MOJOK.CO – Selain Buwas dengan “matamu!”, banyak politikus yang menggunakan makian secara tepat untuk mengekspresikan kekesalan mereka. Memaki itu baik, lho.
Sekali lagi, jagat perpolitikan Indonesia diramaikan oleh makian-makian yang jika dilepaskan dari konteks akan terdengar lucu. Ketika masih memegang jabatan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, makian-makian yang keras, namun terdengar lucu sering menyapa. Ketika emosi memuncak, terkadang Ahok memang bisa lepas kendali lidah.
Soal Ahok kita bahas belakangan. Hari Rabu (19/9), ketika masalah Gudang Bulog nampaknya memberikan tekanan yang cukup berat untuk Budi Waseso atau Buwas, satu kata makian terlontar: matamu! Makian tersebut ditujukan kepada Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan, yang menyebut masaah Bulog bukan masalahnya.
Mengganggap Mendag lepas tangan terhadap masalah negara, Buwas lepas kontrol. Di depan wartawan, sembari menjawab pertanyaan, ia melontarkan “matamu!”
“Saya bingung ini berpikir negara atau bukan. Coba kita koordinasikan itu samakan pendapat, jadi kalau keluhkan fakta Gudang saya bahkan menyewa Gudang itu kan cost tambahan. Kalau ada yang jawab soal Bulog sewa Gudang bukan urusan kita, matamu! Itu kan sama-sama negara,” tegas Buwas di Perum Bulog.
Umpatan menggunakan bagian tubuh manusia memang bisa terdengar vulgar, keras, namun terkadang lucu. Umpatan “matamu!” ala Buwas, sih masih umpatan level rendah, bukan umpatan alat kelamin manusia. Kalau main PUBG, itu masih level bronze. Tetapi untung ia mengumpat “matamu!”. Coba kalau mengumpat “bulu hidung!” Rasanya geli dan tidak terdengar sangar. “Emang kenapa bulu hidungnya? Butuh extension?”
Nah, selain Buwas, beberapa politikus juga gagal mengontrol emosi dan melepaskan setresnya dengan umpatan. Bulan April 2018 yang lalu, Arteria Dahlan menggunakan umpatan “bangsat” untuk mengekspresikan kekesalannya kepada Kementrian Agama lantaran banyaknya kasus penipuan ibadah umrah yang tidak bisa diselesaikan.
“Ini Kementrian Agama bangsat pak, semuanya pak. Saya buka-bukaan,” umpat Arteria. Setelah melontarkan umpatan tersebut, Arteria nampaknya menyesalinya lalu meminta maaf.
Kasus penipuan dengan kedok agama memang sangat menyebalkan. Apalagi ketika si korban sudah menabung begitu lama dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan supaya bisa naik haji atau umrah. Namun, berkat aksi penipuan travel haji, si korban tidak bisa berangkat, uangnya raib, dan akhirnya hanya bisa iklas dan mengelus dada.
Selain Arteria, Prabowo Subianto, Ketum Partai Gerindra yang akan maju di kontestasi Pilpres 2019 juga pernah mengumpat untuk mengekspresikan kekesalannya. Prabowo merasa elite politik negara ini tidak bekerja maksimal untuk rakyat.
“Jangan-jangan karena elite kita yang goblok, atau menurut saya campuran. Sudah serakah, mental maling, hatinya beku, tidak setia kepada rakyat. Mereka hanya ingin kaya,” tegas Prabowo.
Memang, umpatan “goblok” masih terdengar soft untuk sosok Prabowo. Namun, yang membuat umpatan ini menjadi lebih gegirisi adalah sosok Prabowo itu sendiri. Penekanan kata “goblok” dan latar belakang si pengumpat memberi efek yang berbeda. Memang, pada dasarnya ini jenis umpatan yang biasa digunakan di kehidupan sehari-hari. Apalagi di ranah Twitter dengan para selebtwit yang terkadang maha benar.
Nah, kalau kita bicara misuh–misuh, politikus yang punya banyak cadangan umpatan adalah Ahok. Politikus yang saat ini mendekam di dalam penjara karena masalah penistaan agama ini sangat kreatif untuk merangkai kata menjadi umpatan yang sangar, namun terselip sisi humor di dalamnya.
Coba perhatikan:
“…istri saya mau nerima CSR untuk main di kota tua. Lu buktiin aja nenek lu sialan bangsat gua bilang. Lu buktiin aja. Gue juga udah keki”.
Ada lagi yang begini: “…kalau betul ada suap 12,7 triliun kenapa si DPRD membatalkan lapor ke Bareskrim? Kok goblok sekali lu orang? …kalau ada bukti memang nyuap apa lu laporin dong bego. …bego banget lu gitu lho. …sementara ada bukti gua mau nyuap lu 12,7 triliun, kok lu nggak berani laporin? Gua kuatir lu kemaluan lu punya ga nih? …eh dibalikin ini yang buat suap. Sialan nggak tuh? Makanya gua bilang panggil gua datang ke angket. Kapan lu panggil biar gua jelasin semua.”
“Gua bukain lu taik-taik semua itu seperti apa. …nggak apa-apa, biar orang tau emang taik gua bilang…”
Disemprot Pak Ahok sudah seperti diberondong menggunakan senapan mesin. Sekali tarikan napas, ada lebih dari tiga makian yang diselipkan. Tanpa latihan yang panjang, teknik seperti ini sulit dilakukan.
Pada akhirnya, mengumpat adalah bentuk ekspresi kekesalan, ekspresi stres yang menumpuk. Bahkan, dengan mengumpat, segala tekanan di dalam dada akan berkurang.
Menurut penelitian dari Marist College dan Massachusetts College of Literal Arts, mengumpat memang punya manfaatan positif bagi kesehatan. Misalnya, makian bisa membantu menguangi rasa sakit hingga membantu proses adaptasi seseorang. Keren, nggak tuh.
Bukan hanya baik untuk kesehatan, makian adalah indikator kecerdasan seseorang. Sebuah penelitian yang dilansir oleh washingtonpost.com menemukan bahwa orang yang suka memaki adalah orang yang cerdas. Kok bisa begitu?
Pertama, makian berkaitan dengan kayanya perbendaharaan kata seseorang. Kedua, paham betul dengan konteks lawan bicara. Ketiga, menunjukkan kepercayaan diri seseorang. Keempat, menunjukkan bahwa kamu orang yang fleksibel. Kelima, sadar dengan kondisi emosi diri sendiri. Keenam, lebih mudah menemukan solusi sebuah masalah atawa mudah move on.
Nah, memang, bagi politikus, makian menjadi sebuah kata yang tabu untuk diucapkan. Setidaknya itulah anggapan masyarakat luas. Sebagai tokoh masyarakat, citra diri menjadi terlalu penting. Yang sopan, yang santun, dianggap sebagai politikus yang lebih baik. Padahal di belakang korupsi berjamaah. Padahal katakan tidak, ternyata kok korupsi.
Begitulah, makian tak perlu ditahan-tahan. Tapi buat bung dan nona politikus, makiannya dikeluarkan di rumah masing-masing saja. Polisi moral bergentayangan.