Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Obrolan Sederhana di Kursi Paling Belakang Bis Ramayana

Agus Mulyadi oleh Agus Mulyadi
26 Oktober 2018
A A
kursi paling belakang
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Dalam perjalanan pulang dari Semarang ke Magelang sehabis mengisi pelatihan menulis di salah satu kampus, saya sungguh beruntung duduk di kursi paling belakang bis Ramayana yang sudah tampak tua dan ringkih namun masih tetap bergas dan bertenaga itu.

Duduk di kursi paling belakang artinya siap mendengarkan banyak cerita dari sang kernet dan para penumpang yang juga sama-sama duduk di belakang.

Selain saya, ada tiga orang lain yang duduk di barisan kursi belakang. Di sebelah saya persis, seorang lelaki tua dengan potongan rambut yang sangat Broery Marantika. Di sebelahnya, seorang penjual gelang tolak bala yang belakangan memang sedang ngehits di kalangan anak-anak desa. Sedangkan di ujung, seorang lelaki pencari ikan petho (sejenis ikan kecil yang sering ditemukan di sungai-sungai kampung, sering disebut sebagai ikan cempili atau wader cethul) yang naik dengan membawa sewadah penuh hasil tangkapannya.

Si bapak dengan potongan Broery bercerita panjang lebar tentang perjuangan masa lalunya saat ia masih gagah.

“Dulu, cari uang rasanya gampang banget,” ujarnya mantap. “Aku dulu usaha jualan sepatu, aku belinya di Mustika, satu kodi cuma dua puluh lima ribu, lalu aku jual satuan, larisnya setengah mati…”

Ceritanya begitu mengalir. Ia membanggakan masa mudanya yang hampir tak pernah menyusahkan keluarga karena selalu bisa mencari uang sendiri untuk biaya sekolah dan biaya hidupnya.

Si pencari ikan petho tak kalah sangar, dengan bekal sewadah petho yang ia bawa, ia menceritakan bagaimana susahnya berjibaku bertarung melawan tantangan hidup yang semakin hari semakin tak masuk akal saja.

“Pekerjaanku tiap hari cuma main di sungai, seperti anak kecil, kekeceh, mainan air terus,” ujarnya sambil membetulkan topi bergambar logo Badan Pusat Statistik yang entah ia dapat dari mana.

“Cari ikan petho sekarang hasilnya nggak pasti…”

“Lha memangnya dulu hasilnya pasti?” Sahut si lelaki berpotongan Broery.

“ya dulu juga nggak pasti, Pak, tapi dulu kebanyakan hasilnya banyak.”

“Lha ini buktinya kamu sekarang dapat sekeranjang penuh”

“Dulu bisa sampai dua keranjang, Pak…”

Saya kemudian menengok wadah yang penuh dengan ikan petho yang ditaruh di bawah kursi di samping depan. Ingatan saya kemudian terlempar ke masa lalu. Bagi saya, petho adalah ikan yang tak pernah asing.

Iklan

Dulu keluarga saya pernah menjadi pembuat dan pemasok peyek petho. Merek peyek buatan kami adalah Sami Remen. Peyek tersebut kami pasok di warung-warung sekitar rumah.

Saya sering diajak bapak untuk berkeliling untuk mencari petho. Dari sungai satu ke sungai yang lain, dari persawahan yang satu ke persawahan yang lain.

Menjaring, mengirig, menyeser, atau apalah itu istilahnya pernah menjadi aktivitas yang begitu saya sukai. Pulang sekolah, menunggu sore, kemudian siap “berpetualang” mencari ikan petho. Saya suka aktivitas tersebut, sebab selalu terbit kejutan dalam setiap seseran jaring yang diarahkan ke sungai.

Terkadang, bukan hanya ikan petho yang ikut terjaring, tapi juga ikan wader atau ikan sepat. Tapi pernah juga ular lareangon.

Si lelaki penjual gelanglah yang paling menarik minat saya. Bukan semata produk gelang yang ia jajakan, namun juga cerita tentang bagaimana ia membuat gelang tersebut.

Gelang tolak bala atau gelang sambetan yang ia jual adalah berupa gelang yang isinya berupa empon-empon seperti dlingo, bengle, padi, kayu angin, dll. Dulu orang-orang tua menggunakan empon-empon ini untuk melindungi bayi dari sawan atau bala.

“Hari ini saya bawa 400, sekarang tinggal 75,” katanya mantap sambil sumringah.

“Wah, mantep, dong” balas Broery KW 2.

“Ini saya bikin sendiri lho, Pak. Dibantu sama istri. Saya nglembur smapai jam tiga pagi, setelah itu tidur sebentar, terus pagi-pagi langsung berangkat keliling…”

Saya selalu takjub mendengar cerita-cerita tentang perjuangan menyambung hidup seperti ini. Selalu timbul harapan-harapan kecil, kebahagiaan, dan rasa syukur dari setiap kisah-kisah tersebut.

Saya kemudian merasa begitu kecil di hadapan lelaki-lelaki di samping saya ini. Perjuangan mereka nyata. Sedangkan perjuangan saya, terlalu kecil. Saya lelaki pemalas yang beruntung karena bisa mendapatkan uang dari menulis.

Mendengar cerita tiga lelaki tentang perjuangan hidup mereka, saya merasa betapa Tuhan sangat welas asih pada saya.

Saya kemudian reflek membuka tas saya, saya intip isinya. Tampak di sana satu amplop kecil berwarna putih. Isinya honor saya mengisi seminar menulis. Nilainya lumayan. Padahal saya hanya ngomong tak sampai dua jam. Saya pun tak yakin apa yang sampaikan itu ada manfaatnya atau tidak. Yang saya tahu, saya dibayar terlalu tinggi untuk banyak pekerjaan-pekerjaan saya.

“Hidup itu isinya memang cuma syukur, syukur, dan syukur,” kata kernet membuyarkan perenungan saya. “Lha aku ini sudah sepuluh tahun, kerjaannya ya cuma gelantungan terus. Intinya disyukuri saja…” ujarnya.

“Wah, mantep itu. Ditelateni saja, bentar lagi ngalahin tarzan…” timpal Broery.

Bis terus melaju dengan kecepatan yang menyenangkan. Angin yang menerpa tubuh saya melalui pintu belakang begitu menyejukkan saya yang sejak tadi kepanasan terbakar matahari Semarang.

“Nah, itu, Dek, kalau pengin cabut gigi, di situ, dijamin cepat dan gratis,” kata Kernet pada saya seraya menunjuk Markas Brimob Polda Jateng.

Saya tertawa terbahak-bahak. Tak berselang lama, saya kemudian tertidur.

Terakhir diperbarui pada 26 Oktober 2018 oleh

Tags: obrolanramayana
Agus Mulyadi

Agus Mulyadi

Blogger, penulis partikelir, dan juragan di @akalbuku. Host di program #MojokMentok.

Artikel Terkait

YouTube Kucing Petani Membuktikan Petani itu Kece dan Penyayang Binatang Stop Dorong Anak Muda Indonesia Jadi Petani, Nanti Mereka Jatuh ke Jurang mojok.co
Esai

Komunikasi Itu Penting, Tak Terkecuali Ngobrol dengan Kucing

12 November 2020
obrolan-mojok
Esai

Obrolan Bersama Seorang Kawan yang Organisasinya Barusan Dilarang

6 November 2017
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.