MOJOK.CO – UAS mengakui tak bisa membela Anies Baswedan di medsos. Alasannya karena blio sendiri sudah babak belur di medsos dari netizen.
Harus diakui, di antara banyak pengajian Gus Baha’ yang selalu saya tonton bersama keluarga, saya tak jarang pula mendengar ceramah-ceramah Ustaz Abdul Somad (UAS). Beberapa teman sering menegur saya gara-gara kelakuan random saya yang begitu.
Mereka bilang kalau Ustaz Abdul Somad begitulah, beginilah, sering menyinggung lah, dan lain sebagainya. Seolah-olah ada jurang pemisah dari orang yang mendengarkan pengajian Gus Baha’ dengan mereka yang mendengarkan ceramah UAS.
Teguran yang mengindikasikan seolah keduanya kayak benar-benar nggak ada kesamaan frekuensi babar blas. Puadahal, keduanya sama-sama ada ilmunya kalau kita nggak suudzon duluan. Soal standar bagusnya gimana, ya itu kan tergantung selera.
Macam ada yang favorit makan bakso, ada yang favorit mie ayam. Kita nggak berhak melarang orang menyukai seleranya. Tak setuju boleh saja, tapi kalau memaksakan selera kok rasanya arogan sekali.
Di balik segala kontroversi yang kerap muncul (dari orang-orang yang tak setuju dengan ceramahnya), UAS tetap saja merupakan fenomena penceramah kondyang yang menarik, renyah, menggelitik, dan kadang memberi informasi baru.
Makanya, ketika baru-baru ini, UAS mengaku kalau tak bisa membela Anies Baswedan—karena blio sendiri sudah babak belur kena bully dari netizen—tak sedikit netizen yang bersorak bangga. Puas. Merasa bully-an yang dilakukan tepat sasaran, karena menjadi perhatian.
“Saya mohon maaf Pak Gubernur, saya nggak bisa bela di sosmed, karena saya pun babak belur juga,” kata Ustaz Abdul Somad ke Anies Baswedan ketika lawatan peresmian renovasi Masjid Cut Nyak Dien.
Bully terbaru barangkali terkait dengan pernyataan UAS soal virus corona—yang disebut blio merupakan azab dari Allah. MOJOK sendiri sampai memuat tulisan yang mengkritik UAS soal ini—meski lebih banyak jamaah blio yang memandang bahwa tulisan itu termasuk bully-an ketimbang kritik. Ini belum dengan perkara salib dan kasus-kasus sebelumnya.
Oke, banyak hal yang tak saya setujui dari UAS, tapi bukan berarti saya jadi benci sama blio. Ya tak setuju tak mengapa dong, tapi kalau sampai kemudian jadi benci dan tak mau mendengar petuah-petuahnya yang benar-benar bagus, kenapa tidak?
Bukankah hudzil hikmah walau kharajat min dubur ad-dajaj?
Soal mengenai permintaan maaf UAS ke Anies karena ngaku nggak bisa belain, saya rasa blio sudah tepat—dan memang sudah seharusnya di posisi itu. Bagaimanapun, Anies adalah pejabat publik, sedangan UAS adalah pemuka agama.
Ya gimana ya, kalau sampai muncul pembelaan UAS kepada Anies, blio malah terlihat seperti seorang pemuka agama mau merelakan diri untuk mau ubek-ubek ke dunia politik lagi.
Jangan sampai dukungan terbuka untuk capres Prabowo pada tahun kemarin kembali dilakukan. Itu merusak “pasar” sampeyan sendiri lho, Taz. Maksud saya, ya kalau ada preferensi politik monggo-monggo aja, tapi ya nggak perlu diumbar-umbar segala kan?
Lagian, sepanjang yang saya tahu, segala serangan ke UAS dari jalur politik juga sudah mereda. Ya tentu saja “serangan” yang hadir baru-baru ini juga tak lepas dari residu-residu politik Pilpres kemarin. Namun dengan munculnya rekonsiliasi Prabowo dengan Jokowi, serangan ke UAS belakangan ini kebanyakan murni urusan ceramah blio semata.
Lagian, posisi Anies sekarang yang kena hajar sana-sini juga karena urusan peforma. Dipikir pakai logika paling goblok juga wajar kalau ada pihak yang marah jika anggaran soal banjir malah dipangkas untuk sesuatu yang tak perlu-perlu amat (bahkan anggaran untuk rencana Formula E aja lebih gede). Padahal, dengan anggaran yang normal saja tak ada jaminan banjir Jakarta bisa benar-benar teratasi.
Belum dengan pengurangan pasukan oranye dan pasukan biru. Dengan adanya anggaran normal dan pasukan kebersihan DKI Jakarta saja, banjir di era Ahok tetap aja melanda kok, apalagi tahun ini yang curah hujan makin tinggi?
Pantas saja Anies kena kritik sana-sini soal banjir, dan pembelaan terhadapnya karena alasan pendukung Ahok belum bisa move on lebih terlihat seperti menututup-tutupi masalah yang sebenarnya.
Kalau toh, tudingan itu benar adanya (dimanfaatkan oleh Jokower dan Ahoker untuk nyerang Anies), ya jangan kasih kesempatan kena hajar selebar itu dong? Beri program-program yang realistis dan antisipatif juga lah.
Soalnya, apa yang dilakukan Anies ini malah kayak petinju yang menyodorkan pipi kiri dan kanannya untuk kena hajar lawan politiknya di arena terbuka. Ya wajar kalau babak belur.
Di sisi lain, kalau UAS memang benar-benar peduli dengan Anies, ada baiknya jangan sekadar bilang minta maaf nggak bisa belain di medsos karena babak belur juga, ya hambok kasih tahu dong, Taz, Pak Anies itu. Ada yang nggak beres nih di Jakarta, kasih masukan agar dibenerin juga gitu, Taz.
Jangan garcep dan reaktif begitu ada masalah, tapi antisipasinya minim. Kan katanya Pak Anies mau dijagokan buat Pilpres 2024 besok. Ya makanya, citranya jangan dibaik-baikin lewat kata-kata aja, tapi lewat peforma juga. Jadi orang mau milih Pak Anies di 2024 besok bisa santai nggak kena sentilan karena urusan dogma agama doang.
Lagian, kritik dari njenengan ke Pak Anies itu bakal menganfirmasi wejangan yang selalu kita dengar, Taz. Kalau ulama memang baiknya sedikit berjarak dengan umara. Iya kan, Taz?
BACA JUGA Banjir, Macet, dan Desa Raksasa Bernama Jakarta atau tulisan rubrik POJOKAN lainnya.