa masih jauh tertinggal dari sobat-sobat kelas menengah Anda, belum membaca satu pun karangan penulis Jepang itu, langkah pertama yang harus Anda tempuh adalah menuju Kinokuniya dan belilah buku-buku Haruki.
Di toko buku itu Anda akan melihat remaja puteri tanggung mengenakan celana gemes, namun ia terkesan elegan dan terpelajar. Jika Anda menemuinya di jalan raya, atau berpapasan di bagian lain mal itu, tentu dengan segera Anda menyebutnya sebagai cabe-cabean. Tapi remaja ini berbeda, semacam ada perasaan berdosa jika Anda melabelinya rawit atau ceplik atau gendot atau cengek domba.
Itulah pesona dunia kelas menengah. Anda tidak tahu pasti apa perbedaannya, tapi Anda merasa ada aura anggun yang menaungi remaja puteri bercelana gemes dan sedang memilah-milih buku itu, yang sama sekali tidak dimiliki sebangsanya yang bertaburan di jalanan. Perbedaannya memang abstrak, sulit dilukiskan, tapi Anda bisa merasakannya.
Di sana Anda juga akan bertemu pasangan muda yang penampilannya seperti pangeran dan tuan puteri negeri dongeng, ada juga tante-tante gembira yang fasih geol kanan balas kiri, tapi Anda harus tetap kalem dan bersikap sewajarnya, tirulah eksekutif muda berkaca mata dan berpakaian resmi yang terlihat khusyuk meraba-raba buku di rak biografi itu.
Ingat tujuan utama Anda, membeli buku-buku Haruki Murakami. Dan Anda tidak akan kesulitan menemukannya, karena buku tersebut dipajang di rak paling depan. Begitu melihat harganya, ya, mungkin Anda akan segera mengumpat: “Gila! Buku kok mahal amat!”
Oh, tolonglah, ingat kembali niat luhur agar segera memiliki darah murni kelas menengah. Jika Anda telah cukup berpuas diri menjadi darah lumpur, apa boleh buat, stop sampai di situ.
Untuk membaca karya-karya Haruki, hal pertama yang Anda butuhkan adalah kemampuan berbahasa Inggris. Lebih keren lagi jika Anda punya kemampuan membaca dalam bahasa aslinya, Hitsuji o meguru bōken; Sekai no owari to Hādo-boirudo Wandārando; Noruwei no mori; Dansu dansu dansu; Kokkyō no minami, taiyō no nishi; Nejimaki-dori kuronikuru; Supūtoniku no koibito; Umibe no Kafuka; Afutā dāku; Ichi-kyū-hachi-yon; Shikisai o motanai Tazaki Tsukuru to, Kare no Junrei no Toshi. Anda tahu, pokok pertama untuk menjadi kelas menengah adalah menguasai minimal satu bahasa asing.
Jika Anda langsung gagal di tahap pertama ini, mulailah berpikir untuk mengambil kursus. Sambil kursus, Anda boleh menunda membaca buku-buku yang Anda dapatkan di Kinokuniya, dahulukan membaca karya Muryakami yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia: Dengarlah Nyanyian Angin, Norwegian Wood, dan 1Q84.
Atau carilah terjemahan cerita pendeknya yang bertebaran di internet.
Sekarang Anda pasti akan langsung berpikir tentang TKI yang setidaknya menguasai satu bahasa, atau dua-tiga, tapi tidak serta merta menjadi kelas menengah. Di sinilah Murakami menjadi pembeda. Jika TKI yang ada di kepala Anda adalah mereka yang sering diberitakan disiksa majikan dan demonstrasi di berbagai KBRI dan KJRI atau yang bikin video balas-balasan “rumangsamu” di Youtube, Haruki jelas merupakan solusi.
Tapi cobalah sesekali menimbang Ainun Najib dan kawan-kawannya yang membuat kawalpemilu.org itu sebagai TKI, dan salahkan Kemnakertrans dan BNP2TKI atas kesalahpahaman ini. Apa saja yang telah dikerjakan Menteri Hanif Dhakiri dan Nusron Wahid?
Kembali ke Haruki.
Dalam karya-karya Murakami, Anda akan mendapati tokoh-tokoh hebat yang punya kemampuan tinggi sebagai seorang profesional, tapi cukup atau bahkan sangat berjarak dengan lingkungan sekitarnya, punya selera musik dan sastra yang keren, tapi seakan tercerabut dari akar-akar primordialnya. Pendeknya, manusia-manusia yang memodern. Kelas menengah banget.
Misalnya dalam Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage, Anda akan menemukan sosok kelas menengah dalam diri Tsukuru Sazaki. Tsukuru dengan segala masalahnya, keputusasaan, keterasingan, masa lalu, mimpi-mimpi gelap, dan masa depannya. Tsukuru, seperti protagonis Haruki di novel-novel lainnya, Hard-Boiled Wonderland; Dance Dance Dance; The Wind-Up Bird Chronicle; Sputnik Sweetheart; Norwegian Wood, adalah seorang pria yang ditinggalkan, atau kehilangan, orang(-orang) yang dicintainya dan tenggelam dalam ketidakmampuannya melupakan orang tersebut, tenggelam dalam rutinitas modern dalam pencarian siapa sesungguhnya dirinya dan apa yang mungkin ditawarkan oleh perasaan kehilangannya.
Sekilas mungkin tidak terdengar menarik. Biasa. Monoton sekali. Tapi sekali lagi ingatlah, Anda perlu mereguk sari pati kekelasmenengahan, dan Haruki tidak akan pernah mengecewakan jiwa-jiwa kelas menengah yang haus di seluruh penjuru dunia. Buktinya, buku-bukunya laris bak kacang rebus sampai ke pelosok-pelosok Afrika.
Dalam semesta Murakami, Anda akan menemukan dua jenis perempuan mengagumkan dengan caranya masing-masing. Tipe pertama adalah karakter yang tertutup dan punya hubungan serius dengan sang protagonis lalu meninggalkannya dan menyisakan kenangan yang selalu menghantui. Tipe kedua, yang biasanya datang belakangan, cenderung eksentrik, blak-blakan, dan terbuka dengan seks, dan protagonis berinteraksi dengannya dengan cara yang jauh lebih hangat dan lebih lucu daripada dengan yang pertama. Di sinilah istimewanya, Haruki selalu tahu cara menampilkan berbagai sisi hubungan seksual.
“Saya pikir seks adalah laku … semacam komitmen jiwa. Jika kehidupan seks Anda bagus, luka Anda akan sembuh, imajinasi akan segar,” kata Murakami dalam sesi wawancara dengan Paris Review.
Lalu humor. Meski tidak lucu-lucu amat, kadang-kadang gelap dan kadang-kadang garing, Anda akan menemui macam-macam kekikukan dan kecanggungan khas kelas menengah. Dari sana Anda bisa belajar tips dan trik menjalani kehidupan kelas menengah perkotaan yang konon ngehek.
“Saya ingin pembaca saya tertawa,” kata Haruki. “Beberapa mengirimi saya surat, komplain karena mereka tertawa ketika membaca buku saya di kereta! Mereka merasa malu. Saya suka surat-surat itu. Saya tahu mereka tertawa, membaca buku-buku saya; itu bagus. Saya senang membuat orang tertawa setiap sepuluh halaman.”
Walhasil, Haruki Murakami pantas dinobatkan sebagai Pak Nabi Kelas Menengah Sekalian Alam. Setelah melahap habis semua karyanya, minimal Anda akan berhenti mengoceh tentang agama di media sosial dan, sebagai gantinya, Anda akan mulai berkicau: “Sudah saatnya Haruki Murakami dikasih nobel!”
Artikel ini kali pertama tayang di Tirto.id.