Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Pelajaran Political Correctness untuk Edy Mulyadi dari Suku Dayak

“Lalu kita jual lagi, kita pindah ke ‘tempat jin buang anak’,” kata Edy Mulyadi menunjuk daerah di Kalimantan.

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
24 Januari 2022
A A
Pelajaran Political Correctness untuk Edy Mulyadi dari Suku Dayak

Pelajaran Political Correctness untuk Edy Mulyadi dari Suku Dayak. (Mojok.co/Ega Fansuri).

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Edy Mulyadi pantas diprotes suku Dayak karena tidak mengindahkan political correctness ketika bicara secara terbuka. Biar kapok.

“Mas, Anda pernah nggak nulis sesuatu lalu jadi bermasalah gitu?” tanya seseorang ke saya di suatu forum seminar.

Saya tersenyum.

“Oh, tentu saja pernah.”

Saya jawab apa adanya. Sebab, sependek pengalaman saya bekerja di media, pengalaman “bermasalah” terhadap konten itu merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Meminimalisir bisa, tapi menghilangkan risiko itu 100 persen? Hm, mustahil.

Mau sehati-hati apapun kita dalam membuat konten (entah itu dalam bentuk tulisan, audio, atau audio visual), selalu saja ada luputnya kalau dikorek-korek. Manusia yang ciptaan Tuhan aja bisa ada salahnya, apalagi karya yang dibuat manusia, hayaaa jelas banyak luputnya.

Mau hati-hati saja bisa bermasalah, apalagi yang tidak hati-hati seperti pernyataan Edy Mulyadi ketika menyebut daerah Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan seperti ini. “Lalu kita jual lagi, kita pindah ke ‘tempat jin buang anak’,” katanya.

Tentu saja pernyataan ‘tempat jin buang anak’ ini menyinggung masyarakat Dayak. Jelas dong. Siapa juga orang yang rela kampung halamannya disebut sebagai tempat jin buang anak?

Wajar kemudian kalau di Twitter ramai sekali postingan masyarakat Dayak yang memprotes pernyataan Edy Mulyadi, politisi yang pernah nyalon dari PKS tapi gagal itu cukup concern menolak pemindahan IKN ke Kalimantan.

Edy Mulyadi memang sempat minta maaf, gara-gara banyak orang Dayak yang tidak terima dengan pernyataan tersebut dan posting di mana-mana (serem, cuy). Problemnya, permintaan maaf Edy Mulyadi buruk sekali.

Blio minta maaf betulan aja belum tentu dimaafkan orang Dayak, ini malah pakai alasan segala kayak begini.

“Jangankan Kalimantan, dulu Monas itu disebut tempat ‘jin buang anak’. Tapi bagaimana pun jika teman di Kalimantan merasa terganggu, saya minta maaf,” katanya di akun YouTube pribadinya.

Kalau mau minta maaf, dan mengaku menyesal ya udah sih nggak usah pakai alasan banding-bandingin ‘penderitaan’. Mana perbandingannya nggak cukup relevan lagi.

Apa susahnya sih minta maaf dengan perasaan serendah hati mungkin?

Iklan

Jangan mentang-mentang orang pusat dan merasa sebagai orang penting, lalu kalau ngata-ngatain daerah jadi terkesan biasa saja. Kok kayak minta maaf secara penuh rasa sesal itu jadi sesuatu yang kayak hina banget buat politisi kita sih?

Mentalitas politisi yang enggan mengakui salah ini tidak hanya terjadi pada Edy Mulyadi. Beberapa hari sebelum kasus ini keluar, politisi PDIP Arteria Dahlan juga bermasalah dengan masyarakat Sunda.

Jika Edy Mulyadi bermasalah pada daerah yang disebutnya begitu terbelakang sampai menyebut itu sebagai ‘tempat jin buang anak’, Arteria Dahlan bermasalah karena enggan dengan pemakaian selipan-selipan bahasa Sunda di forum nasional oleh seorang Kajati.

“Ada Kajati yang dalam rapat dan dalam raker itu ngomong pakai bahasa Sunda, ganti Pak itu, kita ini Indonesia, Pak,” kata Arteria Dahlan yang kemudian viral.

Orang-orang Sunda pun protes ke Arteria Dahlan. Baik dari masyarakat biasa sampai sekelas gubernur dan pejabat-pejabat lainnya. Awalnya, Arteria masih tidak langsung minta maaf. Bahkan Arteria menyatakan bakal repot kalau anggota DPR dikit-dikit disuruh minta maaf.

Blio baru minta maaf setelah Ketua DPP PDIP menegurnya. Ini sangar sih, sudah diprotes sebanyak itu orang Sunda, Arteria masih berani membela diri. Dan ternyata hanya butuh satu orang “atasan” di partainya saja yang bisa membuat Arteria langsung minta maaf.

Apa yang dilakukan Edy Mulyadi terhadap masyarakat Dayak dan Arteria Dahlan ke masyarakat Sunda ini sekaligus menunjukkan sense about political correctness politisi kita ternyata ambyar sekali.

Sekaligus menunjukkan, betapa “berkuasa”-nya mereka untuk bisa berkata-kata sembarangan di media tanpa mikir bahwa pernyataannya bakal menyinggung atau tidak menyinggung.

Kalau masalah serupa terjadi ke orang biasa seperti saya, Anda, atau orang-orang reguler di sekitar kita, tentu ceritanya bakal jauh berbeda.

Saya ingat, ketika masih ramai-ramainya Pilpres 2019 dulu. Saya pernah hampir dilaporkan secara hukum karena menulis tentang politisi di salah satu kubu tim pemenangan calon presiden. Tim itu mengontak atasan saya dan akan memperkarakan tulisan saya secara resmi.

Untungnya, saya masih selamat saat itu karena memakai satu diksi yang membuat laporan itu batal. Saya selamat karena saya pakai diksi “diduga”. Salah satu politisi yang saya tulis itu diduga masih berutang besar pada salah satu perusahaan, dan itu lumayan mengganggu citranya waktu itu, makanya saya mau diperkarakan.

Jauh sebelumnya, orang-orang yang satu profesi seperti saya ini punya pengalaman berbeda-beda soal reaksi ketersinggungan yang kadang tidak bisa kita tebak munculnya dari mana.

Agus Mulyadi contohnya, dulu ketika masih jadi Redaktur Mojok, pernah bermasalah dengan para psikolog karena menulis “orang gila” alih-alih ODGJ. Yamadipati Seno, Redaktur Mojok juga, pernah bermasalah dengan salah satu suporter bola lokal karena mengkritik mereka. Atau Ega Fansuri, illustrator Mojok, yang pernah bermasalah juga karena sosok yang dia gambar ternyata tidak direstui oleh fans-nya.

Macam-macam dan kadang-kadang efeknya sangat-sangat mengerikan. Dari dimaki-maki di media sosialnya, di-DM, atau—yang paling parah—sampai dipersekusi segala (ini beneran pernah menimpa kami ya).

Itulah kenapa, ketika ada pertanyaan soal: bagaimana meng-handle kalau tulisan atau kata-kata kita bermasalah? Ya jawaban saya akan sangat normatif, berdasarkan pengalaman saya saja, ya minta maaflah tanpa beralasan apa-apa. Lalu ke depannya, berhati-hati lah dalam menulis atau mengomentari sesuatu.

Kalau toh akhirnya itu tetap bermasalah, ya itu jadi garis batas political correctness-mu ke depan lagi kalau mau nulis topik-topik serupa. Sebab, garis batas itu benar-benar tidak ada teorinya, benar-benar harus dicoba satu demi satu.

Oh, ini bermasalah, berarti besok-besok lagi jangan. Oh yang ini nggak apa-apa kalau ditulis, berarti bisa nih diterusin. Yah, kira-kira gitu-gitu. Lama-lama garis kepekaan terhadap ketersinggungan orang lain ini akan terbentuk.

Hanya saja, ada satu cara lagi agar kita tak perlu “kena masalah dulu” supaya bisa nemu garis batasnya. Yakni, dengan cara belajar dari kesalahan orang lain.

Belajar dari kesalahannya Edy Mulyadi, kesalahannya Arteria Dahlan, atau kesalahan Pandji Pragiwaksono dengan komunitas kucingnya zaman dulu itu.

Biar orang lain saja yang bermasalah, toh kita bisa dapat hikmahnya secara cuma-cuma.

Itulah kenapa saya sih berharap, kesalahan Edy Mulyadi bisa diperbaiki. Ya gimana ya, cara komunikasinya itu buruk banget jeh. Seharusnya sih, kasus kayak gini jadi pelajaran political correctness untuk Edy Mulyadi dari masyarakat Dayak.

Ya lagian, mau nembak kritik ke pemerintah, tapi kok malah nyerempet-nyerempet ke daerah tempat tinggal Suku Dayak. Sudahlah tidak relevan, tidak substantif… lah kok ditambahi mendiskreditkan daerah orang lain lagi.

Kayak kurang bahan aja.

BACA JUGA Surat Terbuka untuk Arteria Dahlan dari Orang Sunda dan ESAI lainnya.

Editor: Ahmad Khadafi

 

Terakhir diperbarui pada 24 Januari 2022 oleh

Tags: Agus MulyadiArteria DahlandayakEdy Mulyadiibu kota negaraIKNKalimantanPKS
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Penderitaan Naik Bus di Kalimantan Semuanya Serba Jauh MOJOK.CO
Otomojok

Penderitaan Naik Bus di Kalimantan: Dari Ujung ke Ujung Ekuator Semuanya Serba Jauh

30 Desember 2024
Down For Life.MOJOK.CO
Ragam

“Prahara Jenggala”: Ikhtiar Down For Life Suarakan Perjuangan Masyarakat Dayak Melawan Penghancuran Hutan

24 Desember 2024
Mempertanyakan ‘Marriage is Scary’ Bersama Lya Fahmi dan Agus Mulyadi di Festival Mojok 2024
Video

Mempertanyakan ‘Marriage is Scary’ Bersama Lya Fahmi dan Agus Mulyadi di Festival Mojok 2024

26 Oktober 2024
Katharina Stögmüller Belajar Sirkus Pernikahan dari Agus Mulyadi
Video

Katharina Stögmüller Belajar Seni Memahami Kekasih dan Sirkus Pernikahan dari Agus Mulyadi

3 September 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.