MOJOK.CO – Kemendikbud dengan sigap memberikan instruksi untuk mengadakan belajar online sebagai pengganti kegiatan tatap muka. Tapi manajemen risiko yang mereka lakukan payah, dan masalah datang secara bertubi-tubi.
Revolusi 4.0 di negeri ini adalah omong kosong.
Rudi Salam mungkin sudah putus asa ketika dia memutuskan naik ke lantai dua masjid demi mencari sinyal seluler. Ia butuh koneksi untuk mengerjakan skripsinya. Kalau tanah tak terjangkau sinyal internet, langit akan memberi jalan yang lebih baik, mungkin itu pikirnya. Nahas, dia tidak tahu bahwa itu jadi saat terakhirnya.
Fortunatus Roland Lamanepa tidak punya hape untuk ikut belajar online. Dia terpaksa meminjam hape temannya dan membelikan paket data ketimbang tidak mengikuti kuliah jarak jauh, apalagi musim ujian akan datang sebentar lagi. Hapenya sudah rusak sebelum belajar online diberlakukan. Sudah beberapa kali ini dia tidak ikut belajar online karena tidak punya biaya.
Roland terpikir untuk kredit hape, tapi kehidupan keluarganya sudah memprihatinkan. Hidup di bawah garis kemiskinan, ayahnya menderita diabetes, tidak punya pekerjaan tetap, tentu saja kredit hape adalah hal terakhir yang akan dia lakukan.
Itulah dua gambaran yang bisa kalian dapat dari belajar online di negara yang sinyal internetnya hanya mitos.
Tapi sebelum terlalu jauh, saya punya permintaan. Jika kalian punya pikiran macam “Ya modal dong,” “Orang tuanya siap nggak sih punya anak?” “Ah lebay banget, kuliah online nggak gitu-gitu banget,” “Ya tinggal nggak usah ikut, pasti sekolah pengertian,” saya sarankan benamkan kepala kalian ke dalam tahi sapi.
***
Kemendikbud dengan sigap memberikan instruksi untuk mengadakan belajar online sebagai pengganti kegiatan tatap muka. Tiap jenjang, dari mulai SD hingga perguruan tinggi diberi instruksi yang sama. Teknis diserahkan ke tiap institusi, yang jelas kegiatan belajar mengajar jangan sampai berhenti meski negara ini diserang pandemi.
Sekilas, yang dilakukan Kemendikbud adalah hal yang jelas, no-brainer. Teknologi sudah maju, kelas tatap muka bisa diganti dengan media kamera depan dan aplikasi-aplikasi. Negara ini begitu 4.0 more than ever. Peserta didik tetap aman di rumah, pendidikan tetap jalan dengan cara yang ramah.
Tapi kemudian masalah datang. Sedihnya, masalahnya sangat teknis: infrastruktur yang tak merata.
Masalah yang pertama, adalah masalah jaringan. Jika kita mengumpulkan amarah para warganet yang disebabkan oleh ampasnya jaringan dan mengonversinya menjadi Genkidama atau Bola Semangat, niscaya Goku bisa menghancurkan Buu beserta seisi semesta.
Bukan rahasia jika sinyal internet masih barang langka di banyak tempat di Indonesia. Pulau Jawa, yang dianggap sebagai anak emas Indonesia, masih punya masalah serius tentang sinyal. Jangan tanya yang di luar Pulau Jawa, bisa pakai kartu selain Telkomsel adalah hil yang mustahal.
Yang kedua, listrik. Masalah klasik yang mendera Indonesia berpuluh-puluh tahun ini menghambat kelangsungan belajar online. Kalau kalian bingung korelasinya, mudahnya seperti ini. Tanpa listrik tidak ada tower untuk menghantarkan sinyal. Tak ada sinyal, tak ada internet. Tak ada internet, maka tak ada belajar online.
Demi Tuhan, kalau masih ada orang yang tidak tahu bahwa aliran listrik masih belum merata di Indonesia, sebaiknya pindahkan saja dia di Galapagos. Tapi itu berarti akan memaksa Nadiem Makarim resign dan pindah ke Galapagos.
Yang ketiga, kuota. Perkara kuota ini membuat banyak orang naik pitam. Mereka harus membeli kuota lebih sering dibanding biasanya. Ditambah sinyal yang ampas, mereka terpaksa membeli provider bagus yang harganya lebih mahal hanya demi kelancaran belajar online. Bayangkan kamu membeli kuota dari provider mahal sebulan katakanlah 4 kali, dompetmu bakal menjerit.
Sejumlah universitas sudah turun tangan memberi bantuan bagi para mahasiswanya untuk membeli kuota untuk kelangsungan belajar online. Masalahnya, tidak setiap universitas atau fakultas mempunyai kebijakan yang sama.
Kalau ujungnya beda-beda gini, kenapa dari awal Kemendikbud tidak membuat satu aturan untuk tiap universitas agar memberi bantuan kuota kepada mahasiswa?
Kawan saya pernah berkelakar, universitas di Yogyakarta itu hanya dua, yaitu UGM dan bukan UGM. Dan entah kenapa kelakar itu seakan-akan merepresentasikan apa yang dipikirkan pemangku kebijakan. Mereka pikir kota di Indonesia ada dua, yaitu Jakarta dan bukan Jakarta.
Dan bau-baunya, ketika bikin kebijakan para pejabat ini membayangkan semua orang hidup dengan kondisi yang sama dengan mereka. Kalau mereka sedang asyik dengan yang online-online, pasti semua orang juga. Kalau di sekitar rumah mereka infrastruktur sudah lengkap, jalan mulus, listrik terang 24 jam, orang lain pun dalam pikiran mereka mestilah sama demikian.
Kemendikbud mungkin perlu diingatkan lagi masih ada 1,8 juta rumah tangga yang tidak menikmati listrik. Mereka mungkin juga perlu diingatkan bahwa ada peserta didik dari 24,79 juta penduduk miskin di Indonesia, yang jelas lebih memikirkan keselamatan mereka esok hari dibanding membeli smartphone. Membebani pikiran mereka dengan belajar online tidak lebih dari menetesi luka menganga mereka dengan perasan jeruk.
Semangat Revolusi 4.0 yang berusaha diejawantahkan dengan belajar online mempertontonkan borok bernanah Indonesia. Infrastruktur ampas, kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi, dan eksekusi program yang tidak melihat kesiapan dan realitas membuat program online-online terlihat seperti omong kosong pemerintah yang kelewat sering menggunakan istilah yang tidak mereka ketahui.
Maka dari itu, revolusi 4.0 di negeri ini adalah omong kosong.
BACA JUGA One Piece Mungkin Ceritanya Bermasalah, tapi Naruto Jelas-jelas Sampah dan artikel menarik lainnya dari Rizky Prasetya.