MOJOK.CO – Sikap Kemenkumham tentu bakal berbeda jauh kalau yang terbakar bukan lapas orang-orang kecil, tapi lapas koruptor, misalnya.
Baiklah. Kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang jadi berita duka selama sepekan ini di Indonesia. Sebanyak 44 nyawa melayang terbakar di kebakaran yang melanda lapas berisi dua ribu sekian narapidana tersebut.
Kabar ini bahkan jadi sorotan dunia. Dari The Guardian, The Washington Post, DW, AFP, CNN, Aljazeera, dan kanal berita internasional lainnya pun memberitakan kabar ini dengan tone berita yang mencekam.
Sejenak saya coba membayangkan jika hal semacam ini terjadi di Jepang atau Selandia Baru, menteri yang bersangkutan sudah pasti sangat malu dan bakal mengundurkan diri. Tapi hal tersebut tidak akan terjadi di Indonesia.
Menkumham hanya mengucapkan belasungkawa dan minta maaf serta berjanji akan memberi santunan Rp30 juta ke keluarga korban. Jumlah yang tentu—sama sekali—tidak bisa menggantikan nyawa anggota keluarga yang ditinggalkan.
Dugaan sementara, kebakaran terjadi akibat hubungan arus pendek listrik. Meski begitu, pihak Polisi masih menyelidiki dugaan tindak pidana dari kelalaian yang mengakibatkan kebakaran.
Gara-gara kejadian ini Kemenkumham mengaku akan melakukan evaluasi diri. Evaluasi yang terlambat sebenarnya, karena 44 nyawa itu harga yang sangat mahal untuk teguran agar lapas di Indonesia dibenahi.
Lah gimana? Di Lapas Kelas I Tangerang saja, kita semua baru tahu kalau kebakaran yang terjadi di Blok C2 itu dihuni oleh 122 napi dan hanya dijaga oleh satu petugas saja. Bisa dibayangkan ngerinya? Sebanyak 122 dijaga satu petugas? … &*%*^%*&(@
Seandainya, yang terbakar adalah lapas para koruptor, saya menduga sikap Kemenkumham tidak akan “selunak” ini. Bukan tidak mungkin mereka bakal jadi bulan-bulanan Pemerintah sendiri. Maklum, beberapa koruptor masih memiliki “pengaruh” di luar lapas.
Narapidana koruptor bisa saja balik menuntut Kemenhumkam secara hukum. Entah menterinya yang kena atau stafnya, intinya harus ada kambing hitamnya. Hal yang tidak terjadi dengan para keluarga korban dari narapidana yang tewas di Lapas Kelas I Tangerang.
Maklum, 44 nyawa narapidana di Lapas Kelas I Tangerang ini hanya “orang biasa”, mereka bukan orang besar, rakyat jelata, tak punya pengaruh apa-apa. Berbeda dengan narapida-narapidana “mewah” yang mendapat segala macam fasilitas di lapas khusus kejahatan korupsi.
Hal yang lebih menyesakkan, fasilitas keamanan untuk lapas pelaku tindak korupsi besar dugaannya bakal menyelamatkan para narapidana di dalamnya kalau sampai terjadi kebakaran.
Saya masih ingat betul ketika menonton sidak berkali-kali di Lapas Sukamiskin, lapas tempat Setya Novanto, Nazaruddin, dan gembong-gembong koruptor ada di sana. Fasilitas mewah yang mereka terima tentu akan menyelamatkan mereka kalau ada bencana serupa.
Jangankan sampai tewas, luka lecet karena tergores kunci gembok saja, bisa jadi masalah besar bagi Kemenkumham kalau terjadi kekacauan di dalam lapas para koruptor. Bahkan bukan tidak mungkin, kecelakaan bisa jadi amunisi untuk meringankan hukuman mereka.
Ingat, Juliari “Bansos” Batubara mendapat keringanan hukuman saja bisa karena diilhami hal-hal di luar fakta-fakta persidangan (dicaci maki seluruh rakyat Indonesia), apalagi kalau sampai terjadi luka fisik yang tak disengaja karena insiden lebih parah? Bisa-bisa mereka malah bebas semua.
Ini belum dengan membandingkan kapasitas lapas. Di Lapas Tangerang Kelas I yang menjadi tempat maut itu, kapasitas lapas seharusnya hanya untuk 900 narapidana. Namun pada kenyataannya, lapas itu diisi oleh dua ribuan narapidana. Artinya, kelebihan 1.200 orang!
Kalau kelebihannya satu atau dua narapidana, mungkin kita masih bisa memaklumi, tapi kalau kelebihannya kok sampai lebih dari dua kali lipat, maka bisa diduga kerjaan Kemenkumham selama ini memang tidak beres.
Bolehlah kita berprasangka baik, bahwa mengatasi overcapacity lapas-lapas di Indonesia itu bukan kerjaan gampang, tidak bisa diselesaikan 3 sampai 5 tahun.
Oke, kita terima alasan itu, cuman masalahnya, kenapa problem yang sama tak ditemukan untuk lapas khusus tindak kejahatan korupsi? Kemenkumham bisa menjawab nggak hal itu?
Sekarang gini. Coba bandingkan dengan Lapas Sukamiskin yang per Maret 2020 diisi oleh 464 narapidana. Padahal kapasitas lapas itu sendiri diperuntukkan untuk 560 narapidana.
Artinya lapas ini sangat-sangat selo dan jauh lebih nyaman dibandingkan mayoritas lapas di Indonesia yang kerap kali overcapacity. Itu juga jadi jawaban, ketika dulu sel lapas Setya Novanto pernah ketahuan direnovasi, ukurannya begitu besar seperti dua sel yang dijadikan satu.
Ya iya dong, dia bisa seenak udel renovasi sel lapasnya sendiri. Lah wong tempatnya selo, punya duit, dan punya pengaruh yeee kan?
Lebih menjengkelkannya lagi, ketika melihat betapa menderitanya para penghuni lapas yang kelebihan kapasitas itu terus kita melihat berita betapa enaknya para narapidana korupsi, suap, gratifikasi, sampai garong duit negara yang aman sentosa seolah-olah penjara adalah rumah kedua bagi mereka semua.
Bias kelas narapidana yang tak pernah diselesaikan betul oleh Kemenkumham selama bertahun-tahun. Bahkan sekalipun mereka sudah ketahuan berkali-kali ada yang tidak beres dengan pelaksaan hukuman untuk pelaku tindak kejahatan di Indonesia.
Janji evaluasi cuma muncul di layar televisi, tapi kalau terjadi sidak lagi, kita akan menemukan kelucuan-kelucuan mereka lagi. Di awal-awal situasi ketika sidak dilakukan, Kemenhumkam kayak kerja beneran, begitu isu itu ketutupan sama isu-isu lain, persoalan bias kelas di dalam penjara pun terjadi lagi dan lagi.
Meski begitu, ini tentu bukan salah Kemenkumham saja. Tidak baik kalau hanya menunjuk hidung ke satu pihak saja. Sebab prinsip kita sebagai negara selama ini memang kurang mashoook.
Lah iya kan?
Kita kan percaya bahwa semua memang harus setara di mata hukum….
…cuma tidak ketika sudah ada di dalam penjara.
BACA JUGA Sel Setya Novanto Ternyata Lebih Besar, Buat Nongkrong Bareng Nazaruddin dan tulisan Ahmad Khadafi lainnya.