MOJOK.CO – Ketika pindah kewarganegaraan bukan pilihan, saatnya mengeluarkan kartu terakhir untuk memperbaiki Indonesia. Agar hidup di sini bisa tertahankan.
Enak sekali jadi orang yang bisa berhenti memakai media sosial, pikir saya kadang-kadang karena saya tak bisa.
Memang saya syukuri bahwa internet dan media sosial membuat pekerjaan mencari berita menjadi mudah. Tapi kalau diberi pilihan, saya ingin setop menonton orang mencaci maki atau mempublikasi semua lukanya sampai-sampai luka itu menular ke orang lain yang membacanya. Kalau ada pilihan, saya ogah melihat semua tindakan terburuk manusia yang tiap hari diekspose internet.
Hari-hari akan lebih mudah dihadapi jika masalah besar yang dihadapi sekadar menuangkan kecap ke lopis atau dimarahi tukang sampah karena lupa bayar iuran.
Ada orang mengeluh, kenapa dia kesulitan menghentikan adiksi media sosial. Kalau saja hidup ini drama Korea, batin saya, saya bersedia tukar tubuh dengannya. Dasar nasib, pekerjaan saya sekitar menulis dan membaca. Mungkin memang harus lebih banyak gunakan waktu senggang belajar masak lalu banting setir jadi penjaja kue. Kue, kue, siapa mau kue.
Ya, inilah masalah hidup. Kata filsuf Zygmunt Bauman mengutip Goethe, letak bahagia dalam hidup adalah dengan mengatasi masalah, bukan menghindarinya. Saya tahu Pak Bauman saksi hidup Holocaust, tetap saja saya tergoda bilang kepada Almarhum: Monggo, coba cicipi hidup di Indonesia, Pak.
Saya tak perlu jabarkan karena kita sudah sama-sama tahu, sejak 2019 beruntun saja petaka datang ke negara ini. Hari-hari belakangan ini seperti acara depresi berjamaah satu negara. Terus bekerja, jangan berharap pada negara, kata satu mural di Jogja. Kadang perkataan demikian ada benarnya, tapi kita baru dapat berhenti peduli sama negara ketika vaksin sudah bisa dipetik di pohon. Mau mengatasi pun bagaimana, kita ini cuma angka. Nggak, nggak, mimpinya nggak seheroik itu untuk memperbaiki negara ini. Jangankan redaktur media online, Presiden saja tidak bisa.
Eh, tapi jangan-jangan kita masih bisa memperbaiki Indonesia? Nah, kalau sudah keluar kata jangan-jangan, artinya kita masuk waktu Indonesia bagian berkhayal. Petang kemarin saya makan terlalu banyak basreng pedas, berakhir mulas semalaman. Kemudian terpikirlah bahwa masih ada dua cara terakhir yang tampaknya bisa memperbaiki Indonesia ini.
Cara memperbaiki Indonesia #1 Semua aparatur negara legislatif, yudikatif, dan eksekutif dipegang orang OCD
Konon saya mengidap OCD. Tapi misal pun tidak, saya punya kenalan pengidap OCD. Jadi kira-kira saya tahu bagaimana karakteristik penderita kelainan ini.
OCD atau obsessive compulsive disorder adalah kelainan yang membuat pengidapnya terobsesi pada sesuatu secara berlebihan, umumnya pada keteraturan.
Di rumah saya, semua benda punya tempatnya. Sapu digantung di belakang pintu dapur. Piring cokelat Duralex di rak kedua, sisi paling kiri. Baskom pasir kucing di sudut 45 derajat dari kursi panjang. Kabel vacuum cleaner digulung dari sisi kanan dulu, baru ke kiri, hingga nanti bagian colokannya diselipkan di gagang.
Jika semua barang itu bergeser atau dikembalikan tak pada posisi semulanya, biasanya oleh suami, kapan pun saya mengetahuinya, hal pertama yang saya lakukan adalah meletakkannya kembali di tempat yang benar.
Dengan sangat bisa saya pahami, teman saya dengan sindrom serupa pernah menyortir satu demi satu dari ribuan pesan di email kantor yang tak dibuka bertahun-tahun. Yang ini disimpan, ini dibuang, ini dimasukkan ke kotak berlabel A, ini di-forward, dan seterusnya. Ia juga orang yang betah mengubah semua entri di Excel menjadi diawali huruf kapital semua agar seragam.
Sebaliknya, si teman ini dengan sangat pengertian dapat pula memahami mengapa saya pernah memperbaiki wastafel pelabuhan yang tersumbat (isinya: air kuning campuran muntahan entah siapa, air menggenang dari keran, serta tisu basah menjijikkan). Sebelum pandemi, saya orang yang rajin melap dudukan toilet bandara dari bercak air seni kuning yang iukh, diingat-ingat kok bikin mual.
Orang OCD adalah tipe terbaik aparatur negara. Katakanlah mereka jadi anggota DPR, dan dalam satu tahun ada sekian puluh draf RUU yang harus diselesai-rapatkan. Tak akan ada cerita “DPR RI periode sekian-sekian meninggalkan PR pembahasan RUU karena tak sempat disahkan sebelum masa jabatan mereka berakhir.” Tidak mungkin karena orang OCD tak bisa tidur jika ada hal yang harusnya selesai belum selesai.
Jika orang OCD jadi menteri sosial, ia akan jadi tipe pemimpin tukang tekan. Tiap hari ia merongrong anak buah agar bantuan sosial segera disalurkan. Jika perlu, ia akan turun sendiri mengepak mi, sarden kaleng, dan beras itu dalam bungkusan demi bungkus, bahkan sekalian mengantarkannya ke rumah penerima.
Jika orang OCD menjadi hakim, malah ia yang tak bisa tidur jika hukuman koruptor di bawah aturan undang-undang. “Ini tidak cocok, ini tidak pas,” ia tetap ngelindur begitu ketika berhasil lelap karena obat.
OCD jelas karakter terbaik yang dibutuhkan bangsa-ahlinya-ngerjain-apa-pun-pasti-nggak-beres ini. Hanya perlu saya peringatkan efek sampingnya: orang OCD bisa menjadi sosok diktator. Mudah marah dan tidak suka melihat kesalahan sekecil apa pun.
Kalau tak percaya, tanya suami saya.
Cara memperbaiki Indonesia #2 Semua aparatur negara legislatif, yudikatif, dan eksekutif dipegang orang yang sakit perut atau mengidap asam lambung kronis
Pandemi menekankan pengetahuan yang kita mafhum sejak lama: birokrasi Indonesia itu brengsek. Tidak sistematis, sangat tergantung pada pemimpin, lamban, dan terutama: korup.
Hingga September 2019, masalah korupsi masih bisa kita delegasikan untuk ditangani KPK. Hari ini, dengan sangat pede saya bisa bilang, tak ada yang lebih digdaya membasmi korupsi ketimbang sakit perut dan asam lambung.
Anda belum pernah mengalami keduanya? Luar biasa. Tolong tuliskan tipsnya dan kirim ke Mojok. Tapi sebelum itu Anda harus tahu sensasi dua penyakit ini.
Konon, perasaan kita sangat dipengaruhi kondisi perut. Perut yang nyaman (tidak mesti kenyang) adalah kunci hati bahagia dan kerja yang bersemangat. Tapi sebaliknya jika perut melilit: rasanya semua keinginan, hasrat, ambisi, cita-cita, mimpi, halah apa aja deh, amblas. Hilang tanpa sisa. Yang diinginkan cuma rebah dan tak berbuat apa-apa.
Ketika petang kemarin disergap sakit perut karena kebanyakan makan cabe, saya sampai berpikir jika saat itu saya disodori uang Rp1 miliar saat itu juga, saya tetap tak peduli. Hidup dengan Rp1 miliar tapi sakit perut terus-terusan buat apa. Tak layak diperjuangkan.
Apalagi jika sampai kena asam lambung. Bukan cuma kehilangan semua keinginan (kecuali keinginan untuk sembuh), bernapas saja terasa sulit. Dada sakit, makanan tak ada yang enak.
Korupsi berasal dari keinginan. Keinginan bisa dimatikan dengan sakit perut dan asam lambung. Tak ada keinginan, tak ada korupsi. Bayangkan, betapa mudahnya mengantisipasi korupsi jika semua aparatur negara ini punya asam lambung. Tiap mau disuap, tinggal kasih kopi.
Jika dua cara ini yang akan dipraktikkan, barulah siapa saja yang punya usul “mengubah dari dalam” mendapat legitimasinya. Trust me.
BACA JUGA Perut yang Lapar Lebih Berbahaya daripada Kebangkitan Komunisme dan esai Prima Sulistya lainnya.