MOJOK.CO – Rumah minimalis nggak kayak namanya yang terdengar serbaminimal. Kadang, orang justru nggak paham konsep hidup minimal yang sebenarnya.
Sebuah unggahan yang membahas mengenai interior pernah sesekali lewat di explore Instagram saya. Singkatnya, unggahan itu mengajak orang-orang memilih, seperti apa rumah idaman mereka. Sudah bisa ditebak, kolom komentar dipenuhi dengan orang yang menginginkan rumah minimalis dengan perabotan dan warna populer. Nggak sedikit yang berpikir bahwa gaya rumah macam ini bakal lebih murah.
Iya, sebenarnya hidup minimal memang jadi sebuah kampanye yang marak sejak beberapa tahun belakangan. Media massa dan film-film juga mempromosikan interior rumah minimalis yang tampak lebih sederhana, adem, dan nyaman. Inti konsepnya sebenarnya pada minimnya penggunaan sumber daya dalam membentuk ruangan. Misalnya, kalau kolong kasur hanya akan dibiarkan melompong ya bisa dimanfaatkan jadi laci penyimpan agar ruangan nggak berantakan dan lemari besar tidak lagi diperlukan. Cat dan ornamen di rumah juga cenderung polos dan penerapan warnanya tidak mencolok. Lagi-lagi, biar terkesan simpel dan ruangan nggak sesak.
Lebih jauh lagi, minimal live juga mempromosikan bagaimana seharusnya kita memperlakukan barang yang telah kita punya. Barang yang tidak diperlukan lebih baik dibuang, dan tidak usah membeli yang baru kalau nggak butuh-butuh amat.
Sampai sini, sebenarnya dalam lubuk hati yang terdalam, rata-rata orang ya paham betul rumah minimalis seharusnya jauh lebih murah. Sesuai dengan konsepnya, minimalis ya minim. Tapi, pada praktiknya, rumah minimalis nggak selamanya lebih murah. Tergantung, kita mengacu definisi minimalis dari mana dulu nih? Dari asal tujuannya, atau dari tren yang melanggengkan tampilan estetiknya semata?
Masalahnya, kebanyakan orang yang pengin rumah minimalis justru membuang barang-barang mereka yang masih punya fungsi dan manfaat. Sebagian justru sengaja mengganti furnitur dan interior biar kelihatan kayak rumah-rumah zaman sekarang. Sofa yang masih bagus terpaksa diganti karena coraknya bunga-bunga dan kayu berukir, nggak minimalis banget deh. Botol-botol minyak disingkirkan, lalu membeli botol kaca yang baru biar vibes-nya matching sama interior minimalis. Botol sabun dan sampo di kamar mandi juga ditukar dengan wadah yang lebih polos, tanpa merek, biar estetis.
Ini baru soal perabot, belum lagi piranti elektronik. Kalau dianggap nggak punya desain yang mewakil ciri-ciri rumah minimalis, duh, alamat gatel pengin ganti tuh. Tindakan membuang barang yang masih berfungsi dan menggantinya dengan yang “asal kelihatan minimalis” sebenarnya kesalahpahaman besar dalam menerapkan hidup minimal. Tindakan ini justru mendorong perilaku konsumtif dan biaya hidup makin mahal. Kalau nggak bisa atur, salah-salah justru bisa muncul kebiasaan menumpuk barang alias hoarding. Barang-barang lama yang sudah nggak kelihatan bagus, diabaikan, tidak dijual, tidak dibuang, lalu dibiarkan begitu saja. Padhal secara fungsi, barang itu bisa jadi masih berguna. Sungguh bertolak belakang banget sama penerapan gaya hidup minimalisme.
Padahal kalau dipikir-pikir, ibu-ibu zaman sekarang itulah yang bisa dikatakan pejuang hidup minimalis. Mereka kerap memanfaatkan plastik dan sampah yang masih bisa dipakai dan dialihfungsikan agar berguna. Ini mereka lakukan agar tidak lagi beli barang baru, alias yang penting irit, Bos. Tapi, secara tidak langsung, konsep ini ya konsep hidup minimal.
Makanya jangan salahkan ibu-ibu rumah tangga yang menyimpan banyak plastik usai mereka belanja. Setelahnya, tinggal memikirkan bagaimana plastik itu tidak ditumpuk begitu saja dan diberi nilai manfaat. Misalnya dengan memberikan plastik-plastik bekas itu kepada penjual sayuran untuk digunakan kembali. Menggunakan plastik untuk melapisi tempat sampah ketimbang membeli plastik yang baru, hingga menjual plastik-plastik tersebut agar bisa didaur ulang jadi biji plastik lagi.
Sebuah tayangan yang dapat ditonton di Netflix, yaitu Tidying Up With Marie Kondo pernah jadi sebuah tayangan yang menggelitik. Orang-orang mengatakan tayangan ini adalah sebuah jembatan menuju hidup minimal. Semakin sedikit barang yang kita punya, semakin tidak stres hidup kita. Sayangnya, tayangan yang sejelas ini juga memicu kontroversi karena seolah-olah mengatakan bahwa beres-beres memang tindakan yang berat dan kita perlu orang lain buat melakukannya. Padahal menerapkan hidup minimal kadang nggak sekompleks itu.
Rumah minimalis, desain minimalis, perilaku minimalis juga banyak dihadapkan pada kegamangan atas eksistensinya ketika dibenturkan dengan berbagai sikap estetis. Jika hanya demi keindahan, kita bisa saja terjebak pada obsesi untuk mengikuti tren semata ketimbang benar-benar menelusuri tujuan minimalis. Kampanye ini juga kerap dikaitkan dengan masalah kecemasan. Saat rumah berantakan, suasana hati bisa ikut berantakan. Saat rumah kembali rapi dan semakin “kosong”, hidup kita terasa lebih ringan. Sayangnya nggak semua isi kampanye minimalis itu selaras dengan tujuannya untuk menekan perilaku konsumtif dan obsesi hidup estetis. Kebanyakan justru terpeleset di antara keduanya.
Tujuan pengin rumah minimalis emang seharusnya ditinjau ulang sih. Benar-benar mau hidup minimal, atau cuma gaya-gayaan biar rumahnya kelihatan estetis? Kalau mau minim biaya dan hidup namaste, kenapa sih nggak menerapkan gaya hidup irit demi keuangan yang lebih sehat dan jiwa yang lebih tenang? Menekan perilaku konsumtif itu bukan aib dan irit bukan berarti pelit kok. Kamu malah bisa mengurangi sampah dan mengurangi pemborosan. Langkah yang paling gampang, barang yang sudah nggak kamu butuhkan dijual atau disumbangkan, lalu jangan beli barang lain yang nggak kamu butuhkan. Simpel, itu aja. Jadi nggak usahlah ada sofa baru, lemari baru, cermin tanpa bingkai demi kelihatan estetis, apalagi perabot dan prianti elektronik baru yang padahal nggak benar-benar kamu butuhkan. Gitu aja kok… repot.
BACA JUGA Kritik untuk Desain Rumah Minimalis yang Sering Dicontoh Pengantin Baru dan tulisan POJOKAN lainnya.