Bepergian naik pesawat hampir selalu membawa sensasi dan pengalaman tersendiri bagi saya. Rasa-rasanya hampir selalu ada cerita menarik yang menyertai saya.
Penerbangan saya kemarin saat saya bertolak ke Bengkulu menjadi salah satunya.
Tanggal 13 Februari, alias H-1 hari Valentine kemarin, saya memang bertolak ke Bengkulu untuk mengisi semacam kelas menulis bagi anak-anak di sebuah sekolah milik sebuah perusahaan perkebunan. Sekolah tersebut rutin mengadakan acara pelatihan tiap tanggal 14 Februari, tujuannya untuk mengisi hari Valentine dengan kegiatan yang berguna dan bermanfaat. Nah, kebetulan tahun ini, saya diminta oleh salah seorang pengurus sekolah (yang kebetulan istri dari kawan saya) untuk mengisi kelas penulisan di sekolah tersebut.
Saya naik pesawat dari Jogja ke Bengkulu. Penerbangan saya bukan penerbangan langsung, melainkan harus transit dahulu sebentar di Jakarta sebelum akhirnya lanjut ke Bengkulu.
Saya sudah pernah beberapa kali ke Sumatera, namun baru pertama kali ini ke Bengkulu.
Selama di Bandara, saya sudah mencium hawa unik terkait dengan penerbangan saya.
Beberapa orang yang satu pesawat dengan saya ternyata saling kenal satu sama lain.
“Lho, Mas Hasan…”
“Ealah, Pak Wiryo…”
“Wah, Ibu Yuni…”
“Mas Naryo…”
Saya jadi merasa seperti sedang berada dalam sebuah acara reuni keluarga minus nyanyi lagu “Kemesraan”.
Penerbangan dari Jogja ke Jakarta ditempuh dalam waktu satu jam lebih sedikit. Sampai di Jakarta, keanehan kembali berlanjut.
Beberapa penumpang baru dari Jakarta yang ikut penerbangan Jakarta-Bengkulu lagi-lagi banyak yang saling kenal.
Kali ini jumlahnya jauh lebih banyak.
“Lhooo, Pak Andi…”
“Eh, prof Yahya…”
“Masya Alloh, Mas Hendra…”
“Mbak Siti…”
Saya mulai membatin, betapa dunia ini sempit sekali. Apakah sebegitu eratnya hubungan antar perantau dari Bengkulu sampai-sampai saat di pesawat mereka bisa saling kenal.
Pertanyaan dan rasa kepenasaranan saya tentang para penumpang yang saling kenal itu akhirnya terjawab tepat setelah saya tiba di Bengkulu dan turun dari pesawat.
Sampai di Bandara Fatmawati Bengkulu, tak jauh dari gerbang masuk bandara, tampak baliho besar sambutan untuk para penumpang yang baru tiba.
Belakangan baru saya ngeh kalau ternyata saya satu rombongan dengan orang-orang Muhammadiyah dari berbagai daerah yang memang akan mengikuti agenda sidang Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu.
Pantas saja penerbangan saya terasa sangat berkemajuan dan blas nggak ada guyon-nya. Jebul memang isinya orang-orang Muhammadiyah semua.
Sesaat setelah turun dari pesawat, saya iseng menengok ke belakang. Mencoba mengamati satu per satu wajah-wajah berkemajuan itu.
“Yah, nggak ada Amien Rais…” batin saya pelan.