MOJOK.CO – Tadinya kukira, tinggal di asrama mahasiswa akan membuatku terbebas dari cerita-cerita aneh yang mengerikan.
Semuanya bermula dari dari perjalananku merantau ke Kota Pelajar. Aku, yang merupakan mahasiswi baru dari sebuah kota di luar Pulau Jawa, langsung dikirimkan ayah dan ibu ke asrama mahasiswa khusus dari Kota X—kota asalku. Tapi, aku tidak menduga sama sekali bahwa asrama mahasiswa (punyaku yang khusus perempuan, tentu saja) yang dimaksud akan jadi sesepi ini. Yah, bagaimana tidak: dari 30-an kamar yang tersedia, hanya 4 kamar saja yang terisi—itu pun di lantai bawah!
Selain itu, kukira, tinggal di asrama mahasiswa juga akan terbebas dari cerita-cerita aneh yang mengerikan. Pasalnya, setiap tahun semestinya asrama ini tidak pernah kosong dihuni mahasiswa-mahasiswa sebelum aku. Tapi rasa-rasanya, aku perlu menerima kenyataan bahwa 26 kamar yang kosong di sini bukanlah jaminan atas dugaanku sebelumnya.
Kejadian aneh pertama yang aku alami berlangsung hampir tengah malam. Ya, FYI, aku memang sering pulang terlalu larut karena keperluan kuliah. Biasanya, paling awal, aku akan masuk ke kamar pukul 11 malam, lalu bersiap-siap mencuci pakaian sebentar di tempat khusus yang disediakan untuk mencuci baju. Letaknya ada di luar kamar, dekat aula tempat menjemur serta kamar mandi umum.
Malam itu, dua di antara 4 orang di asrama sedang pergi dan tidak tidur di sana. Hanya ada aku dan kawanku satu lagi—sebut saja namanya Farah—di sana. Selagi aku mencuci pakaian, Farah berada di kamarnya. Mungkin menonton televisi sampai mengantuk.
Di kucekan bajuku yang kelima, waktu menunjukkan masuk tengah malam. Mendadak aku sedikit ngeri karena tiba-tiba teringat seseorang memperingatkanku bahwa ‘penunggu’ di asrama ini tidak terlalu suka kalau ada kegiatan yang berlangsung sampai tengah malam. Tapi, karena aku memerlukan pakaian bersih, tentu saja aku harus mencuci!
Tiba-tiba, dari arah kamar mandi di dalam aula tempat menjemur, suara air mengalir keras sekali terdengar: kerannya terbuka!
Aku sontak terperanjat, lalu lari ke kamar Farah. Sedikit ngos-ngosan, aku bilang, “Ada siapa selain kita?” yang dijawab dengan, “Cuma kita berdua aja di sini, kenapa Mbak?”
Farah yang sedikit lebih berani dariku mulai tertarik mendengar ceritaku soal keran air yang tiba-tiba terbuka. Kami berdua pergi menuju arah kamar mandi di dalam aula. Letaknya memang agak ke dalam dan jarang digunakan—itulah yang membuat suasana berubah ngeri mendadak.
Baru saja kaki kami memasuki aula, sesuatu yang lebih mengerikan terdengar: suara air itu mendadak tak lagi terdengar mengalir, lengkap dengan suara keran diputar keras-keras!
“Kriett… kriett…”
Aku dan Farah langsung masuk ke kamar tanpa ba-bi-bu. Ketakutan kami malam itu diikuti penjelasan bapak penjaga asrama keesokan harinya, “Sudah biasa. Dia sepertinya hanya ingin berkenalan dengan kalian. Kadang-kadang saja saya harus meninggalkan kamar mandi itu dengan keadaan gayung terisi air. Kalau tidak, mungkin kalian akan mendengar suara gebyar-gebyur.”
Duh, Pak!
Kupikir, kengerian ini hanya ada di asrama perempuan. Tapi suatu hari, saat aku berkunjung ke asrama khusus laki-laki, aku baru tahu hal yang sama juga berlangsung di sana.
Kala itu, kami sedang berkumpul—pemuda dan pemudi dari Kota X—di ruang tengah sambil bercengkrama. Lalu, aku yang gerah melihat kukuku panjang-panjang, bermaksud mencari gunting kuku. Semua orang di ruangan itu tak ada yang bisa meminjamiku, sampai ada yang berkata, “Bang Ogi punya, tuh, tapi dia lagi tidur. Ambil aja di kamarnya, biasanya ditaruh di meja dekat pintu.”
Bang Ogi adalah sahabat kami semua. Karena sudah akrab dan dekat, aku juga sudah hafal letak kamarnya dan tidak canggung untuk sedikit mengintip ke dalam melalui pintu yang celahnya memang terbuka. Itu dia, batinku saat melihat sebuah gunting kuku teronggok di atas meja. Dengan perlahan, aku mengambilnya sambil berkata pelan, “Pinjem dulu, ya, Bang.”
Saat itu, aku melihat benar bahwa Bang Ogi sedang tertidur. Di sebelahnya, seorang anak kecil juga tampak terlelap. Wah, aku baru tahu kalau Bang Ogi sedang kedatangan saudaranya. Mungkin saja, anak kecil itu sepupu atau adiknya, ya?
Lima belas menit setelah itu, Bang Ogi bangun dan bergabung bersama kami. Dengan santai, kukembalikan gunting kuku padanya sambil berterima kasih.
“Nih, Bang, tadi aku pinjam gunting kuku. Makasih, ya! Eh, kok sendirian? Adikmu mana, Bang?”
Bang Ogi tampak keheranan, “Adik? Aku nggak punya adik.”
“Oh, maksudku sepupu. Atau keponakan? Atau—yah siapalah itu tadi yang tidur bareng Bang Ogi di kamar.”
Sedikit kebingungan, Bang Ogi memandang mataku dalam-dalam, “Gi-gimana? Eh, kamu jangan bikin Abang takut, lah!”
Kali ini giliranku yang merasa takut, “Ih, tadi itu pas aku masuk ke kamar Bang Ogi, ada anak kecil tidur di sebelah Abang. Beneran!”
Bang Ogi pucat. Teman-teman satu ruangan terlihat sama kagetnya. Ternyata, di asrama khusus laki-laki itu, sesosok anak kecil memang sering kali muncul dan kadang mengganggu. Astaga! (A/K)