MOJOK.CO – Setelah rekonsiliasi dengan Pak Jokowi, Pak Prabowo dibenci pendukungnya sendiri. Beliau mendapatkan julukan Raja Cebong Indonesia.
Mulai dari Jumat minggu lalu, sampai Senin (15/7) adalah periode yang nggak enak betul buat Pak Prabowo. Makan nggak enak, minum nggak terasa segar, tidur nggak nyenyak, mungkin boker nggak lancar juga. Saya yakin cuma Bobby the Cat yang bisa sedikit mengangkat mood Ketum Gerindra itu. Semua gara-gara sebuah kata yang disebut “rekonsiliasi”.
Ketika niat rekonsiliasi antara Pak Prabowo dengan Pak Jokowi semakin mengugat, gelombang protes mengalir deras. Protes itu dilakukan oleh para pendukung pasangan Pak Prabs dan Bro Sandi di Pilpres 2019 kemarin. Salah satu yang sampai menggerudug rumah Pak Prabs di Kertanegara adalah rombongan Ikatan Keluarga Relawan (IKR).
Rombongan IKR, di mana mayoritas yang ikut demo adalah emak-emak, menuntut Pak Prabowo nggak usah rekonsiliasi saja. Mereka ingin Pak Prabs ingat dengan perjuangan para relawan, habis waktu, habis uang, meninggalkan keluarga demi mengalahkan Pak Jokowi di Pilpres 2019 kemarin.
Orator yang bertugas membakar semangat peserta demo mengingatkan Prabowo-Sandi supaya tidak mengkhianati perjuangan para relawan selama sembilan bulan untuk memenangkan Pilpres 2019. “Kami masih ada pak, sembilan bulan kami berjuang, meninggalkan anak, Pak, ingat darah segar relawan pak, jangan sampai bapak merapat keseberang sana, kami masih ada bersama bapak,” kata orator.
Para peserta demo juga menuntut agar Prabowo-Sandi tetap berpegang teguh menjadi oposisi. Mereka bersepakat untuk mengawal terus perjuangan bila keduanya memilih jadi oposisi.
Supaya demo di depan rumah Pak Prabowo makin ramai, ratusan emak-emak ini membawa beberapa spanduk dengan kalimat yang menggelitik. Misalnya, “Tolak Rekonsiliasi”, “Kami Tetap Bersama Bapak”, hingga “Bapak Harus Bersama Kami”.
Menjadi Pak Prabs memang serba salah. Kalau nggak mau rekonsiliasi dikira nggak gentleman setelah kalah di Pilpres, sementara kalau mau ketemu Pak Jokowi dianggap mengkhianati kerja panjang para relawan. Kalahan memang serba salah, Pak. Beda dengan mereka yang selalu menang. Ya kayak di sepak bola, di Liga Cina, di mana Paris Saint-Germain begitu dominan.
Prabowo, Raja Cebong Indonesia
Saya sih salut begitu Pak Prabowo mau memilih jalan yang terjal. Sabtu pagi, Pak Prabs mau ketemuan dengan Pak Jokowi di stasiun MRT. Mereka cipika-cipiki, ngobrol soal bangsa, menegaskan nggak ada lagi cebong dan kampret, yang ada hanya Garuda Pancasila, semuanya Merah-Putih, lalu mencicipi naik MRT. Kebetulan, Pak Prabs belum pernah naik MRT. Ee tapi kok kayaknya Pak Joko dan Pak Prabs belum tiket MRT ya?
Apresiasi bergaung keras. Memuji Pak Prabowo yang mau legawa menemui Pak Jokowi untuk rekonsiliasi. Ehh lha kok ndilalah apresiasi itu lebih banyak dari pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin saja. Ketika keduanya bertemu, riuh rendah penolakan mewarnai lini masa media sosial. Pak Prabs dianggap nggak peka, tegaan, meninggalkan para pendukungnya dahulu.
Protes yang berkembang nggak main-main. Jaringan Pemuda Penyelamat Konstituen Prabowo-Sandi, yang jujur saja baru saya dengar sekarang ini, menegaskan kalau mereka menolak rekonsilasi yang sudah kadung terjadi kemarin Sabtu. “Menolak rekonsiliasi antara Prabowo & Jokowi dan menagih janji Prabowo yang pernah menyatakan bahwa ‘Saya akan Timbul Tenggelam Bersama Rakyat’,” seperti dikutip Tirto.
Selain menolak rekonsiliasi, kelompok ini juga mulai menuntut tanggung jawab Pak Prabs terkait Aksi 22 Mei. Kelompok ini meminta agar Pak Prabs bertanggung jawab atas meninggalnya sembilan orang pemuda dan masih banyak masyarakat yang diduga hilang dalam aksi yang berlangsung diwarnai kekerasan itu.
Rasanya sesak betul diimpit dari kiri dan kanan begitu. Apalagi yang menekan adalah para pendukungnya sendiri. Kenapa sih nggak setuju dengan rekonsiliasi? Lebih sedih lagi ketika Pak Prabs diberi sebuah penghargaan yang, meski diakui cukup menggelitik, tetapi tetap saja sebuah ironi.
Jaringan Pemuda Penyelamat Konstituen Prabowo-Sandi bakal memberi Pak Prabs sebuah anugerah dengan judul “Raja Cebong Indonesia”. Ketika beliau ketemu Pak Jokowi, isitlah cebong dan kampret dianggap sudah tak ada. Namun, nampaknya, spesies kampret nggak terima. Memang, Homo kampretensis ini maunya apa, sih…
Selain mendapat penghargaan sebagai “Raja Cebong Indonesia”, Pak Prabs juga sudah ditinggalkan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama dan PA 212. Sedih, Hambalang pasti jadi sepi lagi.
Kalau sudah begini, dear Pak Prabowo, sudah kepalang basah. Sekalian saja nyemplung ke kolam. Kolam cebong yang dahulu menjadi bahan olok-olokan pendukung Bapak sendiri. Sekalian saja menjadi raja di sana. Misalnya menjadi penasihat pribadi bagi Pak Jokowi. Nggak punya teman itu nggak enak, lho, Pak. Kalau sudah nggak diterima oleh pendukungnya, ya sudah.
Jangan bersedih, masih banyak yang mengapresiasi langkah Bapak. Meskipun itu berasal dari para Cebong. Penerimaan bisa bikin hidup lebih namaste.
Selamat datang di kolam, Pak. Pak Prabowo, Raja Cebong Indonesia.