MOJOK.CO – Dari banyak hal yang bisa dilakukan di dunia, kok masih ada saja orang yang memilih melakukan pelecehan seksual di kereta dan tempat lainnya. Nganggur, ya?
Kasus pelecehan seksual terjadi lagi. Entah karena ia menjelma candu atau memang beberapa orang otaknya sengklek, kisah ini terus terulang dan benar-benar membangkitkan emosi saat dibagikan.
Kali ini, korbannya adalah mahasiswi yang sedang berada dalam perjalanan di kereta ke kota rantaunya. Selama ia duduk, seorang pria mengajaknya bicara dan mereka terlibat dalam pembicaraan yang—saya rasa—bakal kita sering alami di kendaraan umum.
Kejadian bermula saat si mahasiswi ini mengantuk dan tertidur. Tangan kirinya diraih si pria baj—maaf—maksud saya, pria yang otaknya nggak tahu lagi ke mana, lalu diciumi-cium. Oke, ini benar-benar menjijikkan karena—hey, apa yang membuatnya berpikir bahwa dia punya hak untuk menggenggam tangan orang lain tanpa izin, apalagi saat orangnya sedang tertidur???
Mahasiswi ini ketakutan, tentu saja. Biar saya beri tahu, dilecehkan begini kadang membuat kami—para korban—benar-benar ketakutan setengah mati. Saya pernah menuliskan pengalaman pelecehan yang saya alami di atas travel dan saya ingat betul rasa takut itu cukup nyata.
Kronologi pelecehan seksual di atas kereta ini lebih lengkap korban ceritakan di akun Twitter pribadinya.
https://twitter.com/xrybqby/status/1120894462236827649
Selagi saya membaca, saya jadi teringat kejadian serupa juga pernah saya rasakan di atas bus. Ya, ya, monmaap, nih, anak perantauan seperti saya dan Mbak Korban memang kadang terpaksa menempuh hal-hal menjijikkan begini.
Hampir mirip dengan pengalaman sebelumnya di travel dan kisah si korban di kereta tadi, cerita saya di bus juga dimulai dari aktivitas tidur selama perjalanan.
Setelah beberapa lama tertidur, saya merasakan ada hangat yang terasa di paha. Saat saya menoleh, bapak-bapak di samping saya lagi meringis—tangannya meremas paha saya—lalu buru-buru menarik tangannya dan pura-pura sibuk mengamati jalanan.
Maksud saya—IYUUUUUUHHHHH!!!!!!!
Badan saya gemetar. Yang saya lakukan bukanlah meninju kepala si bapak tadi (percayalah, saya betul-betul ingin melakukannya), melainkan menahan air mata yang tiba-tiba ingin jatuh, lalu saya mengirim pesan singkat pada kekasih saya kala itu untuk mengadu, meskipun saya tahu dia nggak akan mungkin juga menyusul bus yang sudah separuh jalan ini.
Lain halnya dengan saya yang super-takut dan menghabiskan sisa perjalanan dengan menahan kantuk, cerita si mahasiswi soal pelecehan seksual di kereta tadi berlanjut cukup panjang. Ia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk melapor pada petugas, tapi—sayangnya—hanya untuk mendengar tanggapan kurang menyenangkan.
https://twitter.com/xrybqby/status/1120899020082122752
Ada dua hal yang menarik perhatian saya di sana. Satu, pernyataan “Ah biasalah, Mbak, namanya juga cowok,” dan; dua, pernyataan “Lagi pula, Mbaknya lagian terlihat seperti anak karaokean, bukan anak baik-baik. Jelas aja dia berani.”
Duh, dunia macam apa, sih, yang sedang kita tinggali?
Perkara “namanya juga cowok” ini serupa betul dengan prinsip “kucing dikasih ikan asin” yang selama ini selalu menjadi pembenaran bagi kelakuan kurang ajar pelecehan seksual. Entahlah, mungkin si petugas ini cara berpikirnya sangat konvensional, terdoktrin dengan anggapan bahwa perempuan diciptakan hanya untuk menaikkan birahi, sementara para lelaki hanyalah manusia nafsuan yang—maaf—gampang ngaceng hanya karena melihat seorang perempuan bernafas di dekatnya.
Eits, nggak usah protes. Tafsiran saya di atas itu kan menanggapi pernyataan enteng “Namanya juga cowok” dari si petugas tadi.
Yang tak kalah menggelikan, ia juga menyebutkan: “Lagi pula, Mbaknya lagian terlihat seperti anak karaokean, bukan anak baik-baik. Jelas aja dia berani.” Dari poin ini saja, ada banyak pertanyaan yang bisa kita lemparkan padanya selain jumroh saking emosinya.
Jadi gini, loh—memangnya “anak karaokean” itu salahnya apa, sih? Saya sama temen-temen kalau lagi bosen juga pergi ke Happy Puppy untuk karaokean dan nyanyi-nyanyi—apakah itu membuat kami menjadi “anak karaokean” yang pantas dikenai pelecehan seksual di kereta dan di tempat mana pun di dunia ini?
Terus nih, ya, bagaimana sih definisi “anak baik-baik” yang sebenarnya? Kenapa sampai ada perempuan yang bisa dicap seenaknya sebagai “bukan anak baik-baik” dan dianggap wajar untuk dilecehkan hanya karena dia terlihat…
…pantas?
Ayolah, manusia macam apa, sih, yang pantas untuk dilecehkan?
Kita pernah sepakat bahwa putus cinta baik-baik tidaklah lebih baik dari putus cinta tidak baik-baik. Dunia bakal terlalu kaku kalau kita menilai dengan hitam dan putih yang sempit. Lantas, apakah seseorang yang penampilannya “tidak baik-baik” juga tak bisa dikenai prinsip bahwa sesungguhnya bisa saja ia tidak lebih tidak baik-baik daripada anak baik-baik?
Bingung, ya? Nggak apa-apa, tapi yang jelas, menurut saya, mau anak yange berpenampilan baik-baik ataupun tidak baik-baik, tak ada yang pantas dilecehkan dan dipermalukan tanpa alasan.
Dilansir dari Tirto.id, sebuah survei dilakukan secara online oleh akun bernama @_perempuan_. Dari survei ini, ditemukan data bahwa 17% responden mengenakan rok/celana panjang saat kejadian, sementara 16% di antaranya memakai baju lengan panjang dan 14% memakai seragam. Coba, deh: kalau pakaian sudah panjang dan malah berseragam, apakah si korban bakal dianggap sebagai “anak tidak baik-baik juga”? Kalau nggak, alasan apa lagi yang bakal dipakai untuk memaklumi kelakuan pelaku yang otaknya sengklek dan malah menyalahkan korban? Hmm?
Survei tadi juga mengumpulkan angka terkait saksi: sebanyak 41% saksi memilih mengabaikan pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik, 22% membela, 15% menenangkan, 8% menyalahkan—mungkin termasuk si petugas kereta yang aneh tadi—serta 7% sisanya menghibur korban. Tanpa perlu penjelasan panjang, saya rasa kita sama-sama tahu PR kita sekarang ini.
Bukan, ini bukan sekadar “jangan menyalahkan korban pelecehan” atau “bersikaplah lebih considerable”. Bagi saya, PR besar kita yang paling penting hanya satu:
…sudahlah, kontrol dirimu sendiri dan jangan lakukan pelecehan seksual.
Janji, ya?