MOJOK.CO – Saya bukan sedang marah atau mengeluh. Saya hanya ingin bercerita tentang kenekatan saya dan adik saya mendobrak tradisi, bahwa seorang adik bisa nikah mendahului kakak perempuannya.
Bagi orang Jawa, menikah merupakan sesuatu yang harus benar-benar diperhitungkan. Hari lahir mempelai akan mempengaruhi pemilihan hari untuk melaksanakan pernikahan. Begitu juga jika seorang anak memiliki saudara, siapa yang lahir duluan berarti akan menikah duluan.
Hal ini tampak tidak sulit dan biasa saja. Tetapi, kalau tiba masanya Anda mengalami, heemmm, mau seberontak apa pun dengan hitungan Jawa ini, saya peringatkan, itu tidak akan mudah.
Saya merupakan anak pertama dari tiga bersaudara perempuan semua. Selisih umur saya dengan adik paling besar hanya 16 bulan dan dengan adik yang paling kecil adalah 10 tahun. Jika mengikuti perhitungan ideal program KB, selisih umur kami memang sangat tidak ideal. Tetapi siapa yang sesungguhnya bisa mengatur kehendak Tuhan?
Setelah ketidak idealan umur menurut program KB, kami kembali dipandang tidak ideal setelah cukup dewasa. Siapa yang menyangka jika adik kandung saya lebih dulu dilamar oleh seorang lelaki?
Tentu saja keluarga besar sangat ribut untuk memutuskan akan menerima lamaran itu atau tidak. Pertimbangan paling besar mereka adalah saya, kakak yang lebih tua saja belum menikah. Masa adiknya mau ninggal rabi atau istilah orang Jawa nglangkahi kakaknya?
Jujur, waktu itu saya kesal. Saya merasa, keluarga besar dan tetangga memandang saya seperti perempuan yang seolah-olah tidak laku. Adik saya pun merasa dipandang sebagai perempuan yang seolah tidak tahu diri kepada kakaknya.
Kalau adik saya dilamar duluan, memangnya kenapa? Sedangkan kami ini saudara yang rasa teman. Saya tahu dia punya pacar sedangkan saya tidak. Ya wajar dong jika kemudian dia dilamar duluan? Sedangkan saya, siapa yang mau melamar? Ya nanti pasti ada. Haha.
Hal ini membuktikan bahwa tradisi atau aturan pernikahan yang telah turun-temurun ternyata bisa ditawar. Maka dari itu, jangan terlalu saklek dengan rumus perhitungan yang dibuat manusia. Perkara ideal atau tidak, itu tergantung pada keinginan masing-masing.
Jika ukuran ideal seseorang berbeda dengan masyarakat, seperti saya dan adik saya, ya harus mau menerima akibatnya. Menjadi bahan omongan keluarga dan tetangga yang seolah tak ada habisnya
Akhirnya, dengan perjuangan keras saya bersama adik saya untuk meyakinkan keluarga besar, membuahkan hasil. Lamaran dari pacar adik saya resmi diterima tetapi dengan syarat. (Masih menurut perhitungan lagi) Adik saya harus menuruti permintaan saya sebagai syarat langkahan.
Tetapi waktu itu saya tidak ingin apa-apa. Apa yang saya miliki sudah cukup dan belum ingin ditambahi apa-apa. Saya merasa beruntung memiliki perasaan yang seperti itu. Jadi ketika H-1 pernikahan, saya sangat terkejut dan bahagia ketika adik saya memberikan bingkisan kardus besar yang isinya adalah, pakaian-pakaian luar sampai daleman untuk saya.
Adik saya bercerita, walaupun saya tidak ingin apa-apa tapi salah satu bude menyuruhnya untuk menghadiahi saya seperangkat baju yang biasa saya pakai. Dan di hari pernikahannya, masih atas saran bude yang sama, adik saya harus memintaa restu kepada saya dan saya harus menyelipkan sejumlah uang di kantong adik saya. Uang itu sebagai simbol bahwa saya merestui dengan cara memberikan modal untuk rumah tangganya.
Tradisi itu sebenarnya tidak saklek-saklek amat. Bisa ditawar tapi harus penuh dengan perjuangan. Bukannya mau meninggalkan tradisi. Tapi untuk kasus saya yang ditinggal rabi ini agak kurang masuk rasanya. Makanya saya rela bersitegang dengan beberapa keluarga dan tetangga.
“Yakin Mbak rela ditinggal nikah adiknya?”
“Ngomongnya sih biasa aja dan rela, malah nggak minta langkahan apa-apa tapi dalemnya hati siapa yang tau Mbak? Nelangsa nanti lihat adiknya berumah taangga!”
“Kenapa adiknya buru-buru nikah? Hamil ya?”
Dan masih banyak lagi pertanyaan yang sangat menganggu. Di negeri ini nikah cepet dikira hamil duluan dan nggak nikah-nikah dibilang perawan tua. Nikah mendahului kakaknya juga jadi bahan omongan. Repot nggak?
Apalagi jika di posisi saya sekarang, wah, bude-bude saya tak pernah berhenti menasihati perkara menikah. Mewanti-wanti saya jangan sampai saya nikah saat nanti umur terlalu tua.
Padahal, orang tua saya biasa saja. Cuma sesekali bertanya saya sedang dekat sama siapa. Kalau saya tidak menjawab (karena memang tidak ada) ya beliau santai saja. Kemudian akan ngomong bahwa menikah itu kesiapan masing-masing sambil mlipir pergi.
Mengijinkan adik menikah lebih dahulu itu bukan perkara susah, yang nggapleki itu ya mulut mereka yang masih menganggap itu tabu, ora ilok, dan melanggar perhitungan.
Apa lah saya ini? Hanya memberi restu untuk adik menikah terlebih dahulu saja nyinyiran datang dari mana-mana.