MOJOK.CO – Seorang ibu tak sepenuhnya memasak untuk keluarganya, melainkan kadang untuk menghidupi kreativitas, kesenangan batin, dan jasmaninya sendiri. Dan bagi saya itu sangat romantis.
Dalam salatnya, ibu saya sering kepikiran soal dapur dan jemuran. Apalagi saat merasa lupa memberikan garam, mengecilkan api, atau tiba-tiba langit berubah mendung. Ibu mengakui kekhawatiran-kekhawatiran macam tempe gosong, gas tiba-tiba habis, atau jemuran yang kehujanan seringkali muncul. Waktunya pun tak dinyana-nyana. Kadang tak cuma saat salat tapi juga dalam tidur siangnya yang sebentar.
Ibu kerap bertanya pada Bapak sembari melipat mukena, “Aku lupa tadi kangkungnya sudah aku kasih Royco belum ya?” atau tiba-tiba mengungkapkan kekesalan pada saya atau Bapak yang tak kunjung membalik tempe yang sedang digoreng. Masih dengan kegiatannya melipat sajadah, “Lha beneran to? Sudah ditipipi nggoreng tempe kok ya ndak dibalik,” atau sekadar bertanya pada kami, “Pisang gorengnya sudah dibalik to? Sopnya sudah diaduk to?”
Saya bingung mengapa Ibu harus seserius itu dalam memasak? Kadang saya dan Bapak tak habis pikir juga apabila sehabis bekerja Ibu masih nekat membawa sekresek belanjaan untuk dimasak sebagai makan siang atau sore.
“Kenapa ndak beli saja, to?” Tak jarang pertanyaan itu kami utarakan. Biasanya Ibu cuma menjawab, “Ya ndak apa-apa to. Tunggu bentar, makannya agak nanti ya?” sembari berganti baju khas rumahan kemudian nyelonong ke dapur.
Namun kebiasaan itu tidak terjadi tiap hari. Kalau sudah di taraf kelelahan atau kemalasan yang memuncak, biasanya Ibu memilih membeli lauk seadanya di warung dekat rumah. Nah, kalau sudah keseringan begitu barulah saya dan Bapak mengeluh rindu masakan Ibu.
Ya walau kami tak menyatakan secara langsung, tapi Ibu sepertinya langsung tahu kode-kode kerinduan itu. Cuman ya Ibu kalau sudah ndak mau masak ya ndak mau, “Ya sudah, seadanya saja dulu.”
Wah, kalau sudah dijawab begitu, saya dan Bapak biasanya langsung kicep. Terpaksa melahap dengan nafsu yang dibuat-buat agar tidak ketahuan sedang tak berselera makan.
Tapi penolakan Ibu itu setidaknya membuat saya lega. Ternyata di dalam rumah tak ada atmosfer patriarkis. Ibu tak memasak atau melakukan pekerjaan rumah dengan batin tertekan dan monoton. Walaupun harus diakui, guratan di wajah dan tangannya tetap tak dapat menyembunyikan kelelahan.
Kembali soal makanan tadi. Entah selera kami yang sama atau memang kami yang terbiasa makan masakan Ibu sejak dulu kala, standar enak dan tidak enaknya makanan di luar selalu kami bandingkan dengan masakan Ibu.
Ya walau tidak semua masakan juga sih. Kadang saya dan Bapak yang rewel suka kasih kode ini juga sering membujuk makan di luar atau bungkus makanan dari warung yang kami cap enak juga. Akan tetapi kami kadang kami ewuh juga melihat Ibu tak memasak karena kemarinnya habis masak banyak, atau sehabis pulang kerja lalu bertanya “Pengen makan apa? Beli lauk saja ya?”
Aku dan Bapak iya-iya saja dan tak lupa membubuhkan kata “terserah”. Dan karena itu, kami jadi sering gagal makan karena tak ada yang berani—atau lebih tepatnya malas, saling bingung dan nggak enak untuk memutuskan mau makan apa. Sampai rasa lapar dan gengsi tak jarang membuat kami neng-nengan (diem-dieman) selama beberapa jam karena kata “terserah” itu tadi.
Marahan pun pernah, terutama saat kata “terserah” telanjur dilontarkan. Ibu memutuskan beli makanan di luar namun saya dan Bapak cuma memasang ekspresi datar. Biasanya Ibu langsung nyiyir semi marah-marah, “Udah dibeliin nanti ndak dimakan!” atau “Dibeliin capek-capek makan nggak dihabiskan!” dan setelah terjadi adu mulut sepele nan menggemaskan itu, biasanya perang dingin terjadi antara kami bertiga.
Dulu saya tak pernah berpikir soal makanan bisa bikin geger urusan rumah tangga. Rasanya kok tidak seperti yang di televisi-televisi itu ya—yang perlu kehadiran tetangga tukang gosip lah, orang ketiga lah, biaya sekolah anak lah atau mertua galak lah. Ternyata masalah dari perut bisa naik ke hati lalu ke mulut. Saya baru menyadari itu ketika menjalani kehidupan ngekos selama beberapa waktu. Jauh dari rumah dan merasakan kerinduan akan masakan Ibu.
Awalnya saya tak yakin soal masak-memasak itu krusial sekaligus romantis sampai di suatu waktu teman kantor bercerita soal ibunya yang marah. Memang tak sepenuhnya sama seperti cerita ibu saya tadi, tapi ada kemiripan.
Teman saya itu dimarahi ibunya karena membawa pulang lagi bekal yang dimasak ibunya sedari pagi. Memang hari itu kantor tengah mengadakan syukuran. Otomatis banyak makanan yang bisa diambil dengan porsi sepuasnya alias prasmanan. Setelah sadar bahwa kekenyangan, ia memutuskan tak memakan bekalnya. Dampaknya, teman saya itu seharian didiamkan Ibunya. Perang dingin terjadi. Esoknya ia tak dimasakkan pula.
Saya yang lumayan sering memasak di kos lama-lama mencoba memahami kemarahan macam itu. Salah satunya dengan cara menggeser alasan pragmatis (alias pengiritan) menjadi agak romantis. Setelah itu barulah bisa saya rasakan aktivitas makan, terutama memasak, yang ternyata begitu magis. Terlebih ketika masak masakan khas rumah di kos saya.
Ketika mulai menyalakan api, biasanya saya langsung teringat saat-saat membantu Ibu memasak di rumah. Saya yang ditugaskan menjaga proses penggorengan, tak jarang mendengar suara perut lapar Ibu saat memotong bawang atau sayur. Namun saat hidangan siap Ibu seringkali hanya mengambil sedikit porsi. Mengambilnya paling akhir pula.
Pokoknya Ibu akan ngambil setelah saya dan Bapak selesai mengambil nasi beserta lauk pauknya. Lalu setelah satu suapan biasanya Ibu bertanya pada kami bagaimana penilaian saya dan Bapak akan masakannya; “Ikannya keasinan ndak?”
Kami tahu itu bukan pertanyaan yang sebenarnya. Ibu hanya tengah mengarah pada satu tujuan: meminta jawaban apakah masakan yang telah ia buat enak atau tidak. Lalu kulihat senyum simpul yang sengaja ditahan oleh Ibu ketika saya atau Bapak memuji betapa enak betul masakannya.
Nyatanya memasak memang membuat rasa lapar menguap bersama asap minyak goreng atau rebusan ayam yang menjadi kaldu. Melihat sayur kangkung yang berubah warna menjadi hijau alum, bercampur dengan potongan cabai, bawang, kecap manis dan taburan garam di atas wajan pun menjadi keasyikan sendiri. Sembari berkonsentrasi agar tak kematangan biasanya pikiran mengelana ke mana-mana. Mulai dari urusan hati, bagaimana sayur mayur bisa sampai ke kulkas-kulkas hingga politik. Setidaknya memasak menciptakan ruang diskusi, obrolan serta renungan antara pemasak dan hasil karyanya.
Terlebih sambil mengingat-ingat teknik masakan yang dipraktekan Ibu. Cara mengaduknya, besar kecil apinya, sampai akhirnya menyendok sedikit kuah untuk memastikan masakan sudah pas secara kematangan dan rasa atau belum.
Sampai makanan siap disajikan, rasanya lapar tak begitu lagi terasa. Rasa kepuasan setelah memasak sudah jadi 50 persen sumber kekenyangan. Apalagi saat teman kos berkomentar atas harumnya aroma masakan. Lebih-lebih apabila mereka mau diajak makan bersama atau sampai minta diajari memasak.
Jadi saya rasa salah apabila menganggap seorang ibu memasak hanya untuk suami atau anaknya tanpa melihat betapa proses itu pantas untuk dinikmati juga. Saya pikir Ibu tak sepenuhnya memasak untuk saya dan Bapak, melainkan juga memasak untuk menghidupi kreativitas, kesenangan batin, dan jasmaninya sendiri.
Mungkin saja Ibu sampai kini juga memasak masih mengingat-ingat sembari membayangkan resep masakan Nenek. Sebagaimana saya memasak di kos-kosan sambil mengingat resep ibu saya. Dan menurut saya itu romantis.
Nostalgia hangatnya makan sembari bercanda bersama kakak, adik, dan kakek saat hidangan tersaji di ruang tengah. Atau memutar memori bersama masa kecil anaknya yang kini semakin besar, dewasa dan jauh. Begitu pula dengan saya, yang ternyata bisa menikmati aktivitas memasak meski belum menjadi ibu. Sembari mengingat kehidupan keluarga kecil saya dengan kehadiran seorang ibu yang sangat romantis.