Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Obsesi Orang Tua Ingin Anaknya Jadi Lulusan Fakultas Kedokteran

“Menyelamatkan orang, merupakan list paling bawah dari tujuan orang tua menginginkan anaknya jadi dokter.”

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
29 November 2021
A A
Obsesi Orang Tua Ingin Anaknya Jadi Lulusan Fakultas Kedokteran
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Punya anak lulus fakultas kedokteran dan jadi dokter, harus diakui, jadi salah satu obsesi banyak orang tua di Indonesia.

“Cita-cita mau jadi apa?” tanya seorang guru Taman Kanak-kanak (TK).

“Dokter.”

“Wah, hebaaat.”

Sebuah dialog terjadi di sekolah TK dekat rumah saya. Pemandangan biasa. Jawaban dan responsnya juga normal.

Meski begitu, saya tiba-tiba jadi iseng membayangkan sejenak, jika saja anak 5 atau 6 tahun itu tadi menjawab, “Ingin jadi YouTuber,” kira-kira jawaban guru TK-nya gimana ya? Apakah ketika bilang “hebat”, si guru akan seantusias ketimbang si anak jawab “dokter”?

Hmmm.

Okelah, harus diakui, menjadi dokter adalah salah satu cita-cita yang membanggakan. Bahkan ketimbang jadi kebanggaan bagi si anak yang punya cita-cita itu, kebanggaan itu jauh lebih berlipat ganda efeknya bagi orang tua si anak.

Setidaknya itu terjadi ketika saya ingat lagi betapa orang tua saya begitu membanggakan kakak saya yang jadi dokter (dokter spesialis radiologi sekarang). Boro-boro jadi dokter, ketika kakak saya masuk Fakultas Kedokteran saja, orang tua saya bangganya setengah mampus.

Hampir tiap saat orang tua saya menceritakan kesuksesan kakak saya masuk Fakultas Kedokteran, salah satu (kalau bukan satu-satunya) fakultas paling susah ditembus oleh calon mahasiswa baru. Lebih-lebih kalau itu adalah Fakultas Kedokteran UGM.

Kebanggaan orang tua saya waktu itu, kalau digambarkan, seolah-olah kayak kakak saya baru saja memenangi medali emas Olimpiade.

Seolah-olah kalau anak sudah masuk Fakultas Kedokteran, setengah dari permasalahan hidup si anak sudah selesai. Tinggal lulus, koas yang bener, lalu ambil spesialis. Si anak yang jadi dokter itu dianggap telah sukses menaikkan level status keluarganya secara instan.

Sebagai adik, saya pun ketiban rasa bangga itu pula. Sampai kemudian saya mendapat sebuah argumentasi yang membalik kebanggaan saya itu.

Adalah argumentasi dari Ronny Chieng, salah satu stand up comedian dari Australia keturunan Cina, yang menyadarkan saya dalam salah satu show. Kata Ronny Chieng, “Menyelamatkan orang, merupakan list paling bawah dari tujuan orang tua menginginkan anaknya jadi dokter.”

Iklan

Saya tertawa geli mendengarnya, dan tak membantah premis Ronny Chieng ini.

Ya iya sih. Tidak hanya bagi orang tua di Indonesia yang sangat bangga punya anak masuk Fakultas Kedokteran lalu jadi dokter beneran, Ronny Chieng punya pengalaman senada karena fenomena ini juga terjadi di kultur masyarakat Cina dan kebanyakan orang tua di Asia.

Sebuah premis yang langsung membalik semua keadaan dan menyadarkan saya bahwa orang tua yang ingin anaknya jadi dokter kalau mau diulik lagi, sebenarnya ya hanya terletak pada alasan sederhana: kemampuan mendapat gaji dan pendapatan yang baik.

Dokter dianggap membanggakan bagi orang tua bukan karena kemampuannya menyelamatkan manusia, tapi karena ini adalah profesi yang aman secara ekonomi. Dan secara pahit, saya sepakat dengan pernyataan Ronny Chieng itu.

Sebab, kalau hanya sekadar kemampuan “menyelamatkan” manusia, sebenarnya ada banyak profesi lain yang sama baiknya selain dokter. Misalnya jadi pemadam kebakaran, perawat, TIM SAR, anggota PMI, dan lain sebagainya.

Lalu kalau semua profesi itu sama-sama menyelamatkan nyawa manusia? Kenapa hanya profesi dokter yang dibanggakan oleh banyak orang tua? Lah, iya kan?

Yah, setidaknya saya cukup jarang mendengar ada orang tua yang memamerkan anaknya jadi petugas pemadam kebakaran ke tetangga-tetangganya.

Kayaknya, saya nggak bakal nemuin deh, ketika arisan ibu-ibu, ada salah satu ibu yang pamer begini: “Eh, Bu Joko, anak saya keterima jadi petugas pemadam kebakaran lho! Hebat ya?”

Kenapa seperti itu? Ya itu tadi, karena di antara semua profesi yang saya sebut di atas, yang mendapatkan level status sosial tinggi dan pendapatan menggiurkan hanya dokter. Boro-boro udah jadi dokter, baru sekadar mahasiswa Fakultas Kedokteran, orang tua saja sudah bangga banget kok.

Lucunya, ketika saya mencoba ingat lagi ketika ekonomi keluarga saya belum begitu baik zaman dulu. Ketika saya sakit, opsi pergi ke dokter (terutama spesialis) adalah opsi paling final. Kalau tidak parah-parah banget ya nggak usah ke dokter, kira-kira begitu.

Kenapa?

Karena orang tua saya dalam pikiran alam bawah sadarnya punya keyakinan bahwa kalau sakit dibawa ke dokter itu biayanya pasti mahal.

Itu salah satu stigma yang pada praktiknya kemudian memunculkan beragam “bisnis” penyembuhan alternatif di Indonesia. Mulai dari perdukunan, panti pijat, sampai “batu Ponari”.

Uniknya, justru ketika stigma bahwa dirawat itu dokter itu mahal, profesi dokter tidak serta-merta jadi buruk di mata masyarakat. Yang ada malah sebaliknya, banyak orang tua yang lantas sangat menginginkan anaknya jadi dokter.

Hal ini terjadi karena dipikir banyak orang tua kita; periksa ke dokter kan mahal, pasti si dokter duitnya banyak dong. Jadi dianggap kalau orang bisa jadi dokter itu ia auto-kaya.

Tapi masalahnya, menjadi dokter tidak hanya butuh modal finansial saja, tapi juga butuh modal intelektual. Ya iya lah, masuk Fakultas Kedokteran kan nggak cuma butuh modal duit, tapi juga butuh modal otak.

Dan karena modal otak itu tak semua anak bisa (atau mau sebenarnya), makanya banyak orang tua di Indonesia tak begitu masalah kalau anaknya tak mampu jadi dokter. Mereka masih rela harapannya harus diturunkan levelnya.

Kalau anaknya memang otaknya nggak mampu-mampu amat jadi dokter, yah, setidaknya anaknya masih bisa jadi… PNS lah.

Sebuah profesi yang sama-sama membanggakan, bukan karena dianggap abdi negara… tapi karena berpotensi punya pendapatan finansial yang—meski tidak fantastis—tapi sama-sama stabil seperti halnya dokter.

BACA JUGA Cara Kuliah di Jurusan Kedokteran tapi UKT Cuma 1,3 Juta per Bulan atau ESAI lainnya.

Terakhir diperbarui pada 30 November 2021 oleh

Tags: Australiacinadokterfakultas kedokterankedokteranpemadam kebakaranstand up
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Kenangan mahasiswa di Jogja dengan pensiun dokter. MOJOK.CO
Sosok

Kebaikan Seorang Pensiunan Dokter yang Dikenang Mahasiswa Jogja, Berikan Tempat Inap Gratis hingga Dianggap Seperti Keluarga

25 Oktober 2025
perawat.mojok.co
Ragam

Perawat, “Pahlawan Kemanusiaan” yang Tak Dimanusiakan: Beban Kerja Selangit, Gaji Sulit

6 Oktober 2025
Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi menerima kunjungan CEO dan Founder IndOz Australia, David Widjaja, di ruang kerjanya, Kamis, 28 Agustus 2025 MOJOK.CO
Kilas

Gubernur Jateng Dorong Peningkatan Investasi dari Australia

29 Agustus 2025
Dubes Australia Jatuh Cinta dengan Jawa Tengah, Janji Investasi MOJOK.CO
Kilas

Dubes Australia Jatuh Cinta dengan Jawa Tengah, Janji Bawa Investor

13 Agustus 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.