MOJOK.CO – Lagian kalau timnas juara kan kalian juga senang ya kan? Kenapa nggak kalian dukung mereka di stadion sampai bikin gerakan kosongkan GBK sih? Mana jiwa nasionalisme kalian?
Gerakan kosongkan GBK belakangan kemarin benar-benar menunjukkan suporter Indonesia itu lemah sekali rasa nasionalismenya. Apa-apaan itu, cuma karena peluang lolos grup AFF 2018 kecil saja, mereka sampai mau kosongkan GBK untuk boikot timnas.
Duh, kan jadi betulan nggak lolos gara-gara kalian. Karena setelah pertandingan lawan Timor Leste yang ngos-ngosan itu, kita dikalahkan oleh kualitas timnas Thailand. Suporter Indonesia memang suka banget bikin kami, para pengurus PSSI ini dalam kondisi sulit deh.
Dasar suporter penikmat kemenangan aja, nggak mendukung perjuangan timnas. Kalau emang kalian nggak bisa menghargai timnas, paling tidak harga kami dong, para pengurus PSSI yang bermoral, bermartabat, selalu memikirkan perkembangan sepak bola, tidak pernah terlena untuk jadi politisi, tak tergoda untuk nyalon gubernur, bahkan sampai nggak pernah titip punya klub sendiri biar enak kalau mau jadi pejabat daerah gitu.
Kami adalah sekelompok para pengurus yang cuma fokus mengelola perkembangan sepak bola nasional dengan niat tulus.
Lagian kalau timnas juara kan kalian juga senang ya kan? Kenapa nggak kalian dukung sampai bikin gerakan kosongkan GBK sih?
Apa karena kalian tahunya sepak bola itu dari televisi atau media massa? Dari siaran TVRI saat Asian Games 1962, di mana sepak bola kali pertama nongol di layar kaca Indonesia?
Padahal sepak bola sudah ada di negeri ini sejak tahun 1879 yang dibawa sama Pim Mullier dari Kerajaan Belanda. Lalu pada 1930 baru berdiri cikal bakal PSSI dan sudah ada klub-klub bola macam PSM Yogyakarta, VIJ Jakarta, BIVB Bandung, dan lain-lain. Tapi karena yang nonton dan main cuma orang-orang elite aja, sepak bola baru dikenal luas saat Asian Games 1962 karena Indonesia punya stasiun televisi pertama.
Jangan-jangan dari hal itulah mental para suporter seperti kalian jadi mental penonton layar kaca, ketimbang suporter di dalam stadion.
Ya iya dong, jangan salahin kami PSSI yang selalu benar ini dong. Kesalahan sepak bola Indonesia itu selalu muncul dari kalian kok, bukan dari kami. Sori ya, itu udah hukum alam, seperti Rangga yang selalu salah di mata Hanum Cinta.
Sejak Asian Games pertama itu, akhirnya sepak bola dikenal luas (badminton juga) oleh masyarakat. Kompetisi-kompetisi bikinan kami pun jadi banyak penontonnya, meski nggak banyak-banyak banget kayak sekarang ini.
Apalagi berangsur-angsur siaran bola jadi sering muncul di layar kaca sejak Asian Games 1962. Ada Piala Dunia 1970 yang disiarin meski siaran tunda, sampai kemudian RCTI, generasi televisi swasta mulai muncul dengan Lega Calcio Serie A pada 1989. Tak berselang lama Liga Inggris muncul juga.
SCTV lalu ikut-ikutan beberapa tahun setelahnya. Sampai puncaknya ya Piala Dunia 1994 saat siaran langsung dari empat stasiun televisi di Indonesia muncul: TVRI, RCTI, SCTV, dan TPI.
Mental pemirsa sepak bolal alih-alih suporter sepak bola semakin kental karena kelompok suporter pertama di Indonesia yakni Viking baru muncul pada 1993. Periode yang menunjukkan bahwa sepak bola ternyata baru dikenal luas karena media massa televisi.
Dari sana kemudian bisa dilihat warna dominan suporter sepak bola tanah air jadi kelihat betul begitu terinspirasi sama gaya-gaya Ultras di Italia—alih-alih dari negara asal sepak bola: Inggris.
Gaya-gaya yang sungguh merepotkan kami sebagai pengurus PSSI. Demen ngritik kami, demen ngritik klub, demen emosi sama wasit, dan sebagainya dan sebagainya. Kalau klub memburuk, suporter biasa bikin boikot. Kalau pemain ada yang keluar ke klub rival, teror siang dan malam jadi pemandangan biasa. Atmosfernya macam Serie A banget gitu. Ngeri-ngeri sedap.
Bedanya, kalau di Italia pengelolaan sepak bolanya dikuasai mafioso ala Don Corleone dan kalau kongkalikong masih bisa kena hukuman seperti Skandal Totonero 1982 sampa Calciopoli 2006, di Indonesia ini, kami pengurus PSSI ini seputih salju. Kami bersih sebersih-bersihnya dari permainan kotor macam gitu. Nggak mungkin dong kami bisa tersentuh hukum.
Ada skandal? Yang kena ya tetep klub sama pemain-pemainnya. Ada bandar judi yang main? Yah, biarkan aja, toh klub juga butuh duit buat nggaji pemainnya ya kan? Dianggap aja itu usaha mandiri cari duit sendiri gitu. Udah gede kok netek sama PSSI terus. Itu namanya seperti bapak yang nggak percaya kalau anaknya bisa cari duit sendiri. Kami percaya sama kamu, Nak. Tenang saja. Selo.
Urusan masalah-masalah di suporter itu ya urusan kalian sendiri. Kasus tragedi meninggalnya Haringga Sirla itu misalnya, ya itu urusan kalian dong. Enak aja nyalah-nyalahin PSSI karena kasus bentrok antar-suporter. Lah kok apa-apa urusan bola kok jadi salah kami? Nggak sekalian urusan bola bekel jadi masalah kami juga?
Nah, meski kalau urusan Haringga bukan urusan kami, kalau kalian pakai gerakan kosongkan GBK dan nggak mau nonton bola lagi kan kami yang bakalan pusing. Gimana dong nasib kami kalau kalian kosongkan GBK terus-terusan nanti? Gimana kalau ini merembet ke Liga Indonesia? Wah, bisa berabe ini urusan.
Kalau aksi boikot ini cuma kena ke Liga Danone atau Liga Kompas sih nggak masalah. Kan mereka emang mau cari prestasi dari bibit-bibit unggul sepak bola. Bukan urusan bisnis dan popularitas politis macam kami-kami ini.
Kami kan ogah revolusi, ogah kalau pengurus kami diganti sama orang-orang yang betulan ngerti sepak bola. Nggak gayeng lagi dong. Kami mau cari batu loncatan popularitas ke mana lagi? Asosisasi Gobak Sodor? Bah, nggak ngangkat buat Pilkada dong itu.
Padahal sepak bola Indonesia kan dikenal karena hype yang luar biasa antusias tapi prestasinya nggak ada. Kalau soal begini-begini kami butuh kalian, biar orang-orang percaya kami ngelola olahraga paling populer di Indonesia.
Nah, yang urusan suporter bentrok, wasit nggak becus, itu ya urusan kalian, tapi soal nasionalisme sponsor begini, ya mbok urusan kami jadi urusan kalian juga. Kan kita saudara ya kan? Saudara sepenanggungan. Masalah kalian ditanggung kalian, masalah kami juga ditanggung kalian. Gimana? Keren kan?
Lah kalau kalian nggak nonton lagi, gerakan kosongkan GBK bener-bener terjadi, gimana dong pertanggungjawaban kami? Mana kami juga masih pusing mikirin jadwal ketua kami yang magang jadi gubernur lagi. Duh, pusing pala berbie nih.
Ingat lho ini soal rasa nasionalisme kalian mendukung timnas. Masa kalian tega sih lihat kami para pengurus yang sudah berkeringat di atas meja ber-AC, berdarah-darah mencari dalih karena nggak ada prestasi, berpusing-pusing ria mencari segala macam pledoi kalau ada masalah.
Idih, teganya kalian sama kami. Apa kalian ingin kami ini bubar cuma gara-gara kami nggak becus ngurus sepak bola? Itu mau kalian? Iya?