“Hari inilah saya menjadi dan merasa paling Katalan. Saya sangat bangga pada orang-orang Katalunya setelah apa yang telah mereka lakukan tujuh tahun terakhir.” Pesepak bola Gerard Piqué lalu berhenti berkata-kata, punggung telunjuknya mengusap mata. Dengan suara bergetar ia melanjutkan.
“Tidak ada satu pun tindakan kekerasan (dilakukan orang Katalunya) dan Polisi Nasional dan Civil Guardia datang ke sini serta melakukan apa yang mereka telah mereka lakukan.
“Saya pikir saya akan tetap bersama timnas karena, saya pikir, ada banyak orang di Spanyol yang sangat menentang apa yang terjadi di Katalunya hari ini, orang-orang yang percaya sepenuhnya pada demokrasi. Tapi, saya tak akan bergabung dengan timnas jika pelatih atau pejabat di Federasi pikir saya menjadi masalah ataupun gangguan. Saya tak masalah jika harus mundur dan meninggalkan timnas sebelum (Piala Dunia) 2018.”
Pernyataan yang emosional itu disampaikan pemain tim FC Barcelona tersebut pada 1 Oktober 2017, hari yang sama ketika provinsi itu menggelar pemungutan suara untuk menentukan apakah mereka akan merdeka atau tetap bersama Spanyol. Barcelona adalah ibu kota Katalunya.
Pemungutan itu direspons pemerintah Spanyol dengan menurunkan ribuan polisi guna menghalangi warga mengikuti voting. 750 orang terluka karena pemukulan yang dilakukan polisi.
Hasil dari voting tersebut, 92,01% dari 2,3 juta peserta voting menyatakan ingin merdeka. Saat ini Katalunya dihuni oleh 7,5 juta penduduk, di mana 5,4 jutanya memiliki hak pilih.
Pemerintah di Madrid merespons voting ini dengan memboikot pemerintah otonomi provinsi tersebut per Jumat, 27 Oktober. Perdana Menteri Mariano Rajoy juga mencopot sejumlah pejabat pemerintahannya.
Di hari yang sama, parlemen Katalunya mengadakan voting untuk memilih apakah mereka akan mendeklarasikan kemerdekaan atau tidak. Hasilnya, 70 dari 82 suara menyatakan iya untuk deklarasi. Hari itu pula mereka mengumumkan lahirnya Republik Katalan, nama resmi yang mereka pilih.
Di mata Spanyol, aksi di provinsi itu dianggap sebagai aksi segelintir orang yang mengklaim memiliki daerah tersebut. Sedangkan bagi pemerintah Katalunya, Spanyol adalah penjajah yang menghalangi mereka menentukan nasib bangsa mereka sendiri.
Ada beberapa alasan mengapa wilayah ini ngotot lepas dari Spanyol. Selain bahwa mereka memiliki bahasa, adat, dan perekonomian sendiri, orang Katalan tidak pernah bergabung dengan Spanyol secara sukarela. Menjelang Perang Sipil Spanyol, pada 1931 wilayah ini pernah menyatakan diri merdeka dari Kerajaan Spanyol, tetapi rezim fasis di bawah Jenderal Franco kemudian menganeksasi Katalunya pada 1938.
Pada 1977, dua tahun setelah Franco wafat, wilayah ini diberi status sebagai provinsi otonomi. Bahkan pada 2006, Statuta 2006 Spanyol mengakuinya sebagai bangsa.
Statuta itu kemudian direvisi oleh MK Spanyol pada 2010 dengan memangkas sejumlah keleluasaan Katalunya. Sejak itu, sentimen untuk merdeka menguat di Katalunya.
Voting atau referendum kemerdekaan orang Katalan 1 Oktober lalu adalah yang kedua. 2014 lalu referendum serupa pernah digelar dengan hasil 80% dari 2 juta pemilih menyatakan ya untuk merdeka. Namun, hasil itu dianulir oleh pemerintah Spanyol.
Dengan adanya dualisme pendapat antara Spanyol dan Katalunya, bagaimana status wilayah itu kini masih terombang-ambing. Bisa jadi salah satu penguat status merdeka Katalunya adalah pengakuan kedaulatan dari negara lain, tetapi hingga saat ini belum ada kabar adanya negara yang mendukung kemerdekaan wilayah ini.
Indonesia sendiri via Menlu Retno Marsudi di hari peringatan Sumpah Pemuda kemarin menyatakan bahwa Indonesia tidak mengakui kemerdekaan Katalunya.
Bagaimana respons orang Indonesia? Menurut spekulasi Mojok Institute, kemungkinan besar fans Real Madrid akan mendukung kemerdekaan Katalunya karena akan mengurangi satu saingan berat di La Liga. Selain itu, para pemasang Spanyol di bursa taruhan Piala Dunia tahun depan jelas akan menurun drastis jika pemain-pemain Katalan cabut dari timnas Spanyol.