MOJOK.CO – Di acara pentas seni kelas senior, kami memilih mengadakan rumah hantu. Siapa sangka, kami malah ditegur oleh penunggu kelas yang berkeberatan!
Ini kisah Amel yang terjadi hampir 10 tahun yang lalu, saat ia masih duduk di bangku kelas 9 SMP. Sebagai murid di tahun terakhir, Amel dan seluruh anak kelas 9 harus bersiap menyambut pentas seni kelas senior di bulan Agustus, sekaligus merayakan ulang tahun SMP-nya.
Semua kelas diberi kebebasan untuk membuka usaha—ada yang memilih berjualan bakso, roti isi, atau mengadakan atraksi menarik seperti pembacaan kartu tarot. Kelas Amel, sementara itu, mencoba melakukan hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya: membuka rumah hantu.
“Yakin, nih? Siapa yang mau jadi hantunya?”
Anak-anak perempuan bergidik ngeri dan menggelengkan kepala cepat-cepat. Jelas, mereka tak mau dipilih menjadi hantu bohong-bohongan.
“Aku, Miftah, Ridho, dan Andre bisa saja jadi hantu. Tapi mungkin lebih seru kalau kamu juga ikutan, Mel. Hitung-hitung, sebagai pengusul utama. Hehe.”
Amel menghela napas. Kebiasaan, batinnya. Mentang-mentang dia menjabat sebagai ketua kelas, teman-temannya sering kali melimpahkan beban padanya. Ia mengakui bahwa dirinya yang pertama mencetuskan ide rumah hantu, tapi itu kan karena ia terinspirasi pentas seni kakaknya di SMA yang mengadakan rumah hantu. Lagian, seluruh temannya setuju—jadi kenapa hanya dia yang harus bertanggung jawab?
“Dina juga kayaknya cocok,” celetuk Miftah tiba-tiba. Yang dimaksud oleh Miftah adalah gadis pendiam yang selalu duduk di kursi baris keempat dari depan dan tidak punya teman satu meja. Dina adalah teman Amel yang berambut panjang dan super pendiam.
“Kamu mau, Din?” tanya Amel, berusaha tetap kalem meski ia sendiri sesungguhnya takut kalau disuruh menjadi hantu.
Dina hanya senyum-senyum saja, mungkin terlalu malu untuk menolak, tapi tidak ingin juga melewatkan kesempatan untuk di-notice teman-teman.
“Din?” desak Amel. Dina akhirnya mengangguk. Seluruh kelas bertepuk tangan.
Lalu, dimulailah hari-hari persiapan rumah hantu. Amel mencari rekaman suara horor yang mengerikan untuk dipakai sebagai backsound. Beberapa orang datang ke kelas dengan berkarung-karung daun kering untuk ditebarkan di lantai demi menguatkan citra si rumah hantu. Kain-kain hitam direntangkan untuk membentuk jalur masuk hingga keluar pengunjung. Cat asturo telah dibeli untuk merias wajah para calon hantu-hantuan nantinya.
Malam itu pun tiba—malam gladi resik pentas seni kelas senior. Selain acara khusus tiap kelas, seluruh siswa memang wajib mengirimkan perwakilan untuk maju ke atas panggung, baik untuk dance, band, maupun penampilan akustik. Jadi, sembari menyelesaikan persiapan acara kelas, beberapa siswa juga menunggu giliran untuk naik ke atas panggung.
Selepas waktu magrib, Amel dikejutkan dengan gerombolan teman sekelasnya yang pucat pasi.
“Mel, gawat.”
“Kenapa?”
“Sepertinya ada yang keberatan sama rumah hantu kita.”
Kelas Amel berencana menjual permen lolipop di pentas seni besok dan seluruh permen ini disimpan di dalam kelas yang sudah selesai dengan persiapan rumah hantu. Mengejutkannya, malam itu, permen-permen lolipop ini tampak meleleh, seolah-olah baru saja dijilat oleh seseorang—atau sesuatu—secara berlebihan. Amel mengira ini ulah cuaca, tapi malam itu dingin sekali dan makanan serupa di meja seluruhnya tampak baik-baik saja.
Adalah Firda, adik kelas Amel yang kemudian datang ke kelas mereka. Konon, Firda bisa berkomunikasi dengan makhluk-makhluk yang tak tampak, termasuk apa-apa saja yang menunggui kelas Amel dan teman-temannya. Cukup lama Firda berada di kelas dengan pintu tertutup, hingga akhirnya ia keluar dan tampak sedikit cemas.
“Setidaknya ada tiga,” ujar Firda, “ada tiga penjaga kelas kalian yang keberatan. Badannya besar-besar sekali dan mereka jelas marah karena menurut mereka rumah hantu adalah lelucon yang tidak lucu.”
Amel dan teman-temannya diam.
“Mereka tidak ingin ini dilanjutkan.”
Kelas Amel kalang kabut. Pentas seni hanya tinggal besok pagi dan mereka harus mengubah konsep? Yang benar saja!
“Apa tidak bisa dinego?” kata Amel, pasrah.
Firda mengangkat bahu, tapi sebentar kemudian ia kembali masuk ke kelas. Tak berapa lama, ia kembali lagi.
“Mereka bersedia, tapi dengan syarat tertentu.”
Amel dan teman-temannya diminta menggeser jalur pengunjung di rumah hantu. Rupanya, penunggu kelas mereka tak suka jika area tempat mereka berdiam harus dilewati manusia yang ditakut-takuti hantu bohongan nantinya. Semua siswa yang masih punya nyali malam itu pun bergotong royong mengatur ulang posisi kain hitam sambil berdoa dalam hati agar tak diganggu yang tak tampak mata.
“Dan,” tambah Firda, “mereka minta ditandai dengan sesuatu agar kalian tak masuk ke area mereka selama rumah hantu berlangsung.”
Diberikanlah kemudian tiga pot bunga di tiga titik terpisah dalam kelas Amel. Seluruhnya dilakukan hati-hati agar tak menyinggung siapa pun dan apa pun yang ada di sana. Rumah hantu pentas seni belum mulai, tapi horor jelas sudah terasa.
“Sudah,” kata Firda, “Itu saja pinta mereka.”
Rumah hantu di pentas seni kelas senior itu tetap berjalan akhirnya. Namun, Amel batal menjadi hantu-hantuan. Nyalinya terlalu kecil setelah tahu bahwa penunggu kelas akan mengawasinya sepanjang hari, sementara ia berpura-pura menjadi pocong, kuntilanak, suster ngesot, atau apa pun peran yang bakal diberikan teman-temannya.
“Dina, nggak apa-apa tetap jadi kuntilanak?” tanya Miftah di pagi hari sebelum pentas seni dibuka untuk umum.
Dina diam saja dan menunduk, seperti biasa. Tatapan matanya kosong, tapi senyumnya lebar sekali.
Ah, kami lupa memberi tahu Dina karena semalam ia tidak datang ke gladi resik, batin Miftah. Dari tadi, Dina duduk diam di pojokan kelas, sementara seluruh temannya menunggu di luar kelas. Sialnya, Dina duduk tepat di sebelah pot bunga yang semalam sudah diatur karena permintaan penunggu kelas. (A/K)