MOJOK.CO – Puan Maharani disindir Susi Pudjiastuti karena menampilkan foto menanam padi saat kondisi hujan. Niatnya sih biar terkesan heroik, eh luput.
Jika diperkenankan untuk menebak masa kecil seseorang, saya membayangkan masa kecil Puan Maharani tidaklah seperti anak kebanyakan di Indonesia.
Jika biasanya anak kecil itu lumrah main ke sawah atau ladang, membantu bapaknya memanen padi, atau main di kali, Puan mungkin cukup jauh dari pengalaman itu semua.
Sebagai seorang cucu Proklamator dan putri dari ketua partai dengan pemilih terbanyak dua periode ini, kehidupan Puan Maharani layak diasumsikan sangat berkecukupan sejak kecil. Dia tak perlu membantu orang tuanya menanam padi di sawah atau ikut berjualan ke pasar untuk sekadar dapat uang saku.
Dari kehidupannya yang penuh dengan privilege itu, saya bisa paham kemudian kalau Puan Maharani terkesan begitu gagap ketika “dipaksa” harus bersolek layaknya petani di Sendangmulyo, Godean, Sleman, Yogyakarta pada 11 November lalu.
Di tengah kondisi mendung dan hujan, Puan Maharani menunjukkan potongan fotonya bersama dua petani sambil berlagak menanam padi. Foto ini pun kemudian jadi berita dengan tajuk “Di Tengah Hujan, Puan Tanam Padi dan Semangati Petani Milenial”.
Tak berselang lama, Susi Pudjiastuti, mengomentarinya seperti di bawah ini.
Biasanya petani menanam padi tidak hujan hujanan 🙏
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) November 11, 2021
Sindiran Susi Pudjiastuti ini tak pelak jadi bahan baku netizen Indonesia untuk melancarkan sentimen negatif ke Puan Maharani. Beberapa orang ada yang membela, meski tentu saja lebih banyak yang mencela gaya personal branding ini.
Ya gimana ya, memang ada beberapa hal kurang pas dari representasi Puan yang berlagak menjadi petani di postingan tersebut. Dan itu jadi catatan kritik untuk tim pencitraan Puan Maharani dalam menyambut 2024 nanti. Kritik yang harus segera dievaluasi supaya citra beliau bisa moncer sebelum pemilu nanti.
Beberapa evaluasi yang perlu diperhatikan ini setidaknya bisa saya temukan dalam dua poin besar.
Oke, yang pertama: kondisi lapangan yang tidak realistis.
Dalam foto yang beredar, terlihat memang hujan yang terjadi masih rintik-rintik, tapi kalau kamu lihat di video yang dibagikan oleh akun official Puan Maharani di bawah ini (pada detik ke-30) kondisinya di sawah ternyata hujan (sempat) cukup deras.
Berkunjung ke Yogyakarta dan ikut turun ke sawah bersama para petani di daerah Godean, saya ingin lebih dekat, serta mendengarkan permasalahan yang petani hadapi. Mengingat besarnya peran petani sebagai penjaga ketahanan pangan Indonesia.#petani#Yogyakarta pic.twitter.com/wfWtrllBRF
— Puan Maharani (@puanmaharani_ri) November 12, 2021
Wajar kalau kemudian Susi Pudjiastuti seolah jadi bertanya-tanya, hujan gitu kok malah berpose menanam padi?
Boro-boro menanam padi, hujan-hujan begitu ke sawah aja sudah salah besar. Kalau ada Ibu Megawati di situ, saya membayangkan bagaimana Puan malah dijewer sama ibunya.
“Hujan-hujan nggak usah main ke sawaaah, Nduk! Bahaya!”
Berbahaya karena ada banyak risiko, dari kontur tanah yang tidak stabil sampai—ini yang lebih utama: ancaman petir!
Boleh jadi ketika acara itu berlangsung tidak ada satu pun kilat petir yang menyambar sehingga tim yang mengadakan acara ini merasa aman, tapi jangan salah, petir itu kan kadang datangnya tiba-tiba. Dan sawah adalah salah satu lokasi sempurna untuk orang tersambar petir.
Apa tim pencitraan Puan Maharani tidak tahu soal ini? Soalnya, bahaya sekali kalau keselamatan dan keamanan orang yang lagi dicitrakan tidak diperhatikan betul-betul. Ini Puan Maharani lho, Ketua DPR RI perempuan pertama, bukan orang sembarangan.
Jadi tolonglah untuk tim pencitraan Puan, mohon perkara keselamatan ini diperhatikan betul-betul. Selama ini pejabat-pejabat DPR memang sudah punya teknologi anti-interupsi dan anti-kritik, tapi kan mereka belum punya teknologi anti-petir. Jadi tolong. Plis. Jangan sembrono.
Oke lah, saya bisa ngerti kalau kondisi “berat” itu barangkali bisa jadi materi tambahan agar terlihat betapa Puan Maharani begitu mau berkorban untuk bertemu dengan rakyatnya.
Tapi kalau kita sadar kondisi di lapangan, dalam kondisi seperti ini, sebenarnya justru para petani lah yang harus berkorban berhujan-hujan ria di pinggiran sawah menanti sang pejabat negara datang ke lokasinya.
Bukan gimana-gimana, ini kan namanya malah merepotkan rakyat. Puan Maharani mungkin tak tahu menahu soal teknis beginian, makanya kritik ini disampaikan bukan ke beliau, tapi untuk tim pencitraan beliau. Hambok plis jangan repotkan rakyat sebegitunya demi dapat menyelesaikan tugas-tugas Anda.
Lebih-lebih, sudahlah merepotkan petani sekitar, apa yang Anda-anda lakukan juga benar-benar gagal total. Puan yang tadinya citranya masih biasa-biasa saja, gara-gara hasil kerjaan Anda yang tidak realistis itu, justru terjerumus jadi rusak di mata netizen.
Itu pertama, hal kedua yang perlu diperhatikan tim Puan: outfit.
Sepanjang saya bergaul dan punya banyak teman petani, tak ada satu pun dari mereka yang berpenampilan sebegitu modisnya Puan Maharani di postingan tersebut. Memakai jaket sporty merek Adidas berwarna hitam, celana kain, dan sepatu boot yang keren punya.
Itu benar-benar bukan setelan petani. Jangankan setelan petani di sawah, itu pun bukan setelan petani di rumah, di kondangan, bahkan ketika ada petani mau olahraga sekalipun mereka nggak bakal pakai jaket bagus begitu.
Petani itu kalau mau menanam padi ya memakai baju-baju yang “kurang bagus”. Dan di antara pilihan baju itu ya kaos partai. Iya, kaos partai.
Artinya, jika Puan Maharani datang ke sawah di Godean itu sambil memakai kaos partainya sendiri, gambar banteng misalnya, yang terlihat justru begitu realistis. Terlihat hard selling memang, tapi justru masuk akal. Soalnya kondisi para petani kalau lagi ke sawah ya begitu itu.
Bahkan kadang sawah jadi representasi pemilu ideal yang sebenar-benarnya. Ada petani yang pakai kaos Golkar, ada yang pakai kaos PKS, dan ada pula yang pakai kaos PDIP.
Tapi begitu sampai di sawah, mereka tidak berkelahi atau gontok-gontokan seperti teman-temannya Puan di Senayan sana. Para petani justru bekerja keras untuk memastikan seluruh rakyat Indonesia bisa makan.
Mereka sih tidak peduli baju partainya kotor, tak peduli baju partainya robek. Ini karena para petani sadar, bahwa baju partai hanyalah sarana saja supaya mereka bisa bekerja. Tak lebih.
Nah, hal-hal seperti inilah yang seharusnya diperhatikan oleh tim pencitraan Puan Maharani. Memanfaatkan apa yang ada di lapangan, bukan malah merekayasa apa yang ada di lapangan. Apalagi rakyat sekarang itu udah pinter-pinter, jadi jangan maksa kalau mau mem-branding citra politisi.
Udah lah dibikin yang natural-natural saja sesuai dengan universe si politisi yang mau di-branding.
Toh, dengan begitu klien Anda juga tidak kikuk karena harus terjun ke lokasi yang tidak familiar bagi dia, masyarakat juga bisa menilai hasilnya nggak dibuat-buat. Sama-sama mashook kan?
Meski begitu, kalau misalnya toh ternyata evaluasi dari saya ini tidak didengar untuk agenda pencitraan selanjutnya, barangkali Puan Maharani bisa melihat kritik ini secara langsung dan segera mengganti staf tim pencitraannya. Itu kalau Mbak Puan serius mau mem-branding dirinya untuk 2024 nanti.
Kalau misalnya (ini misalnya saja lho) Mbak Puan butuh pengganti stafnya itu, Insya Allah saya siap di-calling kok. Asal harganya cocok. Gas saja lah kita, Mbak. Ayo.
Bismillah, tim pencitraan Puan.
BACA JUGA Alasan Puan Adalah Ketua DPR RI Terbaik Sepanjang Sejarah dan ESAI-ESAI lainnya.