MOJOK.CO – Razia buku di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu kemarin (3/8) kami sesalkan sekali tapi apalah arti penyesalan tanpa tindak lanjut.
Kami dan Anda-Anda pencinta buku dan kebebasan berpikir bisa saja mengutuk sekelompok orang yang mendaku sebagai Brigade Muslim Indonesia. Rubrik Bahasa Versus di Mojok mampu kok membedah arti kata brigade sebagai istilah spesifik ketentaraan. Namun, ulasan itu tak memberi sumbangsih untuk mengatasi hobi lama razia buku yang walau sudah jelas melanggar hukum, negara tetap saja diem-diem bae.
Razia yang dilakukan warga sipil di Makassar pas seminggu berselang dari razia buku oleh polisi di Probolinggo. Dua peristiwa ini dan peristiwa razia-razia buku sebelum-sebelumnya sama saja. Dilakukan oleh kelompok-pembaca-judul-bukan-isi dan selalu menyasar buku-buku Kiri.
Parameter mereka juga nggak jauh-jauh dari buku yang mengandung kata kunci Karl Marx, Lenin, Marxisme, Leninisme, Sosialisme, atau Komunisme. Pokoknya yang isme-isme. Kami curiga sih mereka memang paranoid dengan isme. Mungkin kalau disodorin kata pan-islamisme atau pan-arabisme, mereka juga bakal horror duluan: Benda apa nich? Bisa jadi ya, Bunda, itulah kenapa pengacara FPI Sugito Atmo Prawiro memakai istilah khilafah modern padahal mah pas dijelasin, konsepnya sama aja dengan pan-islamisme.
Selain menilai judul, ilustrasi kover juga jadi patokan tukang sweeping buku. Buku-buku yang memuat foto Karl Marx, Aidit, dan tokoh-tokoh Kiri lainnya bagi mereka jelas bukan buku yang bersih lingkungan. Eh, masih pada tahu istilah ini nggak sih?
Razia buku sudah sampai di taraf meresahkan ketika negara cuma jadi penonton. Presiden Joko Widodo sering bagi-bagi buku, tapi memilih nonton Didi Kempot ketimbang menyatakan sikap ketika buku dirampas sewenang-wenang.
Emha Ainun Najib alias Cak Nun pernah berkata, “Teruslah bekerja, jangan berharap pada negara.” Kita bisa pakai kredo ini untuk melawan razia buku dari orang-orang tolol. Jadi inilah persembahan kami: cara menghindari razia buku yang efektif dan bisa dipraktikkan siapa saja.
1. Mengganti diksi
Ini usulan brilian yang dikemukakan oleh Ahmad Taufiq R lewat status Facebook-nya.
Ada buku yang masih berkali-kali dirazia meskipun orang-orang sudah berkali-kali juga menjelaskan bahwa isinya tidak sesuai bayangan perazia. Buku itu berjudul Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Franz Magnis-Suseno.
Buku ini sebenarnya menentang pemikiran Karl Marx. Pun Romo Magnis itu antikomunis. Para penjual buku tentu kesal, buku yang nggak Kiri sama sekali ini kok jadi korban salah sasaran terus. Saran kami, ganti saja judulnya menjadi Pemikiran Kakek Berjanggut dari Jerman: Dari Masyarakat Sejahtera-Tapi-Nggak-Mungkin-Diwujudkan ke Perdebatan-Revisionisme. Lalu, ganti ilustrasi kover bukunya yang semula bergambar Karl Marx menjadi gambar lansekap kota Trier. Asoy, buku ini sekilas jadi kayak novel terjemahan.
Ide ini bisa dipraktikan di buku-buku dengan judul yang mengandung kata Marxisme, misalnya. Ganti saja kata itu dengan “sistem sosial dan ekonomi yang ditandai dengan kepemilikan Sosial dari alat-alat produksi dan manajemen mandiri pekerja”. Maka, jadilah buku kuliah bisnis yang pasti dianggap membosankan.
Buku babon ekonomi karangan Karl Marx yang terkenal banget sekaligus paling jarang dibaca itu, Das Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik juga bisa diubah menjadi Kapital: Cara Menjadi Pengusaha Kaya dalam Waktu Singkat seperti yang pernah diulas dalam tulisan Andi Achdian ini.
Selain akan terhindar dari razia buku, buku Kapital: Cara Menjadi Pengusaha Kaya dalam Waktu Singkat pasti akan laris. Judul ini sangat sesuai dengan selera dan minat orang Indonesia.
2. Swasensor kover
Di atas udah dijelasin lah ya, betapa murninya kebodohan orang yang menilai satu buku Kiri atau tidak hanya lewat kover. Buku Mira W. tuh kovernya gambar bunga doang, apa ya artinya itu buku tentang cara menanam anggrek?
Kita tahu itu bodoh, tapi yang melakukan nggak tahu. Ya sudah deh, saya langsung kasih tips aja buat pelapak buku biar nggak kena razia buku.
Pertama, siapkan kertas penyampul buku berwarna cokelat dengan motif batik. Merek Boxy atau Kiky lebih disukai. Nah, langkah kedua, buku-buku yang memuat foto Karl Marx, Lenin, atau Aidit, misalnya, tutuplah dengan sampul itu. Tujuannya biar dikira buku pelajaran seken yang dijual di lapak buku bekas.
Kalau punya modal lebih, kamu bisa cetak sampul-sampul buku primbon atau buku paket Fisika karya Marthen Kanginan yang melegenda itu lalu tempelkan ke sampul buku yang ingin kamu jual. Yakin, lantaran memakai judul yang terlihat berat dan sulit dipahami, nggak bakal kena razia buku. Pasti langsung dilewati itu buku. Bikin syahwat razia buku langsung turun.
Intinya, kelompok-pembaca-judul-bukan-isinya itu aslinya gampang dikadalin kok. Mereka sering salah razia tuh udah buktinya.
BACA JUGA Sweeping Buku Terus, Sweeping Kebodohan Sendiri Kapan?