MOJOK.CO – Banyak pihak yang menganggap perjanjian pranikah perlu dilakukan oleh pasangan sebelum menikah. Namun tidak sedikit pula yang anggap hal ini mengurangi kesyakralan pernikahan.
Ketika sedang mempersiapkan pernikahan, salah satu hal krusial yang perlu dipersiapkan adalah berkas berkas pernikahannya. Hal ini menjadi penting, karena menyangkut sah maupun legal tidaknya pernikahan tersebut. Percuma saja sudah menyiapkan katering dan dekorasi yang nggak biasa. Tapi urusan yang dianggap printilan semacam ini malah terlupa.
Dalam penyusunan dokumen tersebut, salah satu topik yang kerap muncul adalah pengajuan perjanjian pranikah. Sesuai dengan namanya, ini adalah sebuah perjanjian yang dilakukan oleh pasangan sebelum mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan.
Katanya, sih, perjanjian ini sungguh penting adanya. Lantaran untuk memperjelas harta, hak, maupun tanggung jawab sebagai pasangan suami-istri. Jadi isinya bisa mencakup tentang pembagian harta dan warisan, serta berbagai hal yang berkaitan dengan kewajiban yang diampu oleh masing-masing pihak. Selain itu, perjanjian ini juga sebagai senjata untuk berjaga-jaga…
…sebab, kita tidak pernah tahu apa yang betul-betul terjadi di masa depan, kan?
Sayangnya, budaya kita menganggap perjanjian pranikah merupakan sesuatu yang tidak lumrah terjadi. Lebih jauh lagi, ia justru memberi kesan materialistis dalam sebuah hubungan. Serta dapat melunturkan kesakralan sebuah pernikahan itu sendiri. Lantas, ia seolah menjadikan sebuah pernikahan hanya jadi semacam bisnis belaka.
Apa pun itu, tapi merumuskan perjanjian apa saja yang bakal tertuang di dalamnya, bisa dikatakan, bukan menjadi hal yang mudah. Banyak pihak yang malah nggak jadi menikah, hanya karena tidak mencapai kesepakatan dalam menyusunnya. Ini bukan sesuatu yang aneh.
Pasalnya, memang banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Adapun berusaha untuk sama-sama memberi keadilan satu sama lain. Supaya perjanjian tersebut betul-betul menjadi komitmen yang bisa disepakati dengan ikhlas bersama-sama.
Salah satu hal yang biasanya dimasukkan dalam perjanjian pranikah adalah pemisahan harta suami dan istri. Hal ini biasanya bertujuan dapat melindungi suami atau istri dari beban utang pasangan masing-masing. Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, ketika suami meninggal, ternyata beliau meninggalkan utang yang besar. Eh, ndilalah, istri yang nggak paham apa-apa dengan bisnis suaminya, harus menanggungnya. Ini dikarenakan, mereka tidak pernah bikin perjanjian apa pun mengenai hal ini.
Nah, jika kekuatan perjanjian pranikah ternyata bisa sampai semelindungi itu. Itu artinya, kemungkinan perjanjian ini juga dapat mencegah terjadinya perdebatan-perdebatan tidak perlu di dalam menjalin bahtera rumah tangga.
Di atas disebutkan bahwa perjanjian pranikah juga berkaitan dengan tanggung jawab yang dilekatkan oleh masing-masing pihak. Itu artinya, apakah hal-hal semacam ini juga bisa-bisa saja, dimasukkan ke dalam perjanjian pranikah? Misalnya, nih. Misalnya loh, ya….
Satu, kalau salah satu pihak selingkuh, nggak punya hak asuh anak.
Dua, kalau istri lahiran caesar, nggak boleh ada pihak keluarga yang rewel.
Tiga, istri yang masak, suami yang nyuci piring.
Empat, istri yang nyapu rumah, suami yang ngepel.
Lima, kalau habis mandi handuknya nggak boleh ditaruh kasur.
Selain dianggap tabu dan melunturkan kesyakralan sebuah pernikahan. Perjanjian pranikah, juga dianggap sebagai kurangnya kepercayaan kita pada pasangan. Lantas, memilih bikin janji dan kesepakatan. Untuk apa? Tentu saja, supaya ada jaminan jika suatu hari terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Yak, itu memang betul sekali. Perjanjian pranikah ini, seolah-olah menunjukkan kalau kita belum percaya-percaya amat sama pasangan. Belum betul-betul bisa menerima dia dalam keadaan apa pun. Belum yakin kalau dia memang bisa setia dan bisa menjaga komitmen bersama.
Lha, kalau memang belum terlalu percaya amat sama pasangan, terus, kenapa dinikahi? Kemarin-kemarin waktu dalam masa-masa mengenal satu sama lain, ngapain? Main dakon? Apa ya nggak ngebahas tentang kesepakatan mengenai hal-hal yang sesentimentil ini?
Eh, tapi kan, sepercaya-percayanya kita pada seseorang. Bukankah kita memang tidak boleh percaya pada manusia? Apalagi kalau terlalu bersender dan menggantungkan hidup kita padanya. Soalnya, kata ibu-ibu yang duduk di sebelah saya waktu di kereta, itu namanya musyrik. *krik
Kalau saya sendiri, sih, sebetulnya masih belum kepikiran bakal bikin perjanjian pranikah apa nggak. Nantilah, kalau memang betul-betul mau nikah aja, dipikirin lagi. Tapi yang jelas, daripada susah-susah bikin perjanjian pranikah, saya lebih memilih untuk mengenal pasangan saya lebih intens dan sungguh-sungguh terlebih dulu. Supaya saya bisa mendeteksi: apakah dia punya bibit-bibit hasrat untuk berpoligami, atau nggak?
Jika ternyata ada, lebih baik, udah putusin aja~