Baca cerita sebelumnya di sini.
Kenapa Mojok malah memasang wajah Mamiek Prakoso yang dimirip-miripkan dengan Dea Anugrah ketimbang foto Bambang sebagai pengirim surat? Padahal kita tahu hubungan Dea dan Bambang kurang baik. Level pertemanan keduanya bukan lagi saling sindir atau ejek seperti kebiasaan kawan-kawan penulis, tetapi sudah ingin saling tikam.
Bayangkan begini: suatu malam, Bambang meluangkan waktu untuk menulis—mungkin baru selesai pada pagi hari—ia menulisnya dengan amat berhati-hati sebab tak ingin melukai siapa pun kecuali Dea. Ia mengirim tulisannya ke Mojok dan Mojok menerbitkannya dengan memasang ilustrasi wajah Dea, seolah semua yang tertulis di surat itu adalah ucapan dan pikiran Dea. Sebagai Manager Multimedia di tirto.id, aku tentu bisa memahami situasi di mana kau kesulitan membuat ilustrasi sementara kau dikejar tenggat, tetapi Bambang?
Sebelum diusir dari surga, wajah Lucifer dikatakan tampannya bukan main, kemudian sesuatu terjadi dan Allah mengubah wajah Lucifer menjadi mirip seekor penyu. Wajah Bambang, ia sendiri mengakui, lebih jelek dari seekor penyu. Sulit diilustrasikan. Meski begitu, bukan berarti Mojok boleh menggunakan wajah Dea sebagai ilustrasi—misalnya, Mojok kan bisa memakai wajah sapi atau kuda. Aku kira Bambang lebih suka disamakan dengan sapi atau kuda daripada disamakan dengan Dea Anugrah.
Dilihat dari sisi mana pun, kesalahan Mojok tak bisa dimaklumi. Jika esok Dea mati dengan usus terburai dan jari kelingking di tangan kanannya hilang, dan Bambang tak bisa ditemukan, kita bisa memidanakan Mojok atas tuduhan mendorong orang untuk menghilangkan nyawa orang lain atau tuduhan lain!
Kina, Sahabatku. Bahkan untuk menyampaikan hal kecil seperti ketidaksukaanmu terhadapku, kau mengandalkan Bambang. Kau, kan, tahu kebiasaan Bambang menggawat-gawatkan hal sepele. Mempekerjakan Bambang sebagai penyampai pesan malah mungkin berpotensi membuat kita saling benci. Padahal, kita sudah tahu sama tahu bahwa kita tidak bisa tidak dan tidak akan kehabisan bahan untuk saling membenci: kau dengan keyakinanmu bahwa fiksi harus bisa mengubah dunia ke arah lebih baik, sehingga kau mengambil posisi sebagai Juru Selamat atau juru bicara atau tukang ceramah atau tukang obat, sementara aku sejak awal sudah menyarankan kau lebih baik bikin jurnal Antropologi atau esai. Menurutku, itu lebih bisa mewujudkan perubahan yang kau idamkan ketimbang menulis fiksi.
Kau ingin mewakili suara mereka yang tak didengar, itu semangat yang bagus, sementara aku tak ingin membebani diri. Barangkali kita belajar dari orang yang sama, tetapi kemudian posisi yang kita ambil berbeda dan itulah penyebab utama, dalam waktu yang tak bisa ditentukan, apa pun yang kau buat tak akan ada di dalam palet warnaku dan sebaliknya. Sama saja. Aku akan tetap mengejek tulisanmu seperti Dea mengejek Bambang, seperti Bambang mengejek Laksmi Pamuntjak dan Sapardi. Sama saja.
Dalam perjalanan liburan kemarin, Dea menceritakan pengalamanmu mendorong motor sepanjang Jalan Raya Uluwatu. Motor Legenda yang kau beli untuk merasakan kemiskinan sekarang-sekarang jadi lebih sering menyusahkan. Cerita Dea membuatku terharu—ah, kau tahulah, aku bukan orang yang gampang terharu—dan membuatku berpikir begini: ketimbang mengejekmu, bukankah lebih baik memberi tip seputar otomotif? Kau tentu bisa mencarinya sendiri di mesin pencari tetapi, percayalah, inisiatif ini muncul dari relung pikiran yang jarang sekali kusinggahi.
Sebagai bukti ketulusan, aku tak akan mempekerjakan Bambang sebagai juru cerita—lagi pula aku tak ingin mengulang kesalahan Dea. Aku memang kurang ahli dalam dunia otomotif, meski begitu aku punya pengalaman melihat orang membongkar karburator. Dan ketulusanku seharusnya menjadi nilai lebih.
1. Berjongkoklah. Pabrik motor biasanya meletakkan karburator di bagian bawah, kecuali kau sudah memodifikasi dan memindahkannya.
Sambil berjongkok, sadarilah kau bukan satu-satunya orang yang merasa dirinya pewaris. Pemuda dan pemudi pengikut Muhammad, misalnya, gemar mengklaim bahwa merekalah pewaris Muhammad, melalui hubungan darah mau pun sekadar tabiat.
Kau senang mengoceh tentang mereka yang mengklaim pewaris Muhammad paling asli, mengomentari bagaimana mereka mencampuradukan hidup mereka yang nelangsa dengan apa yang kapitalisme lakukan terhadap mereka. Kau selalu bilang bahwa negara ini tak pernah memberi kesempatan kepada sosialisme—padahal kau tetap tak akan bisa menulis bagus sekalipun negaramu mempraktikkan sosialisme.
Saat berjongkok, renungilah ini: kau juga sama seperti mereka, menganggap dirimulah yang mewarisi keahlian AH, padahal setahi kuku pun tidak.
2. Temukan dan lepaskanlah filter udara. Pada umumnya, untuk mengakses karburator, kau perlu melepaskan filter udara. Lepaskan sekrup-sekrup yang menjaga filter udara dan coba pikirkan pertanyaanku: apakah method writing yang kau praktikan ada manfaatnya?
Kau pikir dengan melakukan bunuh diri kelas—melepas statusmu sebagai kelas menengah dan berbaur dengan orang miskin—bisa membuatmu menjadi mereka? Dan apakah dengan hidup bersama mereka selama, katakanlah, tiga sampai empat tahun, bisa membuatmu memahami bagaimana kemiskinan bekerja?
Kalau jawabannya tidak, bukankah sebaiknya kau berhenti menulis dan memikirkan pekerjaan lain? Atau, kalau kau belum menemukan jawabannya saat mencopot filter udara, kau bisa menyimpan pertanyaanku hingga ujung hari setelah kau, dengan tanpa izin, merekam segala percakapan di pemukiman miskin dan mengarsipnya sebagai bahan riset novelmu, setelah segalanya, dan yang kau jumpai cuma kesepian belaka, kau sudah tahu jawabannya.
Kau tak sedang melaksanakan apa yang AH ajarkan, kau juga tak sedang—meminjam istilahmu—bereksperimen dengan warisan AH. Kau cuma memikirkan dirimu dan semua proyek kapiranmu. Eh, sudah berhasil melepas filter udara? Mari masuk ke langkah selanjutnya.
3. Bukalah mangkuk karburator. Lepas seluruh baut pengait mangkuk, lalu periksa apakah ada kotoran yang mengendap atau pun menempel. Periksa juga ingatanmu, carilah seorang penyair bernama Rudi Rodom. Di balik pemujaannya yang berlebihan terhadap Orde Baru dan Soeharto, penyair sialan itu mewarisi semangat Rivai Apin.
Rudi pastilah tidak suka Lekra, tetapi coba ingat-ingat puisinya. Tidak seperti kau, ia tak perlu repot-repot mendaku ‘pewaris’ Rivai Apin. Chairil bernapas pendek dan menjadi besar, Asrul Sani bernapas lebih panjang dan menjadi besar, tetapi Rivai Apin yang menurut A. Teeuw ‘tidak-lebih-dari-gejala-pancaroba-yang-menarik-minat-sambil-lalu-saja’ ternyata menemukan jalannya.
Rudi Rodom jelas membawa gen estetis Rivai Apin dalam puisinya yang berjudul ‘Hentak dan Bebat’ atau ‘Goreng, Sekali Lagi’ yang fenomenal itu, sekali pun dalam identitas karya yang bertolak belakang, dan klaim sok tahu A. Teeuw gugur dengan sendirinya. Kalau cuma ‘gejala pancaroba’, Rivai mustahil punya pewaris.
Pertanyaan besar untukmu adalah apa perlunya mengaku-aku pewaris AH? Kau bisa memikirkannya sambil membersihkan mangkuk karburator, atau kau bisa menemui Rudi Rodom untuk meminta saran. Dea Anugrah, yang pernah dijotos Rudi, tentu masih menyimpan alamat Rudi.
4. Bersihkan pilot jet dan main jet. Jujur saja, aku tak tahu apakah cara membedakan kedua benda itu semudah membedakan ayam jantan dan betina. Namun, aku yakin kau cukup pintar untuk bisa membedakan keduanya.
Cara membersihkannya, menurut situs yang kubaca, cukup mudah. Kau bisa menyemprotnya dengan kompresor, dan kalau bekerja dengan angin kompresor tentu juga bekerja dengan cara meniup-niupnya meski kurang maksimal. Kau bisa meniup-niup dari pagi sampai sore, tetapi kalau kau punya waktu luang sebanyak itu, saranku, pikirkan baik-baik nasihat AH, yaitu…
5. Bawalah ke bengkel. Di dalam cerpen ‘Orang Durti’, si tokoh utama memaksakan diri membongkar motornya yang mogok di tepi jalan. Dengan pengetahuan terbatas, ia menghabiskan waktu dari jam makan siang hingga menjelang malam mencari tahu letak kesalahannya. Kemudian, dua Orang Durti memukul tengkuknya dan membawanya ke altar untuk dijadikan tumbal manusia.
Bengkel paling dekat atau paling jauh dari rumahmu, itu urusanmu. Di bengkel, biasanya, ada orang-orang yang lebih berbakat dalam urusan otomotif ketimbang kita berdua. Ada kalanya kita harus percaya bahwa kita tidak berbakat dan tidak memaksakan diri. Dan aku tak mau kau mampus di atas altar.
Dea memang rutin mengunjungimu dan Bambang sudi meluangkan waktu untuk mengobrol denganmu. Aku bukan tak ingin mengobrol denganmu, hanya saja kadang ada urusan-urusan yang lebih menarik untuk kulakukan. Terakhir kali kita bertemu bahkan kita sama-sama mengejek orang lain—aku bahkan masih bisa mengingat kegembiraan kita saat itu! Kau pun pasti menyadarinya: kita sama-sama berbakat di bidang itu, dan aku pikir bentuk dukungan yang paling masuk akal dariku buatmu dan darimu buatku adalah dengan menggunakan bakat yang kita miliki dengan sebaik-baiknya.
Semoga tip dariku berguna untuk kelangsungan hidup motormu.
Salam,
Sabda Armandio
Baca cerita berikutnya di sini.