MOJOK.CO – Manchester United sudah jadi dongeng untuk anak-anak sekarang: bahwa roda itu kadang berputar dan kadang-kadang tidak.
Membayangkan menjadi fans Manchester United dalam laga melawan Watford tadi malam pasti begitu menyakitkan. Bukan hanya karena kalah telak melawan tim semenjana seperti Watford, tapi cara kalahnya pun nggerus ulu hati.
Perih, Dik. Hambok yaqin.
Skor 1-4 yang terjadi di Hertfordshire tak benar-benar menggambarkan apa yang terjadi di atas lapangan. Kuartet bek (plus pivot Nemanja Matic) United seperti Jalur Gaza: penuh kerusuhan massal.
Bahkan sejak menit-menit awal, siapa saja yang ngerti bola tahu, United dan Ole Gunnar Solksjaer bakal dihabisi Claudio Ranieri malam itu.
Mempertahankan bola sampai 3 menit saja pemain United kesulitan minta ampun di tengah terjangan tekanan Ismaila Sarr, Moussa Sissoko, sampai Joshua King.
Kalaupun akhirnya keluar menyerang, itu pun karena pemain United melakukannya dalam keadaan “terpaksa”. Lah gimana? Sudah tak ada lagi opsi untuk mempertahankan possession bola jeh. Hayawis, through pass aja lah.
Malam tadi saya akhirnya mengerti, kenapa banyak orang yang bersimpati untuk David De Gea. Di banyak pertandingan—termasuk ketika melawan Watford—dia harus berhadapan dengan pemain lawan plus pemain bertahannya sendiri.
Harry Maguire yang permainannya selalu mengingatkan saya akan mantan pemain timnas Wahyu Wijiastanto, sekali lagi menunjukkan kemampuan terbaiknya dalam berkontribusi untuk serangan lawan. Dibantu dengan Aaron Wan-Bissaka si tukang koprol yang ndembik itu.
Kacau semua, kacau.
Simpati untuk De Gea ini sebenarnya juga patut diberikan pada fans Manchester United di seluruh dunia. Perkara simpati tersebut pantas atau tidak, biarlah itu jadi perdebatan untuk fans Manchester City, Arsenal, dan Liverpool.
Soalnya, fans United ini belakangan seperti merasa dikhianati oleh manajemen sendiri. Iya, kambing hitam selain untuk Ole Gunnar Solskjaer, juga menunjuk pada keluarga Glazer.
Padahal, kalau mau itung-itungan duit yang dikeluarin, di bawah keluarga Glazer, United ini merupakan klub kedua Eropa (sekaligus dunia) dengan nilai skuat termahal.
Setidaknya, merunut dari CIES Football Observatory yang sudah melakukan valuasi skuad United, skuad Solskjaer ini bernilai EUR 1,21 miliar (Rp20,13 triliun). Mereka hanya kalah satu strip dari Manchester City yang bernilai Rp21,22 triliun.
Beda hanya ada di kisaran Rp1 triliun, tapi gap rentetan trofinya bisa kayak gelar olahraga Badminton Indonesia dengan Timnas Sepak Bola Indonesia. Bak perolehan suara untuk Gibran Rakabuming Raka dengan tukang jahit dari Solo yang nyalon wali kota.
Btw, valuasi skuad United itu bisa lho untuk bikin 20 Sirkuit Mandalika (bahkan masih sisa ratusan miliar). Duit yang termanifestasi dari keberadaan Jadon Sancho, Raphael Varane, sampai kembalinya Cristiano Ronaldo (yang walaupun nilai transfernya murah meriah, hatapi gajinya tetep aja ngidap-ngidapi).
Balik modal terkecil United pun hanya menghasilkan Piala FA, Piala Liga, dan Liga Europa. Trofi medioker untuk sebuah tim yang sudah menghabiskan duit sampai Rp11,7 triliun sejak Sir Alex Ferguson mundur.
Itu duit adalah yang dikeluarin untuk mengontrak sederet pemain plus deretan pelatih tak sembarangan. Dari David Moyes, Jose Mourinho, Louis van Gaal, sampai Solskjaer yang kabarnya sudah siap-siap bakal dipecat.
Melihat nilai skuad, sejarah, serta masih menyandang sebagai salah satu dari 10 klub terkaya dunia, posisi United yang sekarang seharusnya menyadarkan fans mereka, bahwa kredo “Not Arrogant Just Better” itu sudah tak layak lagi berkumandang.
Saya punya yang lebih baik untuk fans United di seluruh dunia: “Not Arrogant Just Hipster.”
BACA JUGA United Memang Goblok, Sudah Tahu Medioker kok Sombong dan ESAI lainnya.