Beberapa hari ini, bermacam-macam cara, teknik, dan teori parenting berseliweran di linimasa medsos saya lengkap dengan plus-minusnya. Maklumlah, kebanyakan friendlist saya memang sepantaran dengan saya yang notabene masih Mahmud Abas (Mamah Muda Anak Baru Satu). Bisa dibilang masih galau-galaunya mencari jati diri sebagai ibu yang sejati.
Berbagai teori parenting dari sisi psikologi, agama, adat, kebiasaan, semuanya diulas tuntas, lengkap dengan seminar dan workshopnya. Ajaibnya, para Emak-emak ini suka sekali menonjolkan praktek parentingnya dan menganggap bahwa teori parenting yang lain enggak oke bagi dia. Walhasil, jadinya seringkali muncul komentar-komentar pedas yang baper hingga pada akhirnya perang status di sosial media mirip perang Baratayudha.
Ada lagi, Emak-emak yang langsung hopeless gegara anaknya nggak seperti anak emak yang lainnya.
“Saya udah nerapin teori parenting yang sama, tapi kok si Dedek tetep aja tantrum ya, padahal Bu ‘B’ berhasil lho…”
“Wah, Ibu mesti enggak sabar, mesti enggak bla bla bla…”
Dan sang Emak hanya tertunduk. Merasa gagal lah dia. Itu hanya sebagian kecil dari masalah anak, tantrum. Belum lagi seabrek masalah lainnya.
Kadang saya heran juga, hebat juga Emak-emak jaman dulu. Belum banyak teori parenting, seminar, workshop seperti jaman sekarang. Tapi tak sedikit yang berhasil mengantarkan anaknya ke gerbang kesuksesan, padahal anak tak hanya satu, tetapi banyak jumlahnya.
Hingga kemudian, muncullah primadona baru bagi Emak-emak muda, yaitu sosok ibu dengan anak tiga, empat, atau bahkan lima, tanpa satu pun pembantu rumah tangga, dan tetap mampu mengurus anak-anaknya dengan lincah dan luar biasa. Ia dielu-elukan, dijadikan role model, diikuti setiap postingan, video, dan seminarnya. Padahal bagi wanita jaman dulu hal itu sudah sangat biasa.
Emak saya sendiri kadang hanya tertawa ketika saya menegur beliau yang mengucapkan kata “jangan” ke anak saya yang tak lain adalah cucunya sendiri dan memberi alternatif kata larangan yang lain. “Di teori yang saya baca nggak boleh gitu Ma, nanti anak jadi nggak kreatif.” Tapi nyatanya, idealisme itu berubah ketika pelajaran Bahasa Indonesia yang akan anak dapatkan di pendidikan SD mendatang yang mengajarkan kalimat larangan efektif dan efisien dengan kata “Jangan!!”. Ternyata baru saya sadari, yang utama adalah konsep melarangnya mau pakai kata “no, tidak, wait, jangan, yes…” tapi jika diucapkan dengan nada tinggi sembari menggelengkan kepala, tetap saja melarang anak.
Atau di lain waktu saya juga menegur lagi ketika emak saya memukul batu yang membuat anak saya tersandung dan terjatuh. “Jangan gitu Ma, kata teori parenting yang saya baca, sikap seperti itu bisa menyebabkan anak punya sifat displacement, menyalahkan orang lain atau keadaan jika suatu hari ada masalah.”
Entah benar tidaknya teori itu. Kadang saya hanya berasumsi, jika teori ini mungkin sesuai dengan apa yang terjadi pada bangsa Indonesia saat ini yang ketika miskin, jatuh, bingung, pusing, selalu berteriak #SemuaSalahJokowi. Apapun yang terjadi, semua salah Pak Jokowi.
Lagi-lagi emak saya tertawa “semoga istiqomah ya,” sambil berlalu membawa gagang sapu. Saya sendiri hanya melongo, apa yang salah?
Hingga suatu hari, semuanya terjawab ketika emak saya memergoki saya yang marah-marah gegara enggak sabar ngadepin anak tantrum. “Sudah baca teori parenting belum? Bagaimana bisa ngajari anak untuk nggak tantrum, kalau emaknya nggak belajar anger management!” Hiks… Bener juga
Sing semeleh, ngurusi bocah ora mung setaun rong taun, (yang sabar, mengurus anak tak cuma setahun dua tahun) Tapi hingga akhir hayat nanti.
Ya, untuk saya dan para Emak-emak muda lainnya mungkin akan tetap belajar menjadi ibu sejati, tetapi bukankah butuh banyak energi? Jangan dihabiskan untuk saat ini hanya untuk memperdebatkan teori mana yang paling sesuai, memaksakan penerapan ke anak tapi tak menikmatinya, menjejali anak dengan kurikulum yang tiada duanya. Mungkin tak ada salahnya kita selalu ingat wajah polos sang anak ketika tertidur lelap yang seolah-olah berkata:
“Emak, jangan galau, jangan pusing, dikeloni emak saja aku udah bahagia.”